“Keajaiban”: Anak-anak Korban Gempa Palu Kembali ke Pelukan Orang Tua
SATUHARAPAN.COM – Gempa bumi dan tsunami menerjang Palu, Sigi, dan Donggala, Sulawesi Tengah, 28 September 2018. Lebih dari 2.000 orang meninggal, bahkan ada kawasan seperti Petobo, yang akhirnya ditetapkan sebagai kuburan massal karena sudah tak mungkin menemukan korban yang terkubur di dalamnya.
Ada banyak kisah ratusan anak-anak yang terpisah dari orang tua mereka. Dalam beberapa minggu terakhir ini, 14 di antaranya bertemu kembali dengan keluarga mereka dalam peristiwa yang mengharukan setelah proses pencarian yang luar biasa. Rebecca Henschke dari BBC Indonesia, yang kembali ke lokasi gempa dan tsunami, hampir dua bulan sesudah peristiwa, menuliskan laporannya.
Gara-garanya adalah kompor yang ditinggalkan dalam keadaan tetap menyala, saat Martha Salilama berlari keluar sambil menggendong Fikri, bocah usia tujuh tahun, ketika gempa melanda.
Fikri adalah cucu dari Selfi Salilama, adik Martha. Saat gempa terjadi, Martha, dibantu Fikri, sedang memasak nasi kuning dengan ayam goreng untuk dijual di Festival Pesona Palu Nomoni.
“Waktu gempa itu, rumah roboh semua. Mereka berlarian karena takut tertindih bangunan. Jadi lari keluar,” kata Selfi.
Selfi mengatakan, Martha dan Fikri kemudian berkumpul bersama warga lain di sekitar patung kuda di teluk Palu. Ketika gempa bumi berhenti, Martha menitipkan Fikri kepada sejumlah tetangga di lapangan itu.
“Kakak saya itu (Martha) pulang ke rumah, mau mematikan kompor, karena tadi sedang masak,” kata Selfi.
“Ketika dia kembali ke patung kuda, Fikri sudah tak ada,” kata Selfi. Rupanya tsunami sudah menerjang.
Maka yang disaksikan Martha di sana saat kembali adalah sebuah pemandangan horor: semuanya hancur lebur akibat gelombang raksasa tsunami yang baru saja menghantam teluk.
Main Pasir
Kisah lain tentang Jumadil, bocah lima tahun, yang tatkala gempa melanda sedang bermain di pantai, membangun istana pasir.
Neneknya, Ajarni, yang mengasuhnya hari itu, berjualan makanan kepada penonton festival di jalanan di tepi pantai.
Dia sedikit manja sebelumnya, kata Ajarni. “Anak ini minta digendong sebelum gempa terjadi. 'Gendong Nek,' katanya. Jadi saya gendong-gendong terus. Sampai akhirnya dia bosan dan meminta diturunkan dan bermain di pasir,” katanya.
Ketika gempa kuat melanda dia berusaha membawa Jumadil, tetapi ia tak menemukannya.
“Entahlah apa yang terjadi, orang-orang sudah lari semua. Saya balik ke anjungan mencari cucu saya,” katanya.
Situasinya kacau, katanya, orang-orang berlarian ke segala arah saat gempa bumi melanda.
“Pas di Patung Kuda, air terlihat bergulung. Saya lihat air tinggi warnanya hitam. Saya lari sekencang-kencangnya, tidak tahu lari ke mana lagi. Untung ada motor-motor, saya berpegangan.”
Gelombang akhirnya menyeretnya ke tempat parkir Golden Palu Hotel.
Dia selamat. Tapi Jumadil lenyap. Di tempat parkir itu Ajarni ditemukan oleh suaminya, Asmudin, kakek Jumadil.
Awalnya ia tidak mengenalinya. “Dia di depan saya, tapi saya tidak tahu karena sudah ada darah, lumpur, sempet nangis, sempet saya lihat. Siapa ini? Lalu pada adik saya, saya bilang, cari dulu iparmu. Dia bilang, 'itu', sambil menunjuknya,” katanya.
“Ini yang membuat saya menangis. Rambutnya seperti mi instan campur lumpur dan darah. Saya langsung angkat. Saya pikir, jangan sampai dia kehabisan darah karena waktu itu darahnya sudah seperti kecap. Jadi satu motor kita bonceng dua ke rumah sakit.”
Berita hilangnya Jumadil, akhirnya sampai kepada Susi Rahmatia, ibunya, yang kebetulan sedang berada di rumah di ketinggian, saat gempa dan tsunami terjadi.
“Saya pikir dia sama neneknya. Anak ini main pasir di pinggir pantai. Saya pikir juga dia dibawa lari oleh ibu saya, lari sampai malam ke atas gunung,” katanya.
