Kafegama: Ekonomi Kerakyatan Bisa Menangkan RI di ASEAN
Ekonomi kerakyatan sejatinya adalah sebuah sistem perekonomian yang mampu mengikutsertakan seluruh lapisan masyarakat dan menghubungkan pelaku usaha besar, menengah, dan kecil dalam satu sistem
JAKARTA, SATUHARAPAN.COM - Keluarga Alumni Fakultas Ekonomi Universitas Gadjah Mada (Kafegama), meyakini pendekatan ekonomi kerakyatan merupakan pilihan strategi terbaik bagi Indonesia untuk memenangkan persaingan di kancah Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA).
Hal itu dikatakan Ketua Tim Penulis Buku Kafegama, Hendri Saparini, dalam acara launching dan talkshow bedah buku “Menumbuhkan Ekonomi Kerakyatan, Memenangkan Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA)” di gedung Learning Centre Bank Indonesia (LCBI), Jakarta, hari Jumat (7/10).
“Tentu banyak pilihan jalan untuk mewujudkan potensi dan berbagai peluang yang ada. Namun Kafegama meyakini bahwa pendekatan kerakyatan yang selama ini menjadi roh Universitas Gadjah Mada, merupakan pilihan strategi terbaik bagi Indonesia untuk memenangkan persaingan di kancah ASEAN,” kata Hendri.
Anggota Komite Ekonomi dan Industri Nasional (KEIN) itu, mengatakan ekonomi kerakyatan bukanlah sebuah sistem ekonomi yang hanya memberikan tempat bagi usaha kecil dan menengah.
Menurut dia, ekonomi kerakyatan sejatinya adalah sebuah sistem perekonomian yang mampu mengikutsertakan seluruh lapisan masyarakat dan menghubungkan pelaku usaha besar, menengah, dan kecil dalam satu sistem yang saling berkaitan dan saling mendukung untuk menghilangkan kesenjangan dan menuju kesejahteraan bagi seluruh rakyat Indonesia sesuai amanat konstitusi.
Hendri mengatakan, dalam buku yang diluncurkan Kafegama mengangkat 10 sektor yang diyakini berpotensi menjadi champion Indonesia di kawasan ASEAN. Di antaranya adalah sektor pendidikan dan kesehatan yang diyakini berpeluang untuk dikembangkan dengan memanfaatkan kerja sama ekonomi dalam rangka MEA.
“Selain memiliki fungsi layanan publik yang penting dalam mencerdaskan bangsa, sektor pendidikan juga memiliki potensi untuk dikembangkan menjadi industri penghasil devisa,” katanya.
Hendri menilai, dengan lokasi geografis dan kekayaan alamnya, Indonesia dapat menetapkan diri sebagai pusat studi berbagai penyakit tropis ataupun pusat riset maritim dan kelautan, misalnya dengan membangun universitas dan lembaga riset terbaik dan terbesar di ASEAN.
“Demikian juga Indonesia dapat mengembangkan pusat penelitian obat pengobatan dan perawatan kesehatan dengan mengoptimalkan kekayaan herbal Indonesia yang tidak dimiliki banyak negara lain,” katanya.
Pengembangan Sisi Kooperasi
Hendri mengaku, di era MEA, free flow tenaga kerja antaranegara ASEAN berpotensi menyulitkan pemerintah dalam menyelesaikan masalah pengangguran. Menurut dia, bila dilihat hanya dari tingkat pendidikan formal, tenaga kerja Indonesia mungkin akan kalah bersaing.
“Namun tenaga kerja yang tidak berpendidikan formal tinggi tersebut juga memiliki potensi daya saing tinggi dengan segala keterampilan yang dimilikinya,” lanjutnya.
Dia mencontohkan, tukang ukir dan para pembatik, misalnya hanya membutuhkan dukungan kebijakan untuk dapat bertahan di dalam negeri maupun memenangkan persaingan di pasar ASEAN.
Selain itu, Indonesia dapat mencontoh antara lain Jerman yang mendukung daya saing para pekerja terampil di sektor konstruksi dengan pelatihan dan sertifikasi keahlian.
Lebih lanjut, Hendri mengatakan, selama ini diskusi integrasi ekonomi ASEAN lebih menonjolkan sisi kompetisi dan persaingan antarnegara anggota saja.
Menurut dia, masing-masing negara akan berlomba dengan beragam strategi untuk dapat memenangkan persaingan di kawasan. Namun, kata dia, para pengambil kebijakan dan pelaku ekonomi juga harus melihat integrasi ASEAN dari sudut pandang lain dengan menggali pengembangan sisi kooperasi dalam rangka kerja sama MEA.
"Kita harus mengembalikan nilai-nilai kooperasi sebagai semangat dan landasan utama dalam pembentukan ASEAN. Membangun kerja sama Indonesia-Malaysia di sektor kelapa sawit misalnya, merupakan salah satu contoh upaya yang dapat dilakukan untuk mengoptimalkan daya saing sawit Indonesia dan Malaysia di dunia, karena produksi ke dua negara menguasai lebih dari 85 persen pasar dunia," katanya.
"Hal serupa dapat dilakukan di sektor perikanan dan maritim karena Indonesia merupakan pemilik sumber daya perikanan dan maritim terbesar di ASEAN," dia menambahkan.
Editor : Eben E. Siadari
Bebras PENABUR Challenge : Asah Kemampuan Computational Thin...
Jakarta, satuharapan.com, Dunia yang berkembang begitu cepat memiliki tantangan baru bagi generasi m...