KAA dan Arsitektur Baru Lembaga Pembangunan Asia
SATUHARAPAN.COM – Beberapa hari acara peringatan 60 tahun Konperensi Asia-Afrika di Jakarta dan Bandung menunjukkan bahwa peringatan ini bukanlah acara seremonial biasa. Walaupun ada kandungan nostalgia historis sebagai sumber semangat kebangkitan negara-negara yang 60 tahun lalu baru saja merdeka, tetapi lebih utama lagi telah berkembang menjadi suatu solidaritas baru untuk pembangunan.
Salah satu hal yang menonjol adalah kuatnya semangat Selatan-Selatan yang dibangun melalui berbagai gagasan reformasi kelembagaan dunia. Dalam pidato pembukaan, Presiden Joko Widodo secara khusus menyinggung tentang kelemahan PBB secara kelembagaan tidak efektif menjembatani berbagai kepentingan, serta tidak seimbangnya peran lembaga pembangunan yang selama ini dimonopoli oleh World Bank, IMF dan ADB dalam mengelola kepentingan negara-negara Asia dan Afrika.
Beberapa pemimpin negara peserta dalam pidato mereka menyebutkan nama Asian Infrastructure Investment Bank (AIIB) sebagai alternatif baru lembaga pembangunan internasional, yang kulminasinya dalam pidato para pemimpin di Bandung pada Jumat 24 April 2015. Jika demikian, apakah yang dimaksudkan dengan AIIB ini? Siapakah yang berada di baliknya? Bagaimana dinamika yang muncul di sekitarnya? Bagaimana kepentingan Indonesia dalam hal ini?
AIIB baru saja terbentuk pada 24 Oktober 2014 atas inisiatif Tiongkok dan berpusat di Beijing. Diharapkan bahwa pada akhir tahun 2015 nanti AIIB sudah bisa beroperasi secara penuh. Lembaga ini didukung oleh banyak negara untuk menyediakan bantuan bagi pembangunan infrastruktur di Asia. Pendirian AIIB dilakukan melalui Memorandum of Understanding (MoU) dari 21 negara termasuk Tiongkok, India, dan Singapura, Thailand, Malaysia, Vietnam. Indonesia baru menandatangani MoU AIIB pada bulan selanjutnya karena sebelumnya masih disibukkan dengan agenda pemilu Presiden. Negara-negara non-Asia seperti Inggris, Jerman, Perancis, Italia, dan Australia telah menyatakan dukungan mereka terhadap lembaga baru ini.
Amerika Serikat (AS), Jepang, dan Kanada belum berpartisipasi dalam lembaga ini. Keberatan AS disebabkan karena mereka masih mengkhawatirkan aspek tata kelola dari lembaga AIIB ini, yang belum cukup jelas bagi mereka.
Terhadap sikap AS tersebut, Profesor Joseph Stiglitz (peraih Nobel ekonomi, profesor pada Columbia University) menyebutkan bahwa AS keliru secara strategik jika menolak ikut serta dalam AIIB. Beberapa media bahkan menyebutkan bahwa AS perlu meninjau ulang posisinya karena dua alasan, politik luar negeri AS menempatkan Asia sebagai prioritas dan karena adanya dukungan para sekutu AS di Asia bagi AIIB. Menurut Stiglitz, AS terlalu menekankan pada kepentingan perdagangan di Asia dan melupakan kepentingan infrastruktur yang merupakan kebutuhan sebagian besar negara Asia.
Kelahiran AIIB tidaklah terlepas dari gagasan akan reformasi kelembagaan dunia secara politik dan ekonomi. AIIB sendiri dipengaruhi kebangkitan Tiongkok secara ekonomi dan politik yang semakin kuat baik di Asia maupun secara global. Namun walau semakin kuat pengaruhnya, peran Tiongkok dalam pengambilan keputusan di lembaga pembangunan seperti ADB, Bank Dunia, dan IMF. Data yang ada menunjukkan bahwa meskipun peran Tiongkok untuk berperan mendanai pembangunan melalui ADB sangat diharapkan, namun Tiongkok hanya memiliki hak suara (voting right) sebesar 5,47 persen di ADB, sedangkan AS dan Jepang masing-masing memiliki 13 persen hak suara (dikombinasikan menjadi 26 persen).
Tidaklah mengherankan akan dukungan berbagai negara tersebut, karena investasi Tiongkok sebesar 50 miliar US Dollar di AIIB menjadikan kapasitas AIIB sangat kuat untuk menandingi Bank Dunia. Dalam situasi sekarang ini di mana semakin sulit menemukan sumber pendanaan pembangunan. Tiongkok bahkan telah mengajak India untuk memperkuat kelembagaan AIIB menjadi 100 miliar US Dollar.
Dukungan Asia bagi AIIB diharapkan membawa manfaat berupa peningkatan standar kehidupan melalui pembangunan infrastruktur, sebagaimana yang telah dialami oleh Tiongkok. Negara non-Asia seperti Inggris melihat adanya peluang ekonomi bagi mereka lewat partisipasi mereka dalam AIIB. Sekutu AS seperti India dan Singapura ikut mendukung AIIB karena melihat adanya peluang investasi infrastruktur.
AIIB sering diumpamakan sebagai New Silk Road (jalan sutera baru). Menurut pendapat Barclays (lembaga keuangan Inggris), kehadiran AIIB sebagai relasi kerjasama yang interdependen berbasis kepentingan ekonomi merupakan Jalan Sutera baru. Manfaatnya akan mendekatkan relasi politik, membangun saling pemahaman yang menguntungkan, dan menciptakan stabilitas jangka panjang di kawasan ini. Pada akhirnya akan mengurangi risiko geopolitik dan menurunkan peluang konflik militer.
Menurut Business Insider, AS tentunya tidak akan menerapkan pembalasan terhadap sekutunya yang mendukung AIIB, sehingga relasi para sekutu dengan AS akan tetap terpelihara sedangkan para sekutu bisa memperluas kerjasama dengan Tiongkok. Dengan demikian bisa dikatakan bahwa kelahiran AIIB diharapkan menciptakan stabilitas kawasan di Asia.
Manfaat AIIB bagi Indonesia adalah menyediakan dukungan bagi program langsung yaitu pembangunan infrastruktur, sehingga masyarakat dapat secara langsung merasakan manfaat investasi asing secara langsung. Sistem keuangan global yang ada saat ini (menurut Stiglitz) tidak mampu menjawab kebutuhan pendanaan pembangunan secara langsung.
Sebenarnya format AIIB mengambil format Bank Dunia mula-mula (pasca Perang Dunia ke-2) di Eropa. Waktu itu Bank Dunia masih secara langsung mendanai pembangunan infrastruktur di Eropa. Dengan adanya AIIB, maka akan mengurangi hegemoni sumber pembiayaan pembangunan. Dunia telah berubah, sumber pembiayaan pembangunan juga mengalami difersifikasi. Termasuk melalui lahirnya AIIB.
Penulis adalah pemimpin redaksi Jurnal Studi Pembangunan Interdisipliner KRITIS dan dosen fakultas hukum Universitas Kristen Satya Wacana, Salatiga.
Albania akan Blokir TikTok Setahun
JAKARTA, SATUHARAPAN.COM - Pemerintah Albania menyatakan akan memblokir media sosial TikTok selama s...