Jokowi: Saya (Nggak) Mikirin Capres
JAKARTA, SATUHARAPAN.COM – Joko Widodo, selama ini selalu bicara dia tidak memikirkan tentang suara yang meminta dia untuk menjadi calon presiden pada pemilihan umum presiden pada Juli yang akan datang. Namun mulai hari Jumat (14/3) ini dia tidak lagi bisa mengatakan hal yang sama.
Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P) tampaknya telah sampai pada kesimpulan bahwa dorongan agar Gubernur Jakarta itu menjadi calon presiden dari partai berlambang kepala banteng itu sebagai pilihan yang terbaik untuk kompetisi di tahun politik ini.
PDIP, hari Jumat ini, melalui Surat Perintah Harian Ketua Umum, Megawati Soekarnoputri, antara lain menyatakan pria yang biasa dipanggil Jokowi ini menjadi calon presiden partai tersebut. Namun tanda-tanda akhirnya Jokowi akan jadi capres sudah mulai terlihat ketika dia makin sering tampil di publik bersama Ketua Umum PDIP, dan makin kuatnya dorongan dari akar rumput bagi Jokowi.
Nggak Mikir
Selama ini Jokowi mengatakan dia tidak memikirkan tentang usulan agar dia menjadi capres. Munculnya gagasan Jokowi untuk menjadi capres sudah terjadi sejak awal dia menjadi gubernur Jakarta.
Jokowi dilantik sebagai Gubernur Jakarta bersama Basuki Tjahja Purnama sebagai Wakil Gubernur pada 15 Oktober 2012. Namun segera setelah itu, di tengah kegiatan dia bersama masyarakat Jakarta, langsung muncul gagasan agar Jokowi maju sebagai calon presiden.
Beberapa komentar ketika ditanya tentang hal itu, dia selalu mengatakan nggak mikir. “Saya nggak mikir, nggak mikir, nggak mikir, copras, capres, survei, survei dan lain-lain,” kata Jokowi dalam suatu acara wawancara dengan televisi di Jakarta.
“Nggak mikir, nggak mikir. Konsentrasi penuh agar akhir tahun ini realisasi anggaran sesuai dengan target. Konsen baru di situ, saya mikir yang berkaitan dengan hujan, dan banjir. Saya kalau fokus ya fokus, hujan dan banjir. Saya baru fokus ke situ, kok diganggu lagi?” kata dia pada akhir tahun lalu.
Di lain kesempatan, Jokowi mengatakan, “Saya masih bekerja, menyelesaikan masalah-masalah di Jakarta; masalah banjir, macet, PKL, KJS, KJP, waduk, rusun. Pada lain kesempatan dia mengatakan, “Saya masih konsentrasi menyelesaikan masalah DKI yang bergunung-gunung. Harus konsentrasi menyelesaikan itu.”
"Sampai detik ini, ditanya siapapun, saya tidak pernah mikir capres-capres. Survei-survei juga nggak mikir, elektabilitas juga tidak pernah mikir. Pikiran saya bekerja untuk DKI Jakarta," kata dia pada akhir Oktober tahun lalu.
“Saya mau fokus bekerja di DKI menyelesaikan masalah-masalah yang ada. Toh baru empat bulan bekerja, saya mau fokus menyelesaikan banjir, menyelesaikan macet, bajaj, monorail, MRT. Ini mau saya selesaikan," kata Jokowi awal Januari 2013 ketika baru empat bulan menjadi Gubernur DKI Jakarta.
Efek Jokowi
Terpilihnya Jokowi dan Basuki sebagai Gubernur dan Wakil Gubernur Jakarta merupakan fenomena yang menarik dalam kancah politik dan pemerintahan di Indonesia. Pemilihan gubernur Jakarta tahun 2012 itu termasuk fenomenal, salah satu yang unik adalah spanduk kampanye justru tersebar sampai di luar Jakarta, di beberapa provinsi, hal yang tidak terjadi pada pemilihan gubernur lain.
Tidak bisa dipungkiri bahwa efek Jokowi cukup besar. Beberapa yang bisa dicatat antara lain adalah soal blusukan ke tengah-tengah warga, termasuk kelompok warga yang selama ini termarjinalisasi. Dan sejumlah kepala daerah mulai mencoba untuk menirunya.
Hal itu dilakukan Jokowi sejak menjadi Walikota Solo. Di Jakarta tak segan-segan dia menemui warga, berdiskusi dan bersama-sama mencari solusi atas masalah yang dihadapi Jakarta, soal bajir, kemacetan, dan tata ruang.
Efek Jokowi juga cukup besar dalam memberi alternatif kepemimpinan. Ketika para pejabat tinggi negara ini rajin mencitrakan diri, bahkan mendompleng kegiatan negara atau pemerintahan, tetapi di balik itu banyak kasus korupsi, Jokowi tampil sebagai pemimpin yang “sebaliknya.” Dia justru tampil sederhana, menghendaki serba transaparan untuk mencegah korupsi. Dia mau memeriksa sendiri saluran air, mengawasi pembangunan tanggul, melihat langsung masalah sampah.
Jokowi, tentu bersama Basuki, yang fokus ingin memikirkan rakyat, juga memutuskan adanya lelang jabatan untuk Jakarta, rapat direkam dan dipublikasikan agar rakyat tahu apa yang terjadi, pengadaan barang lebih terbuka dengan e-procurement. Cara ini mulai ditiru oleh pemerintah daerah lain, meskipun masih banyak birokrasi yang bermental lama dan cenderung status quo.
