Kaum Muda di Jalur Jazz: Jati Raga
YOGYAKARTA, SATUHARAPAN.COM - Beras kinosek ing telaga/Kalimbang-limbang dimen dadi resik/Tanpa kecer kang den luru/Kaadang dadi sega/Rinasakke dadi wareg anak putu/Elinga yen sandang boga/Nguwati urip sayekti. (Beras dicuci di telaga/digoyang dan diaduk agar bersih/tanpa tercecer sedikit pun/dimasak menjadi nasi/akan membuat kenyang anak-cucu/ingatlah bahwa sumber sandang-pangan/yang akan menghidupi kehidupan).
Sebuah lirik tembang macapat itu dibawakan oleh lima pemuda dalam iringan musik etnik-modern.
Lima pemuda memainkan kombinasi instrumen musik, drum, bass, gitar elektrik dalam genre jazz dipadu dengan bedhug dan selompret. Perpaduan alat musik tradisional dan modern dalam beat sedang cukup menghentak panggung terlebih ketika vokalisnya yang atraktif memainkan bedhug dan marakas mengiringi lengkingan suaranya yang mencapai 2,5 oktaf. Cukup unik untuk sebuah musik jazz.
Kelima pemuda itu Gipta, Andar, Gilang, Hatta, dan Zuhdi tergabung dalam grup musik Jati Raga asal Yogyakarta, grup etnik jazz yang dalam satu tahun terakhir turut mewarnai musik di Yogyakarta. Setidaknya dalam tahun 2016 mereka telah tampil pada Jagongan Media Rakyat 2016 di Jogja National Museum - Gampingan, Minggu (24/4), FKY 28 di Taman Kuliner Condongcatur-Sleman Kamis (8/9) malam, dan terakhir di Pekan Budaya Masuk Kampus 2016 di Plasa Sportorium UMY, Rabu (12/10) malam.
Dalam penampilan terakhirnya di PBMK 2016, mereka merilis komposisi baru Lampor Kendheng. Tiga komposisi lagu selalu mereka bawakan dalam setiap penampilan sebelumnya yakni Kutut Manggung, Caplokan, dan Jatriraga.
Caplokan merupakan tafsir atas satu bagian dari seni pertunjukan Jathilan yang merepresentasikan semangat pembebasan. Penggunaan selompret (alat tiup untuk reog) sekaligus irama Jawa Timuran ditimpali teriakan vokalis Zuhdi yang menggunakan teknik scream ala black metal menjadikan Caplokan sebuah komposisi lagu bertensi tinggi. Vokalis Jati Raga Zuhdi memiliki latar belakang bermain musik aliran metal rock.
Pada komposisi Jati Raga, merupakan refleksi atas keberadaan manusia untuk tetap berusaha dengan sabar dalam memahami arti hidup. Komposisi Jati Raga mengambil dari Serat Wedhatama sebagai pembuka dengan improvisasi permainan mainan tradisional anak-anak yang dibagikan kepada penonton untuk turut berkolaborasi dalam lagu.
Sementara dalam komposisi Kutut Manggung, Jati Raga mencoba untuk memberanikan diri manggung, tampil dan meneriakkan eksistensinya.
Dalam perbincangan dengan satuharapan.com Jumat (7/10), gitaris Jati Raga, Raghipta Utama, yang biasa dipanggil Gipta, menjelaskan bahwa pilihan menggabungkan unsur modern dan etnik bukanlah hal mudah.
"Jati Raga mencipta karya yang setidaknya mencampurkan dua unsur, modern dan etnik. Pilihan ini juga bukan berarti tanpa risiko dan tantangan. Jelas mencampurkan keduanya bukanlah hal yang mudah, berisiko tabrakan dan bahkan ora tekan (tidak sampai)," kata Gipta.
Lebih lanjut Gipta menceritakan proses karya terbarunya Lampor Kendheng. Komposisi tersebut terinspirasi oleh perjuangan ibu-ibu di Tegaldowo Kecamatan Gunem - Rembang yang mempertahankan lahan pertanian serta sumber mata airnya dari ekspansi penambangan bahan semen dan pembangunan pabrik semen.
Hampir tiga bulan Gipta menggubah komposisi lagu tersebut agar mendapatkan komposisi yang pas. Gipta menceritakan pengalaman perjalanannya saat lebaran tahun ini tampil di sebuah desa di Rembang, memberikan dukungan perjuangan masyarakat yang sedang mempertahankan hidup dan sumber kehidupannya, tanah dan sumber mata air.
