Kebijakan Penggunaan Rupiah Bagus, Bagaimana Efektivitasnya?
JAKARTA, SATUHARAPAN.COM – Pengamat ekonomi dari Institue for Development of Economics and Finance (INDEF), Enny Sri Hartati, mengatakan, kebijakan Bank Indonesia (BI) mengenai penggunaan rupiah merupakan peraturan yang sangat baik. Namun, titik krusialnya terletak pada tingkat efektivitas untuk mendorong stabilitas nilai tukar rupiah.
“Kebijakannya sendiri bagus. Nah, sekarang tinggal seberapa efektif. Itu titik krusialnya,” ujar Enny mengingatkan perlunya aturan yang mampu mengikat seluruh elemen yang terlibat.
“Bagaimana BI mempunyai peraturan yang bisa mengikat sehingga tidak sekadar imbauan. Artinya, ada reward dan punishment. Kalau ada orang atau korporasi yang tidak patuh, tidak mematuhi, ya, ada punishment,” lanjut dia, di Jakarta, Senin (15/6).
Baru-baru ini bank sentral mengeluarkan surat edaran terkait penggunaan rupiah di wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) melalui SEBI No. 17/11/DSKP tertanggal 1 Juni 2015.
Kebijakan ini mengatur seluruh transaksi di Tanah Air untuk menggunakan mata uang rupiah, baik pembelian barang/jasa maupun pembayaran upah karyawan asing yang bekerja di Indonesia.
Kepada satuharapan.com Enny mengatakan, kebijakan tersebut membawa keuntungan yang sangat besar bagi negara karena akan mengurangi potensi permintaan dolar Amerika Serikat (AS) di Indonesia yang signifikan.
Meskipun tidak semua perusahaan, lembaga, ataupun perorangan yang menggunakan valas (valuta asing, Red), Enny menilai, permintaan mata uang asing di negeri ini tidak terdeteksi secara full oleh otoritas moniter.
“Nah, kalau misalnya (penggunaan valas) di dalam negeri ini bisa dikurangi, akan lebih bisa dihitung berapa kebutuhan dolar untuk perekonomian Indonesia,” ujar dia. Ia menjelaskan, kebijakan ini akan membuat perhitungan menjadi lebih sederhana. Pasalnya, BI tetap memperhitungan penggunaan dolar AS untuk infrastruktur strategis, seperti perdagangan, hibah, dan pembiayaan internasional, sehingga menurut Enny, akan lebih lebih mudah dikalkulasikan.
Surat edaran BI terkait penggunaan rupiah ini dikeluarkan di tengah-tengah situasi permintaan dolar AS yang masih tinggi sementara negara mengalami kekurangan pasokan karena kerja ekspor yang melambat dan harga komoditas dan daya saing produk-produk industri yang sedang merosot.
Kendati demikian, Enny mempertanyakan mekanisme pemberian punishment bagi pelaku usaha yang tidak mematuhi. Sebab, menurutnya, pemberian sanksi membutuhkan izin yang bukan menjadi kendali BI, sehingga diperlukan kejelasan koordinasi dan teknis demi menegakan peraturan ini
Selain itu, ia mengatakan, pemerintah seharusnya membuat aturan turunan dalam Undang-Undang (UU) Nomor 7 tahun 2011 tentang Mata Uang.
“UU ini kan sudah cukup lama. Sampai hari ini tidak ada instrumen turunannya. Meskipun tidak diamantkan untuk membuat PP (Peraturan Pemerintah, Red), tapi UU saja tidak membuat operasional,” ujar peneliti bergelar doktor dari Institut Pertanian Bogor ini.
Enny kembali menegaskan, jika tidak ada instrumen, yang ada hanya pengumuman, akan sulit berdampak signifikan. “Kuncinya memang bagaimana instrumen,” pungkas Enny.
Editor : Yan Chrisna Dwi Atmaja
Presiden Prabowo dan PM Modi Bahas Kerja Sama Kesehatan hing...
RIO DE JANEIRO, SATUHARAPAN.COM-Presiden Republik Indonesia, Prabowo Subianto, mengadakan pertemuan ...