Efek Jokowi memang menenggelamkan pemimpin yang lebih bermental penguasa dan suka pada pencitraan daripada kerja nyata. Dorongan publik agar Jokowi menjadi calon presiden lebih karena “muak” pada para pemimpin selama ini dan menghendaki pemimpin baru yang “dekat dengan rakyat.”
Persoalannya bukan apakah selama menjadi Gubernur Jakarta telah mencapai hasil dengan baik, terutama mengatasi banjir dan kemacetan. Namun rakyat melihat bahwa cara memimpin dan cara menyelesaikan masalah berada pada jalur yang dikehendaki rakyat; dialog, transparan dan fokus pada kepentingan rakyat.
Dalam kasus Jakarta, dengan masalah yang besar, satu setengah tahun kepemimpinannya tentulah terlalu singkat untuk perubahan yang besar. Namun pondasi perubahan telah dilakukan oleh pemimpin baru Jakarta. Ini hal yang penting.
Efek Jokowi 2014
Efek Jokowi, tampaknya diharapkan bagi partai yang mengusungnya. Pernyataan menetapkan Jokowi sebagai calon presiden tampaknya diharapkan akan meningkatkan elektabilitas PDIP. Sosok dan gambar Jokowi akan menjadi “jualan” bagi partai dan para caleg PDIP. Partai ini mencoba “menyatukan’ pilihan rakyat pada dua pemilu saling memberi efek yang (diharapkan) positif.
Partai ini menjalani pergumulan besar ketika Megawati masih disebut sebagai pemegang keputusan tunggal menentukan capres partai, namun tidak bisa menutup mata besarnya desakan agar Jokowi yang diajukan. Mega tampaknya sudah berhitung tentang hal ini, termasuk momentum pengumuman dilakukan hanya dua hari menjelang kampanye pemilihan parlemen.
Efek Jokowi pada Pemilu 2014 bahkan terjadi pada partai lain, misalnya ada caleg dari partai bukan PDIP memasang spanduk di mana foto Jokowi tampil di latar belakang. Dan dengan tampilnya Jokowi yang selama ini disebut memilikim elektabilitas tertinggi, harus menjadi perhitungan serius para calon presiden lainnya.
Namun efek Jokowi ini sejak diumumkan sudah makin nyata. Setelah siang hari diumumkan, perdagangan saham di bursa efek Jakarta naik secara drastis yang menunjukkan adanya efek psikologis menyambut keputusan capres Jokowi. Kepercayaan pasar dan harapan juga tercermin dengan meningkatnya rupiah dalam perdagangan hari itu, yang tinggal beberapa jam ditutup.
Media sosial juga mencerminkan sambutan penetapan capres Jokowi, meskipun ada juga pihak yang menolaknya. Namun sudah berbulan-bulan media sosial terus berbicara tentang kemungkinan dan dorongan agar Jokowi menjadi calon presiden.
Efek Jokowi di Jakarta
Jokowi, pria kelahiran Solo 1961, dilantik menjadi Gubernur Jakarta 15 Oktober 2012. Itu berarti baru 18 bulan menjabat. Jika dia terpilih menjadi presiden dan dilantik pada November 2014, maka dia hanya memiliki 25 bulan menjadi gubernur.
Selain ada pihak yang mendorong Jokowi menjadi Capres, memang ada kelompok yang menyebut ada baiknya Jokowi menuntaskan tugas sebagai gubernur selama lima tahun, dan mengambil kesempatan pemilihan presiden 2019. Namun hal itu sudah tidak relevan, karena Jokowi sekarang harus mengatakan “Saya mikirin capres.”
Efek Jokowi bagi Jakarta adalah dia harus berbagi waktu antara “mikirin capres” dan “mikirin Jakarta”. Hal itu akan menjadi pekerjaan berat selama enam atau tujuh bulan kedepan, bahkan juga bagi Wakil Gubernur. Basuki akan memikul tugas ini, di tengah birokrasi DKI yang masih ada orang yang “bermental status quo” dan penetang perubahan.
Namun jika Jokowi akhirnya terpilih, Basuki (yang akan naik menjadi Gubernur Jakarta ) bersama Jokowi akan bisa memainkan peran yang menarik, seperti selama ini dilakukan, untuk menata Jakarta yang membutuhkan keputusan pusat, daerah, dan antar-daerah.
Efek Jokowi, juga akan menyangkut bagaimana Basuki akan berperan lebih besar dalam pemerintakan Jakarta, karena Jokowi harus juga “mikirin capres”. Dan jika Jokowi jadi presiden, Jakarta harus memilih Wakil Gubernur yang “kimianya” sepadan dengan pasangan Jakarta 1 dan 2 selama ini.
Tantangannya adalah kelompok sektarian yang resisten atas posisi Basuki sebagai Gubernur dan menggunakan isu sektarian dalam berbagai kesempatan. Namun pada era sekarang, isu itu hanya akan menimbulkan frustrasi karena tidak akan disambut dan tidak relevan, apalagi jika Basuki mampu menunjukkan kapasitas yang layak sebagai Jakarta 1 dan melanjutkan gagasannya bersama Jokowi untuk perbaikan Jakarta.
Otoritas Suriah Tunjuk Seorang Komandan HTS sebagai Menteri ...
DAMASKUS, SATUHARAPAN.COM-Penguasa baru Suriah telah menunjuk Murhaf Abu Qasra, seorang tokoh terkem...