Kasus Kebakaran Hutan Dihentikan, Seriuskah Polisi?
RIAU, SATUHARAPAN.COM - Keluarnya SP3 atau surat perintah penghentian penyidikan dari Polda Riau atas kasus kebakaran hutan dan lahan dipertanyakan oleh kalangan aktivis di Riau.
Menurut Jaringan Penyelamat Hutan Riau (Jikalahari) yang dikutip dari situs jikalahari.or.id, ada 11 perusahaan yang diduga terlibat melakukan pembakaran hutan dan lahan di provinsi tersebut dan disidik polisi mendapat SP3 atau surat perintah penghentian penyidikan, dua perusahaan proses sidik, dan dua perusahaan P21.
Sebelas perusahaan yang dihentikan perkaranya oleh Polda Riau yakni PT Bumi Daya Laksana (HTI), PT Siak Raya Timber (hutan alam), PT Perawang Sukses Perkara Indah (HTI), PT Hutani Sola Lestari (hutan alam), PT Bukit Raya Pelalawan (HTI), KUD Bina Jaya Langgam (HTI), serta perusahaan sawit PT Pan United, PT Riau Jaya Utama, PT Alam Lestari, PT Parawira, dan PT Langgam Inti Hibrido (Korporasi).
Saat ditanya, apakah langkah ini berarti ada ketidaksinkronan atas upaya pemerintah pusat menindak pembakar hutan dan lahan dengan praktik di lapangan, Kapolda Riau, Suprianto, menjawab, "Tidak mungkin polisi tidak serius."
"Yang tahu teknisnya Ditreskrimsus (Direktorat Reserse Kriminal Khusus). Silakan telepon dia. Jangan ngomong begitu. Siapa yang tidak sinkron? Buktikan, tahun 2016 dengan 2015, banyak mana asapnya? Tanyakan sama masyarakat sini. Itu bagian dari upaya langkah-langkah yang dilakukan provinsi, Polda, dan seluruh komponen yang ada di sini. Bukan tidak serius,” kata Supriyanto, seperti diberitakan bbc.com.
Berdasarkan laporan sejumlah media, humas Polda Riau mengatakan, sebelum mengeluarkan SP3, polisi sudah melakukan penyidikan, namun tidak menemukan kesengajaan membakar atau pembiaran.
Tetapi hal itu dibantah oleh Wakil Koordinator Jikalahari, Made Ali.
"Pengalaman 2013-2014, Polda Riau progresif, tidak ada yang kasus yang dihentikan. Bahkan ada dua, tiga, yang naik ke persidangan. Di 2015 ini, kan, objeknya sama-sama kebakaran hutan dan lahan di area konsesi, (saksi) ahli yang dipakai juga sama, tapi kenapa yang 2015 kasusnya dihentikan?" Made mempertanyakan.
Made menyesalkan langkah pemberian SP3, karena dampak akibat bencana kabut asap yang terjadi pada 2015, menewaskan lima orang dan menyebabkan puluhan ribu warga di Riau menderita infeksi saluran pernapasan akut (ISPA).
Made mencontohkan, ketika pada 2013-2014 dilakukan penindakan dan penyidangan terhadap dua perusahaan, hal itu berdampak pada jumlah titik panas yang menurun drastis akibat 'efek jera'. Tak mengherankan kini dia menghawatirkan bahwa dengan penghentian kasus, ancaman kabut asap akan meningkat lagi.
Made juga menilai, pemberian SP3 'dilakukan secara diam-diam' sejak Januari 2016, dan baru mereka ketahui pada Maret.
"Jelaskan ke publik, kenapa ini di-SP3-kan. Apakah persoalan hukum atau persoalan di luar hukum, atau ada persoalan lain? Bersalah atau tidaknya perusahaan, yang menentukan hakim nantinya. Bukan polisi," kata Made.
Bahkan Jikalahari meminta Presiden RI, Joko Widodo dan Kapolri Jenderal Tito Karnavian, melakukan evaluasi terhadap kinerja Kapolda Riau, Brigjen Pol Supriyanto.
“Dalam perkembangannya, baru PT Langgam Into Hibrido dan PT Palm Lestari Makmur yang naik ke pengadilan. Itu pun yang jadi terdakwa dan tersangka perorangan, bukan korporasinya,” kata koordinator Jikalahari, Woro Supartinah, pada Selasa, (19/7) seperti dikutip dari riausky.com.
Woro menuding Kapolda Riau, Brigjen Pol Supriyanto telah melanggar instruksi presiden Jokowi, atas penghentian perkara 11 perusahaan tersebut berdasarkan Intruksi Presiden (Inpres) No 7 Tahun 2015, tentang aksi pencegahan dan pemberantasan Korupsi Tahun 2015. Salah satunya adalah meningkatkan keterbukaan proses penegakan hukum di masyarakat.
“Jokowi menginstruksikan langkah tegas pada pembakar hutan dan lahan, baik administrasi, pidana maupun perdata. Bukan menghentikan 11 perkara perusahaan pembakar hutan dan lahan,” katanya.
Woro juga meminta Kapolri memberi catatan lapor merah terhadap kinerja Kapolda Riau, jika terbukti tidak melaksanakan instruksi.
Sementara itu, Direktur Penegakan Hukum Pidana Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, KLHK, Muhammad Yunus mengatakan, langkah Polda Riau itu tak membuatnya jadi pesimistis terhadap kelanjutan proses penegakan hukum, dan penindakan atas perusahaan-perusahaan lain yang diduga membakar hutan dan lahan.
Apalagi, kata Yunus, KLHK sekarang tengah mengajukan tiga berkas atas kasus terhadap perusahaan lain, dalam dugaan pembakaran hutan dan lahan, dan dua di antaranya sudah lengkap untuk disidangkan.
"Kita tidak bisa memaksakan penyelesaian kasus, yang memang tidak bisa. Mungkin penyidik dari polisi melihat seperti itu. Kita tidak bisa intervensi, tidak membahas, tidak masuk ke kasus mereka," kata Yunus.
Yunus mencontohkan putusan PN Palembang, yang menolak gugatan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan pada PT Bumi Mekar Hijau, dalam kasus kebakaran hutan dan lahan pada Januari lalu.
"Banyak kasus yang bebas. Putusan hakimnya kan sama saja (dengan pemberian SP3). Cuma ini porsinya hakim menyatakan bebas, sementara yang ini porsinya penyidik menyatakan SP3. Kadang, kalau ditanya apakah kecewa atau bagaimana, ya, yang penting kita tetap jalan saja. Tidak boleh terpengaruh dengan hal-hal yang ada di sana," kata Yunus.
Dalam setahun terakhir, dari 18 perusahaan yang disebut sebagai tersangka pelaku pembakaran hutan dan lahan, baru tiga yang naik ke tingkat pengadilan.
Satu kasus berakhir dengan vonis bebas untuk manajer PT LIH. Satu kasus lain berujung dengan vonis tiga tahun penjara untuk dua bos PT PLM.
Editor : Sotyati
Mencegah Kebotakan di Usia 30an
JAKARTA, SATUHARAPAN.COM - Rambut rontok, terutama di usia muda, bisa menjadi hal yang membuat frust...