"Saya bukan orang yang cengeng. Tapi saat saya mendengarkan Bu Sukinah dan kawan-kawan nembang macapat pada Kupatan Kendheng 2016, saya mbrebes mili (terharu sampai keluar air mata, Red). Itu (suara yang ditembangkan) yang keluar adalah suara hati," kata Gipta. Perjalanan tersebut menginspirasi Gipta untuk membuat komposisi lagu tersebut.
Lampor Kendheng, Ketika Seniman Berpihak
Pada Kupatan Kendheng 2016, Gipta tampil mengiringi Dwi Danto (Sisir Tanah), Minggu (10/7) memberikan semangat kepada ibu-ibu yang sedang berjuang mempertahankan lahan pertaniannya. Dua hari dihabiskan untuk mengeksplorasi alam-lingkungan dan dinamika sosial masyarakat Tegaldowo hingga tercetus untuk mengangkat Lampor dalam karya terbarunya.
"Kami sadar, kami memilih, dan berpihak, meskipun baru mampu dengan meneriakkan mantra dan tembang mereka," kata Gipta dalam perbincangan di sebuah angkringan Jumat (7/10).
Jati Raga menginterpretasi lampor sebagai perwujudan makhluk halus dalam bentuk bola api kecil yang bergerak cepat dan menimbulkan bunyi gaduh. Bagi masyarakat yang tinggal di daerah keraton (Jogja-Solo), lampor dikisahkan sebagai perjalanan para makhluk halus berwujud prajurit-prajurit kerajaan gaib atau zaman dahulu menuju ke suatu tempat. Dalam perjalanannya, prajurit-prajurit itu akan menciptakan suara gemerincing atau alunan peralatan yang dipukul-pukul. Lampor dalam bahasa Sansekerta, berarti suara ramai atau gaduh.
Mitos lampor yang berwujud prajurit gaib yang biasanya muncul dari Kali Progo menuju ke Gunung Merapi itu merupakan prajurit-prajurit Nyi Roro Kidul - sosok makhluk gaib penghuni perairan Jawa yang disegani. Lampor konon suka menampakkan diri saat-saat petang menjelang malam, tengah malam, atau menjelang waktu subuh.
Berburu lampor mengandung makna mekanisme perlindungan terhadap hama dalam sistem produksi pertanian masyarakat. Sementara Kendheng adalah kawasan pegunungan di daerah Rembang Jawa Tengah, tempat masyarakat dari sekian kampung berjuang mempertahankan tanah dan hidupnya, melawan kapitalisasi dan ketidakadilan. Jadi karya ini adalah semacam percikan api dari perjuangan masyarakat Gunung Kendheng dalam upaya mengusir hama-hama kekinian dalam konteks ekonomi-politik, jelas Gipta.
Rabu (12/10) malam, Jati Raga mempersembahkan sebuah lagu untuk saudara-saudara di Tegaldowo yang masih terus berjuang mempertahankan tanah-air sumber kehidupan yang menghidupi. Sepanjang perform Lampor Kendheng, bagi mereka yang melewati masa kecilnya tahun 1980-an di sekitar Kendheng Utara (Rembang-Blora-Pati) akan kembali menarik serpihan-serpihan ingatan pada tahun-tahun itu, ketika Sungai Kunir yang berhulu di kaki-kaki Kendheng Utara dan berderetan dengan Cekungan Air Tanah (CAT) Watu Putih masih terairi adalah kegembiraan bagi anak-anak untuk bluron saat hari libur.
Ketika hutan di hulu dan rumpun bambu di pinggir kali perlahan-lahan hilang bersamaan menghilangnya air, bluron bagi anak-anak kecil saat ini hanya tinggal cerita. Hingga tahun 1980-an akhir, air masih mengaliri Sungai Kunir hingga bermuara di Karanggeneng, Rembang kota.
Ketika kekeringan dan krisis air sering melanda wilayah Kabupaten Rembang secara keseluruhan setiap tahunnya, petani Tegaldowo masih terus bercocoktanam sepanjang tahun dengan berbagai komoditas pertanian.
Ketika petani Tegaldowo, Gunem-Rembang terus berjuang mempertahankan tanah-air sumber kehidupan yang menghidupi, saat bersamaan mereka harus bertahan menghadapi gempuran program yang sering mengatasnamakan pembangunan, lapangan kerja, serta pertumbuhan ekonomi.
Tahun 2017 Jati Raga berencana meluncurkan album perdana dalam genre etnik jazz.
Editor : Sotyati
Daftar Pemenang The Best FIFA 2024
JAKARTA, SATUHARAPAN.COM - Malam penganugerahan The Best FIFA Football Awards 2024 telah rampung dig...