Jurnalistik Ronggeng Aristides Katoppo Dimata Atmadji Sumarkidjo
JAKARTA, SATUHARAPAN.COM – Atmadji Sumarkidjo, eks Jurnalis Sinar Harapan/Suara Pembaruan menjelaskan pemakaian istilah jurnalistik ronggeng oleh Aristides Katoppo yang baru diungkapkan bertahun-tahun kemudian oleh almarhum.
Dalam diskusi “Mengenang Aristides Katoppo (14 Maret 1938 - 29 September 2019), Nurani Jurnalis di Tengah Ketidakpastian” di Auditorium Lantai 2 Perpustakaan Nasional RI Jl. Medan Merdeka Selatan No.11, Jakarta Pusat, Jumat (8/11), Atmadji mengungkapkan bahwa Aristides Katoppo menyadari pada masa orde baru bahwa melawan pemerintahan otoriter itu adalah sia-sia, maka harus bisa bermanuver.
“Dalam perjalanan hidup Pak Tides ada perubahan sikap, ada sedikit kompromi-kompromi terhadap kenyataan politik pada masa orde baru. Jurnalistik ronggeng diibaratkan penari ronggeng yang sensual,” katanya.
Atmadji menilai, ronggeng sebagai sosok yang mampu bertahan menghadapi diri, tantangan, godaan, dan segala macamnya tanpa dia kehilangan identitasnya. “Pak Tides selain memakai istilah ronggeng, rupanya juga suka menonton ronggeng,” katanya.
Di mata Atmadji, sosok Tides baru diketahuinya setelah tidak bersinar lagi sebagai jurnalis di Sinar Harapan. Dia mengetahui Tides baru pulang dari Amerika Serikat (AS) setelah diisolasi oleh pemerintah orde baru selama dua tahun dan dipaksa sekolah di AS.
“Ternyata saya tahu kemudian bahwa itu adalah kebijakan yang diambil oleh Pangkopkamtib Jenderal Soemitro dan Menteri Penerangan Budiardjo. Mereka ini bilang, ‘manusia ini tidak bisa dikendalikan. Kita sudah tutup surat kabarnya, mencabut surat izin cetaknya pada akhir tahun 1972 dan terhadap pemberitaannya, tetapi kalau Aristides Katoppo tetap memimpin Sinar Harapan pasti nanti akan dibredel lagi’,” katanya.
Satu-satu caranya pada waktu itu, kata Atmadji, yang merupakan praktik yang biasa bahwa pemimpin umum atau pemilik ditekan dengan janji akan diberi izin terbit lagi tapi orang dengan nama yang ini-itu pergi dulu.
“Selamatkan wajahnya, selamatkan mukanya, kirim ke Amerika,” kata Atmadji yang pada tahun 1979 bergabung dengan Sinar Harapan.
Atmadji mengatakan, Tides saat itu masih dalam daftar hitam sebagai pemimpin redaksi tapi dia masih influencing, membimbing yunior-yunior dengan caranya.
“Menurut kita yang yunior, dia berikan "racun-racun" mengenai praktik jurnalistik yang sebenarnya dan tetap memegang azas-azas jurnalistik murni dan sesungguhnya. Dari belakang dia mendorong kita, tapi tidak seperti ketika dia berkuasa di Sinar Harapan awal mengenai kebijakan atau policy dari surat kabar itu,” katanya.
Tetapi yang menarik, kata Atmadji, adalah ketika beliau seakan-akan dipaksa mundur dari fungsi redaksional. Dia menitipkan ilmunya kepada murid-muridnya, misalnya jurnalis investigatif salah satunya Panda Nababan. Dia dorong untuk menjadi investigative journalism di luar bidang-bidang sensitif, aman dari persoalan politik.
Dalam perjalan waktu Sinar Harapan kemudian pasca 1975 berbeda dengan ketika Tides memimpin. Ada kompromi sedikit bahwa mereka tidak akan menyentuh politik yang terjadi di Istana dan sekitarnya. Tetapi tetap mempunyai ciri yang ditinggalkan oleh Tides, straightforward, kemudian satu berita banyak sumber, bukan satu sumber banyak berita.
“Itu yang paling menarik. Kalau rumusan sederhana dari Katoppo itu dipegang, saya kira Sinar Harapan tidak mungkin dibredel pada 1986, karena yang menyebabkan Sinar Harapan dibredel bukan karena keberanian jurnalismenya tapi karena keteledoran jurnalistik di mana satu berita sumbernya adalah pihak-pihak tidak jelas dan tidak ada check dan rechcek dengan sumber yang lain. Sinar Harapan terjerumus oleh kelalaian untuk menerapkan ilmu yang ditinggalkan oleh Pak Katoppo,” kata Atmadji.
Prasasti Batu Tertua Bertuliskan Sepuluh Perintah Tuhan Terj...
NEW YORK, SATUHARAPAN.COM-Prasasti batu tertua yang diketahui yang bertuliskan Sepuluh Perintah Tuha...