Sorenya, katanya, “Oom saya datang kasih kabar, banyak mayat anak-anak di anjungan. Saya menangis, saya pikir anak saya sudah mati dihantam ombak.”
“Malam itu bapaknya langsung mencari turun ke laut, dia menemukan beberapa anak kecil seumuran anak kami, dia menangis. Kemudian dia ke rumah sakit, cari-cari mayat, ada mayat masuk cari lagi, tapi Jumadil enggak ada juga.”
Pagi harinya, Asmudin, sang kakek, bergabung dalam upaya pencarian itu.
“Udara di sekitar pesisir masih ada bau mayat. Saya coba cari di daerah-daerah bertebing di bawah reruntuhan. Saya keliling-keliling, tidak pakai sandal, terus saja mencari,” kata Asmudin.
Dari Kantong Jenazah ke Kantong Jenazah
Keluarga Fikri -bocah yang berusia tujuh tahun di awal cerita kita ini- juga putus asa mencari buah hati mereka.
Neneknya, Selfi Salilama, mengatakan mereka mencemaskan Fikri sudah mati, jadi korban tsunami yang begitu dahsyat.
“Di rumah sakit kami membuka-buka kantong-kantong jenazah yang berisi jasad anak-anak,” katanya.
“Kami ke rumah sakit Bhayangkara, membuka-buka jenazah satu persatu. Sambil cemas, jangan-jangan jenazahnya ada di sini. Kebetulan ada anak kecil seperti Fikri juga. Ya Allah, dikuatkanlah, ternyata bukan. Dan setiap kali berharap jasad itu bukan Fikri.”
Mereka malah menemukan jenazah kakek Fikri.
“Kami hampir yakin bahwa kami telah kehilangan dia. Kami tahu kakak laki-lakinya yang berumur 10 tahun telah meninggal. Tetapi di lubuk hati, ada sedikit harapan bahwa mungkin Fikri berhasil lari waktu itu. Jadi kita berdoa semoga kita menemukan dalam keadaan hidup.”
Orang Tua Nun Jauh di Sana
Orang tua Fikri, tinggal dan bekerja di Gorontalo, yang jaraknya sekitar 600 kilometer.
Jalur komunikasi lumpuh, mengakibatkan Selfi tidak bisa menghubungi mereka. Di sisi lain, dia juga sedikit takut memberi tahu mereka.
“Saya tidak ingin orang-orang panik dan khawatir. Kami ingin mencari terlebih dahulu dan memberi mereka kabar yang lebih pasti,” katanya.
Tetapi, skala bencana yang begitu dahsyat membuat mereka tak mungkin menjaga rahasia itu.
“Kami melihat semuanya di televisi. Saya tidak bisa berkata-kata. Suami saya Iqbal langsung pergi ke Palu. Saya sendiri tinggal di sini untuk menjaga anak-anak saya yang lain,” kata Susila, ibu Fikri.
Ketika Iqbal As Sywie, suami Susila, tiba di Palu dan mendapati kedua putranya hilang, dia sangat terpukul. “Dia marah sekali,” kata Selfi.
“Dia bilang, 'mengapa tidak menjaga anak-anak dengan baik?' Saya harus menenangkannya dengan mengatakan bahwa ini di luar kuasa kami. Bahwa jika Allah ingin mengambil mereka, kita harus menerimanya,” lanjut Selfi.
Mereka kemudian mendaftarkan Fikri ke posko yang didirikan di berbadai sudut Palu untuk mencatat anak-anak yang hilang.
Mereka juga memberikan wawancara kepada stasiun televisi lokal, dengan menyebut ciri-ciri bocah tersayang mereka.
Kabar Baik
Paman Jumadil mengunggah foto sang bocah di halaman Facebook yang dibuat untuk para korban dan penyintas gempa dan tsunami Sulawesi Tengah, berharap dengan foto itu ada orang yang bisa mengenali keponakannya.
Dan itulah yang terjadi: seorang anak perempuan melihatnya dan yakin bahwa foto itu mirip sekali dengan anak yang sedang dirawat Sartini, ibunya.
Sartini adalah istri seorang pemuka agama di sana. Ia menemukan anak itu di sebuah kantor polisi sesudah terjadinya gempa.
Dia ingat bahwa saat ditemukan, anak itu terus menerus menangis sambil memanggil-manggil ibu dan ayahnya.
“Saya membujuknya dan mengatakan ‘ibu kamu sedang membeli susu buat kamu’,” katanya kepada AFP pada saat itu. Dia berhasil menenangkannya, lalu merawatnya.
