Kegiatan Demokratis, Sejumlah Dosen Dukung Mahasiswa Demo
JAKARTA, SATUHARAPAN.COM – Selama empat hari terakhir, mahasiswa di berbagai kota Indonesia berunjuk rasa menolak rancangan undang-undang kitab hukum pidana (RKUHP), dan sejumlah aturan kontroversial lainnya.
Di balik kehadiran mereka di jalanan, ada sosok dosen yang mendukung aksi mereka, dan bahkan menganggap demo mahasiswa sebagai praktikum mata kuliah yang diajarkan.
Di Jakarta, ribuan mahasiswa berunjuk rasa di depan Gedung DPR/MPR RI sejak Senin (23/9). Mereka menolak RKUHP, rancangan undang-undang (RUU) Komisi Pemberantasan Korupsi, dan sejumlah RUU yang dinilai melemahkan demokrasi.
Tuntutan yang sama juga disuarakan mahasiswa Yogyakarta lewat aksi #GejayanMemanggil pada hari Senin (23/9). Ribuan mahasiswa dari berbagai universitas berunjuk rasa di pertigaan Jalan Colombo, Gejayan, Sleman, Daerah Istimewa Yogyakarta.
Saking masifnya gerakan ini, Rektor Universitas Gadjah Mada (UGM) dan sejumlah rektor universitas lainnya di Yogyakarta , sampai mengeluarkan pernyataan bahwa kampus mereka tidak terlibat dan tidak mendukung aksi #Gejayanmemanggil.
Namun sikap berbeda justru ditunjukkan seorang dosen asal Universitas Muhammadiyah Yogyakarta (UMY), David Effendi.
David justru mendukung mahasiswa yang diasuhnya untuk turun ke jalan. Ia punya alasan prinsipil di balik sikapnya tersebut.
"Agar mahasiswa tidak terus menerus menjadi atau dianggap sebagai kelompok mengambang atau terapung, dan abai terhadap persoalan ketidakadilan dan buta pada kuasa mafia oligarki,"katanya kepada ABC, Rabu (25/9).
"Itulah salah satu alasan saya mengizinkan mahasiswa agar ikut turun ke jalan, agar terlatih idealis, kritis, dan punya jejaring pengetahuan yang memadai dengan bergabung dengan elemen masyarakat sipil, “ katanya.
Dosen mata kuliah dasar-dasar ilmu politik ini, awalnya hanya mengumumkan dukungannya terhadap aksi mahasiswa lewat grup percakapan kelas.
"Untuk jadwal kuliah semua kelas saya dalam sepekan ini saya majukan besok (23/9), jadwalnya dan dilaksanakan di Gejayan dalam kerumunan aksi solidaritas #GejayanMemanggil," tulis pria yang juga mengajar mata kuliah masyarakat sipil ini dalam grup daring bersama mahasiswanya tersebut.
David mengatakan, mahasiswanya yang meliput aksi Gejayan dan menuliskan gagasan terkait aksi bisa mengkonversi aktivitas tersebut menjadi tugas bernilai tinggi, untuk kelulusan mata kata kuliah yang diasuhnya.
"Izin saya yang diviralkan itu adalah otokritik bagi civitas academia khususnya dosen-dosen hebat ragu, yang rada pesimis, yang berjarak dengan realitas politik dan merasa superior di ruang kelas, hingga mengancam mahasiswa yang belajar di Gejayan dengan nilai E," katanya.
Hari itu, David memang tidak mengabsen siapa saja yang turun ke jalan, namun ia mengaku melihat banyak mahasiswanya di lokasi.
Menurutnya, unjuk rasa bisa menjadi ruang negosiasi pengetahuan dan ruang belajar yang aktual.
"#GejayanMemanggil adalah ruang yang sangat baik untuk memperkuat visi, membangun nalar terliterasi tentang ekonomi politik, yang sudah dikuasai habis oleh gerombolan elit politik," kata dosen UMY ini.
David tak sendiri. Dukungan terhadap aksi mahasiswa juga ditunjukkan oleh dosen Universitas Airlangga Surabaya, Airlangga Pribadi. Angga, panggilan akrab Airlangga, berpendapat aksi yang dilakukan oleh mahasiswa memiliki basis analisis sosial yang tajam dan bisa dipertanggungjawabkan.
Di Surabaya, aksi menolak sejumlah RUU kontroversial dilakukan hari Kamis (26/9) di depan gedung DPRD Jawa Timur lewat gerakan #SurabayaMenggugat.
"Beberapa rancangan regulasi borongan yang akan dipaksakan pada DPR ke Presiden terutama UU KPK, RKUHP dan beberapa pendekatan keamanan pemerintah terkait persoalan Papua bertentangan dengan semangat demokrasi, hak asasi manusia, penguatan hak-hak sipil maupun agenda reformasi," kata pengajar mata kuliah pemikiran politik.
Ia mengatakan, suara mahasiswa dalam aksi itu menggugat langkah pelemahan demokrasi dan agenda pemberantasan korupsi maupun pemerintahan yang bersih yang sedang dilakukan oleh kekuatan oligarki.
Angga bahkan tak khawatir jika demo yang diikuti mahasiswanya nanti ditunggangi oleh kelompok-kelompok tertentu.
"Setiap aksi demonstrasi berskala besar itu ada potensi ditunggangi tapi kalau kita lihat dari isu yang selama ini ditampilkan, mereka tetap konsisten mendorong penguatan demokrasi dan perbaikan regulasi agar tidak bertentangan dengan agenda demokrasi."
"Mereka tidak menuntut penggilingan Presiden atau mengganti Presiden," katanya.
Kalangan mahasiswa di Surabaya, sebutnya, juga sudah menyiapkan strategi agar aksi berjalan tanpa kekerasan.
"Kita fokus pada non-violent social movement (gerakan sosial tanpa kekerasan)," kata Angga.
Rawan Ditunggangi
Tak semua dosen mendukung unjuk rasa mahasiswa. Diana Anggraeni, dosen Universitas Pancasila Jakarta, misalnya.
Dia mengatakan, tak mengizinkan dan tak mendukung mahasiswanya untuk demo lantaran risiko aksi rawan ditunggangi.
"Karena mahasiswa tidak banyak paham materi demo apa. Terus risiko ditunggangi,"kata Diana.
Meski demikian, pada hari puncak demo di Jakarta (24/9), kelas yang diasuhnya kosong melompong.
"Mereka tidak meminta izin, tahu-tahu kelas kosong."
"Dan ini terjadi di semua kelas," kata pengajar mata kuliah komunikasi organisasi ini. (abc.net.au)
Bebras PENABUR Challenge : Asah Kemampuan Computational Thin...
Jakarta, satuharapan.com, Dunia yang berkembang begitu cepat memiliki tantangan baru bagi generasi m...