Kebebasan Beragama di Jatim Kontra dengan Nawa Cita Jokowi
SURABAYA, SATUHARAPAN.COM – Koordinator Koalisi Masyarakat Sipil Jawa Timur, Aan Anshori, mengatakan masalah kebebasan beragama dan berkeyakinan masih menjadi halangan pelaksanaan Nawa Cita Jawa Timur. Terutama, terkait kasus Syiah dan Ahmadiyah tuntas di provinsi yang beribukota di Surabaya itu.
Oleh karena itu Koalisi Masyarakat Sipil Jawa Timur mengeluarkan sejumlah rekomendasi untuk menyamakan arah pembangunan di Provinsi Jawa Timur sesuai prinsip Nawa Cita, atau sembilan program prioritas Pemerintahan Joko Widodo dan Jusuf Kalla.
Sebab, menurut dia, Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD) Provinsi Jawa Timur masih jauh dari cita-cita pembangunan nasional yang tertuang dalam Nawa Cita. “Dalam rekomendasi jelas, cabut Peraturan Gubernur Jawa Timur Nomor 55 Tahun 2012 tentang Pembinaan Kegiatan Keagamaan dan Pengawasan Aliran Sesat, juga merekomendasikan cabut Surat Keputusan Gubernur Jawa Timur Nomor 188/94/KPTS/013/2011 tentang Larangan Aktifitas Jemaat Ahmadiyah Indonesia di Jawa Timur,” ujar Aan seperti dikutip voaindonesia.com, Minggu (5/7).
“Kami melihat, kalau misalkan negara ini secara konstitusi tidak membedakan dan melindungi kelompok-kelompok minoritas, maka peraturan gubernur itu mencurigai dan meyakini bahwa aliran sesat itu menjadi satu hal yang berbahaya, dan negara perlu menertibkan," dia menambahkan.
Menurut Aan, Peraturan Gubernur Jawa Timur Nomor 55 Tahun 2012 dan Surat Keputusan Gubernur Jawa Timur Nomor 188/94/KPTS/013/2011 adalah noktah yang sangat memalukan di Jawa Timur.
Lebih lanjut, dia mengatakan, RPJMD Jawa Timur seharusnya memiliki kesamaan visi dengan pembangunan di tingkat pusat. Pemerintah pusat dapat memberikan sanksi kepada daerah, bila tidak memiliki rencana pembangunan yang mengiduk pada rencana pembangunan nasional.
“RPJMD itu harus sesuai dengan gagasan dan janji-janji Presiden dan itu di RPJM Nasional. Kalau sampai RPJMD ini bertentangan misalkan dalam konteks perlindungan kekebasan beragama dan berkeyakinan, maka ya harus diberikan sanksi dong," ujar AAN.
"Artinya kalau itu tidak termuat di RPJMD, misalkan soal Ahmadiyah, soal Syiah, soal kebebasan yang lain, kalau itu tidak bisa diwijudkan di RPJMD, maka pusat harus memberikan sanksi. Sanksinya bisa macam-macam, sanksi administratif, atau juga bisa di-skors dulu aliran dana dari pusat, sampai kemudian misalkan RPJMD-nya bisa dikoreksi oleh pemerintahan pusat,” dia menjelaskan.
DPRD Ikut Soroti
Persoalan kebebasan beragama dan beribadah di Jawa Timur juga menjadi sorotan Dewan Perwakilan Rakyat (DPRD) Provinsi Jawa Timur. Anggota DPRD Provinsi Jawa Timur, Agatha Retnosari mengatakan, persoalan konflik berlatar belakang agama harus segera diselesaikan oleh pemerintah, agar persoalan ini tidak mengganggu kehidupan masyarakat secara luas.
“Masalah kebebasan beragama untuk Provinsi Jawa Timur menurut saya masih sangat memprihatinkan, misalnya kasus pengungsi Syiah yang sampai saat ini masih belum dipulangkan," ujar anggota DPRD dari faksi Partai Demokrasi Indonesi Perjuangan (PDI-P) itu.
"Apa pun alasannya seharusnya pemerintah hadir, karena para pengungsi ini banyak juga mengalami kekerasan dan tekanan, khususnya anak-anak. Anak-anak ini tidak tahu konflik apa yang terjadi di dunia orang dewasa, tetapi mereka kehilangan haknya untuk mendapatkan pendidikan yang layak dan baik,” dia menambahkan.
Agatha berjanji akan mengawal perubahan RPJMD di Jawa Timur agar sesuai dengan Nawacita, sehingga terjadi seselarasan pembangunan dari tingkat daerah maupun nasional. “Ini kita harus kawal terus, supaya RPJMD ini sesuai dengan Nawacita, dan Nawacita juga seharusnya juga mungkin harus dievaluasi juga di dalam RPJMN kita sendiri, karena saya lihat di dalam RPJMN juga membumikan program-program Nawacita ini juga belum maksimal, belum optimal,” ucap dia.
Editor : Yan Chrisna Dwi Atmaja
Kapal KRI dr. Wahidin Sudirohusodo-991 Berikan Layanan Keseh...
PORT MORESY, SATUHARAPAN.COM-Kapal Rumah Sakit KRI dr. Wahidin Sudirohusodo-991, yang tergabung dala...