“Yang di Facebook itu adalah foto lama Jumadil - jadi pada awalnya (Sartini) tidak yakin apakah itu benar-benar dia,” kata Susi Rahmatia, ibu Jumadil.
“Tapi ketika mereka membaca perincian di unggahan itu tentang apa yang dia kenakan hari itu - kemeja bergaris merah dan celana yang dikencangkan dengan tali karena terlalu besar, tahulah mereka bahwa itu adalah Jumadil.”
Tanda lahir di leher juga menegaskan bahwa itu memang Jumadil, sehingga pertemuan kembali dengan keluarga pun disiapkan.
“Saya tidak bisa tidur. Saya memikirkannya sepanjang malam, bertanya-tanya siapa yang menyelamatkan bocah kecil saya,” kata Susi.
Perjumpaan Kembali dan Penyelamat Misterius
Begitu muncul, Jumadil langsung melompat dari sepeda motor, menghambur ke pelukan ibunya. Reuni emosional mereka setelah lima hari pencarian itu terekam dalam film.
Dia memeluk ibunya yang terus menghujaninya dengan ciuman. Air mata mengalir membasahi wajah mereka. Jumadil menangis tersedu-sedu, sampai terengah-engah.
“Dia memeluk saya erat seperti tidak mau melepaskan lagi, kakinya melilit saya seperti monyet,” Susi mengenang.
“Kami tidak berbicara apa-apa. Dia sangat ketakutan. Banyak orang berkerumun di sekitar kami. Saya merusaha meyakinkannya bahwa sekarang semuanya baik-baik saja.”
Susi masih menunggu beberapa hari sebelum akhirnya menanyakan apa yang terjadi kepada anaknya.
“Saya bertanya dengan lembut, 'Apa yang terjadi pada hari itu, Madil? Dan dia menjawab, 'Saya bermain di pasir dan tidak mengerti mengapa semuanya goyang-goyang.'
“Lalu saya tanya siapa yang ambil Madil waktu gempa itu. Dia bilang polisi.”
“Tapi polisi yang mana, tidak tahu, sampai sekarang,” kata Susi.
Yang Menunggu Lebih Lama
Lain lagi yang terjadi pada Fikri, bocah tujuh tahun yang hilang setelah neneknya pulang sebentar untuk memadamkan kompor.
Hari terus berlalu dan keluarga Fikri hampir putus asa - sampai akhirnya seorang staf Dinas Sosial tiba di rumah mereka.
“Mereka membawa foto, mungkin baru difoto dengan HP, dan saya ditanya, 'Inikah cucunya?' O iya! Ini! Sudah! Ini sudah!”
Lalu semua keluarga diberi tahu. “Sudah ada Fikri, sudah ada Fikri' jadi kami semua langsung mau pergi ketemu dia. Eh belum, katanya ada di Morowali Utara.”
Morowali Utara berjarak 500 kilometer dari Palu.
Baru setelah Fikri bersama mereka lagi, tiga minggu setelah dia hilang, keluarga itu mengerti bagaimana dia bisa mengembara sejauh itu.
“Kalau saya tak menyelamatkan anak ini, siapa lagi?”
Seorang mahasiswa Kadek Ayu Dwi Mariati, 20, mengatakan ia menemukan Fikri di pinggir jalan.
Kadek Ayu saat itu bersama temannya, Wayan Sukadana, tengah naik motor dan menyelamatkan diri dari tsunami.
Fikri saat itu mengalami luka-luka dan Kadek mengatakan ia menangis mencari bapak dan ibunya. Ia hanya mengenakan kaus.
“Niatnya, memang betul-betul saya menyelamatkan diri dengan teman. Sebenarnya enggak ada niat mau menolong Fikri. Jujur saja,” Kadek mengingat lagi, “Karena saking paniknya, enggak ada mikirin untuk menolong siapa-siapa.”
Tetapi dalam hitungan detik, Kadek mengaku berpikir keras. “Kalau bukan saya yang tolong, apakah ada orang lain yang tolong anak ini.”
Saat itu, Fikri mengaku orang tuanya “sudah tidak ada” karena rumahnya di pinggir pantai “hanyut”.
Ketika Kadek Ayu pulang ke kampungnya di Morowali Utara, dia berencana menitipkan Fikri ke saudara jauhnya di Palu. Namun bocah itu menolak, “Maunya ikut saya dan teman saya. Dia tidak mau tinggal dengan orang lain.”
Namun, sebelumnya dia melapor ke polisi perihal Fikri. Dia menitipkan nomor telepon genggam orang tuanya jika ada keluarga yang mencari Fikri, “Kalau seandainya orang tuanya masih hidup, tolong hubungi orang tua saya.”
