Jurnalisme Naratif: Sebuah Jeda untuk Urai Informasi
YOGYAKARTA, SATUHARAPAN.COM -- Data dari Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia (APJII) pada 2015 menyebutkan bahwa terdapat 88 juta pengguna internet di Indonesia. Padahal pada 2012, pengguna internet masih berada di angka 63 juta. Perkembangan yang sangat pesat tersebut, salah satunya dipengaruhi oleh banyaknya jumlah gadget yang beredar di Indonesia, yaitu sekira 300 juta gadget.
Melalui teknologi gadget inilah arus informasi tersalurkan dan tersampaikan, dari produsen informasi, seperti media, kepada para pengguna internet. Tak hanya di tataran dunia maya semata, informasi juga diterima oleh masyarakat lewat media cetak dan elektronik. Inilah yang membuat ruang berfikir manusia dalam 24 jam sehari, 7 hari seminggu, dibanjiri oleh arus informasi.
Arus informasi yang terus membanjiri ruang berfikir tersebut, tak jarang, membuat manusia melupakan informasi yang sempat tersampaikan pada waktu sebelumnya, karena pada hari setelahnya telah muncul banyak informasi baru. Di sisi lain, arus informasi juga tidak pernah putus, ibaratnya, dari awal muncul di media online kemudian jadi liputan di media elektronik, keesokan hari muncul di media cetak, lalu diposting lewat akun-akun di media sosial, dan kembali lagi muncul di media online.
Membanjirnya arus informasi yang diterima setiap hari dalam ruang berfikir manusia membuat perlu sebuah jeda untuk mengurai informasi tersebut. Pasalnya informasi yang sempat diterima oleh ruang berfikir manusia tersebut, tak jarang, bisa salah atau kurang akurat, baik secara data maupun kebenarannya. Salah satu masa jeda yang ditawarkan untuk mengurai informasi tersebut adalah membaca produk dari jurnalisme naratif atau dikenal pula dengan jurnalisme sastrawi.
Menyoal jurnalisme naratif inilah yang kemudian diangkat dalam diskusi yang digelar pada hari Sabtu (13/2) di Lembaga Indonesia Perancis (LIP) Yogyakarta. Diskusi bertajuk “Masa Depan Jurnalisme Naratif” ini menghadirkan dua narasumber, yaitu Nezar Patria, anggota Dewan Pers dan Andreas Harsono dari Yayasan Pantau dan Peneliti Human Rights Watch. Diskusi yang dihelat oleh Pindai ini mengupas persoalan informasi di media online sekaligus kemungkinan untuk membawa jurnalisme naratif ke dalam media online.
Menurut Nezar Patria jurnalisme naratif merupakan salah satu cara untuk menambal kelemahan yang sering muncul pada pemberitaan online. Pemimpin redaksi The Jakarta Post Online ini memaparkan bahwa dari beberapa kelemahan pemberitaan yang muncul dalam media online, salah satu yang sering terjadi adalah tuntutan untuk membuat berita yang serba cepat, namun seringkali informasi yang tersampaikan sangat dangkal.
“Perlu sebuah jeda untuk mengurai informasi. Di sini pentingnya jurnalisme naratif,” ujar Nezar Patria
Lebih lanjut Nezar Patria menjelaskan bahwa jeda tersebut dimaksudkan untuk meresapi sekaligus memahami lebih dalam tentang informasi yang mampir di ruang berfikir manusia. Dalam tataran ini manusia bisa lebih memahami secara kontekstual tentang maksud dan tujuan dari informasi yang diterima.
“Jurnalisme naratif bisa dijadikan cara untuk menutup ketidakakuratan, untuk melakukan verifikasi lebih dalam, perbaikan tata bahasa, serta memperkuat otensitas,” kata Nezar Patria .
Mahal sekaligus makan waktu
Segala macam keunggulan dari jurnalisme naratif memang sangat berguna bagi tercapainya maksud dan tujuan dari informasi yang disampaikan. Di satu sisi cara ini memang bermanfaat untuk menambal banyak kelemahan dari beragam tulisan yang sering muncul di banyak media. Namun di sisi lain, tuntutan dari pasar maupun pemilik media untuk menyajikan berita yang cepat menjadi persoalan tersendiri.
Hal ini juga diamini oleh pembicara kedua, Andreas Harsono yang telah membaca fenomena perkembangan arus informasi di berbagai media. Andreas juga menyadari bahwa pemikiran untuk membawa arus jurnalisme di Indonesia, khususnya di media online, memang tidak mudah. Perlu perubahan cara berfikir, di samping juga kebiasaan pembaca untuk membaca tulisan panjang.
“Jurnalisme naratif itu mahal, pelan, sulit, dan makan waktu,” papar Andreas.
Kenyataan tentang ongkos yang cukup mahal dan waktu yang akan banyak dipakai untuk menghasilkan sebuah karya berbentuk jurnalisme naratif memang merupakan sebuah konsekuensi dari suatu perubahan, an sich, mengubah mainstream dari kebanyakan tuntutan media online untuk menyajikan informasi yang serba cepat. Namun menurut Andreas, kecenderungan pembaca saat ini justru akan lebih menyukai sesuatu bacaan yang panjang, namun penuh dengan gizi, dibandingkan dengan kecepatan informasi, namun dangkal akan akurasi.
Editor : Yan Chrisna Dwi Atmaja
Otoritas Suriah Tunjuk Seorang Komandan HTS sebagai Menteri ...
DAMASKUS, SATUHARAPAN.COM-Penguasa baru Suriah telah menunjuk Murhaf Abu Qasra, seorang tokoh terkem...