Kedaulatan Pangan Perlu Politik Yang Berpihak pada Petani
Indonesia konsumsi beras terbanyak kedua di dunia, dan salah satu yang mengkonsumsi gandum terbesar di dunia; Pangan harus dilihat sebagai bagian penting pertahanan.
JAKARTA, SATUHARAPAN.COM – Pemerintah perlu mengembangkan politik pangan yang berpihak pada petani. Sebab, Indonesia banyak mengimpor pangan, bahkan menjadi salah satu yang terbanyak mengkonsumsi gandum, padahal tidak ada produksi gandul di dalam negeri.
Hal itu diungkapkan Prof. Dr. Ir. Posman Sibuea, MS, Direktur Center for National Food Security Research dalam percakapan dengan satuharapan.com, hari Jumat (10/10) di tengah seminar “Kedaulatan Rakyat untuk Kamandirian Bangsa” yang diselenggarakan Persekutuan Inteligensia Sinar Kasih (Piska).
Sibuea mengatakan bahwa konsumsi gandum warga Indonesia sebanyak 20 kilogram per kapita per tahun. Sementara negara produsen gandum justru tingkat konsumsinya menurun. Sedangkan dalam konsumsi beras, penduduk Indonesia termasuk kedua setelah Nigeria, dengan konsumsi 150 kilogram per kapita per tahun.
Konsumsi beras di Indonesia terus meningkat. Pada tahun 1965 konsumsinya baru sampai 65 kilogram per kapita per tahun, dan pada tahun 1982 Indonesia mencapai swasembada beras.
Sibuea mengatakan bahwa masalah pangan menjadi sangat penting, terutama kebutuhan besar pada karbohidrat dan protein. Pangan sendiri harus dilihat sebagai bagian penting pertahanan negara, sehingga harus dicapai kedaulatan pangan.
Oleh karena itu perlu kebijakan politik pangan yang berpihak pada petani, sehingga bisa ditingkatkan produksinya untuk tidak bergantung pada impor.
Menjadi Petani
Sibuea mengatakan bahwa pemerintah perlu mengembangkan program yang membuat generasi muda bergairah untuk menjadi pentani. Sebab, ada kecenderungan petani meninggalkan kegiatan ini dan beralih ke kegiatan lain yang juga mendorong alih fungsi lahan pertanian.
Menurut dia, hasil sensus pertanian 2013 menunjukkan data bahwa lima juta petani hilang dari sektor pertanian, beralih pada kegiatan lain. Mereka menjual tanah pertanian dan kemungkinan besar beralih fungsi.
Untuk itu perlu dikembangkan pertanian industri yang lebih menarik bagi generasi muda. Hal ini bisa dilakukan dengan lahan yang luas, minimum 20 hektare per keluarga. Dengan lahan seperti itu dimungkinkan untuk pertanian yang mandiri, termasuk pengembangan peternakan.
Pertanian industri memungkinkan untuk pengolahan hasil pertanian dengan lebih baik, sehingga hasilnya bisa dijual dengan nilai lebih tinggi.
Dengan lahan pertanian yang tersedia sekitar 7,9 hektare, menurut dia, Indonesia bisa memenuhi kebutuhan beras sekitar 70 juta ton per tahun gabah giling kering.
Diversifikasi Pangan
Selain itu, Sibuea mengatakan bahwa untuk kedaulatan pangan perlu dikembangkan diversifikasi pangan, khususnya sumber karbohidrat. “Dewasa ini kita telah dijajah mulai dari perut kita,” kata dia. Makdusnya adalah kita mulai tergantung pada negara lain dalam memenuhi kebutuhan pangan.
Di Indonesia sebenarnya sumber karbohidrat di luar beras cukup besar. Berbagai biji-bijian seperti cantel, jagung, sorgum, serta umbi-umbian tersedia cukup banyak. Bahkan umbi-umbian di Indonesia mempunyai nilai gizi yang baik, termasuk kandungan antioksidannya.
Terkait dengan kebutuhan protein, Sibuea mengusulkan pengembangan peternakan sapi yang diintegrasikan dengan perkebunan kelapa sawit. Menurut dia, lahan kebun kelapa sawit sangat potensi untuk peternakan, bahkan sepuluh ekor sapi bisa dengan leluasa memanfaatkan satu hektare kebun sawit.
Dalam perhitungan dia, jika setiap hektare kebun sawit untuk sepuluh ekor sapi, maka 9,5 juta hektare kebun sawit yang ada sekarang bisa memenuhi kebutuhan daging dalam negeri. “Dan kita tak perlu impor lagi,” kata dia.
Kamala Harris Akui Kekalahan Dalam Pilpres AS, Tetapi Berjan...
WASHINGTON DC, SATUHARAPAN.COM-Wakil Presiden Amerika Serikat, Kamala Harris, menyampaikan pidato pe...