Kadek Ayu mengaku senang campur sedih ketika akhirnya orang tua Fikri menghubungi.
“Sedihnya, karena harus pisah dengan dia. Senangnya, bersyukur karena orang tuanya masih ada. Saya rindu dia karena beberapa minggu tinggal bersama.”
Mukjizat
Perjumpaan mereka juga terekam dalam film. Keluarganya diminta oleh para staf Dinas Sosial dan tim UNICEF untuk menunggu di sebuah tenda. Tidak ada yang membuka mulut saat itu. Mereka gelisah dan hanya menatap tangan mereka sendiri dengan gugup.
Kemudian Fikri dibawa masuk. “Alhamdulillah,” teriak mereka dalam tangis sembari memeluk Fikri dan merangkulnya erat-erat.
Fikri berseri-seri, mengenakan kemeja dan jins yang rapi.
“Kami menangis dan memeluknya tanpa henti,” kenang Selfi.
“Kami menangis gembira semua bercampur haru. Kita gembira karena Allah masih memberi kami waktu untuk kami membimbingnya. Terharu karena masih ada orang yang selamatkan dia. Kami hanya bisa menangis dan bersyukur pada Allah.”
Fikri digulung ombak, terempas ke pinggir jalan, ditemukan Kadek Ayu, yang membawanya pergi sejauh 500 km, ke rumah orang tuanya, karena Fikri tak mau pulang ke rumahnya sendiri.
Trauma
Orangtua Fikri telah membawanya kembali untuk tinggal bersama mereka di Gorontalo. Sekolah di Palu belum dibuka lagi secara normal, dan kini mereka ingin selalu berada dekat dengannya.
“Dia tidak ingin dibiarkan sendirian, bahkan sedetik pun. Dia berkata kepada kami 'jika kamu meninggalkan saya dan gempa bumi lagi ke mana saya harus pergi?,” kata Susila, ibu Fikri, melalui sambungan telepon.
“Kami harus menunggunya di luar kelas. Kami tidak membicarakan apa yang terjadi. Dia akan menangis jika hal itu terjadi. Kakaknya tidak pernah kembali.”
Neneknya sering menghubunginya melalui panggilan video. “Mana senyummu,” kata sang nenek di telepon.
“Ah, itu dia! Anak laki-laki paling tampan di Gorontalo,” kata Selfi.
Kembali ke Pantai
Jumadil juga masih trauma, tetapi setiap sore dia harus kembali ke pantai yang sama, untuk membantu ibunya berjualan kacang rebus.
“Dia masih sering teringat kejadian itu. Kalau mati lampu, dia lari langsung memeluk saya. Kalau duduk seperti ini, mati lampu dia langsung loncat. Dia tanya ‘kalau mati lampu, kenapa Ma?’ Waktu gempa itu kan mati lampu, orang-orang lari sewaktu gelap. Sampai sekarang masih trauma kalau mati lampu.”
Sementara kami berbicara di warung mereka, seorang ibu lain datang dan mengatakan putranya juga sempat hilang selama empat hari.
Dia juga dihanyutkan gelombang, katanya. “Sekarang susah sekali untuk memandikannya. Anak itu sekarang jadi takut air,” cerita ibu itu.
Saat ibunya melayani pelanggan, kakek Jumadil, Asmudin, membawanya berjalan-jalan meniti puing-puing.
Dia masih susah percaya bahwa cucunya telah kembali. “Sulit bagi orang seperti saya untuk mencernanya," katanya.
“Ini keajaiban, bahwa dia selamat,” kata kakek Jumadil.
“Jika berpikir tentang hal itu secara logis, sungguh luar biasa bahwa dia selamat, mengingat kekuatan ombak yang menghancurkan apa saja. Bangunan saja hancur lebur, apalagi manusia. Banyak petugas polisi tewas. Saya benar-benar ingin tahu siapa yang menyelamatkan bocah kami,” katanya.
“Itu saya heran sendiri, bagaiamana dia bisa selamat? Manusia biasa seperti kita ini, secara logika mustahil. Karena waktu itu banyak pamong praja dan polisi yang meninggal. Air itu sangat kuat, sekencang apapun kamu lari pasti tergulung. Tembok saja rubuh, apalagi manusia. Itu yang bikin heran siapa yang selamatkan anak ini.”
“Ini keajaiban, bahwa dia selamat.” (bbc.com)
Uskup Suharyo: Semua Agama Ajarkan Kemanusiaan
JAKARTA, SATUHARAPAN.COM - Uskup Agung Jakarta Kardinal Ignatius Suharyo Hardjoatmodjo mengatakan ap...