Kelenturan dan Daya Juang
“Segala hal buruk yang terjadi bukan agar kita dipahitkan dan menyerah, melainkan demi membangun setelah dihancurkan agar bisa menjadi apa yang sesungguhnya dirancang bagi kita” (Charles Jones).
SATUHARAPAN.COM – Tengoklah ke belakang!
Adakah terlihat penggalan kehidupan yang pahit, dan tidak mengandung pelajaran hidup untuk ke depannya? What doesn’t kill you makes you stronger, demikian kata peribahasa. Bahkan sampai diciptakan lagunya. Segala persoalan hidup bisa menghancurkan, jika kita memilih untuk dihancurkan. Namun, jika kita memilih untuk tidak dihancurkan, maka semua persoalan hanya akan menjadikan kita semakin kuat.
Sejak lahir manusia sudah diperhadapkan pada berbagai persoalan: sejak bayi sudah merasakan haus dan lapar, sakit karena terjatuh, semua ketidaknyamanan kecil. Manusia kecil, persoalan kecil. Manusia besar, persoalan juga akan besar. Karena, selama pertumbuhan bukan hanya pertumbuhan fisik yang terjadi, namun juga pertumbuhan jiwa, mental.
Anak akan jatuh, dan ia bangkit lagi. Ia terjatuh lagi dan bangkit lagi. Semakin besar ia, semakin besar dan bervariasi persoalan dan kejadian jatuh bangun yang harus ia lewati, namun ia bisa tangguh. Sebab ia bisa lentur. Ia belajar bahwa untuk bisa bertahan, dibutuhkan kelenturan seperti bola bekel yang jika dijatuhkan ke lantai akan terlompat kembali ke atas. Semakin keras dilemparkan ke bawah, semakin tinggi ia akan melompat ke atas. Mendal, kata orang Jawa. Dan terjadilah pertumbuhan karakter.
Memang tidak selalu ada keberanian untuk dilemparkan keras ke bawah. Kata Bob Kennedy, saudara kandung mantan Presiden AS John Kennedy, ”hanya mereka yang berani untuk mengalami kegagalan besar, suatu hari akan bisa menuai keberhasilan besar”. Orang-orang seperti itu menyadari bahwa mereka bukanlah produk dari apa yang mereka alami, melainkan produk dari apa yang mereka pilih. Mereka tidak pernah bersedia berada pada posisi tidak berdaya selama pilihan masih ada. Dan kekuatan pilihan itulah yang memampukan mereka survive.
Bagi mereka yang bertahan dalam gelombang hidup, itu bukan karena hidup mereka bertambah mudah, namun kekuatan dan kelenturannyalah yang bertambah. Jika rajin mencari kisah mereka yang berhasil membangun hidup yang berkelimpahan sekalipun kejadian yang tak terkirakan beratnya harus mereka lewati, banyak sekali pelajaran dapat dipetik, dan kekuatan yang dapat diperoleh. Berikut ini salah satu contohnya:
”Seseorang pernah disakiti sebelum engkau, dipersalahkan sebelum engkau, kelaparan sebelum engkau, ketakutan sebelum engkau, dipukuli sebelum engkau, dihina sebelum engkau, diperkosa sebelum engkau? Namun, seseorang itu berhasil keluar dari traumanya? Engkaupun dapat melakukan apa pun yang kau pilih.” Itu kata Maya Angelou, seorang penulis yang merasakan sendiri semua penderitaan yang ia tuliskan itu, namun dapat mengatasinya dengan mengagumkan.
Lain lagi kisah Viktor Frankl, keturunan Yahudi, yang berhasil lepas dari kamp tawanan Nazi saat perang dunia ke-2. Ia berkata kepada dirinya sendiri: ”Orang dapat menyakiti tubuhku, mereka dapat menghancurkan fisikku, namun tak ada seorang pun yang dapat menghancurkan isi kepalaku.”
Dan dengan isi kepala itulah ia merancang rencana pembebasan dirinya bersama beberapa rekan sekamp nya. Pembebasan diri yang nyaris mustahil dilakukan orang lain yang merasa tak berdaya di bawah tangan Hitler dengan NAZI-nya. Belakangan Frankl menjadi psikiater terkenal di Amerika Serikat.
Sederet tokoh lain dapat dipetik pengalaman dan sikap lenturnya dalam menghadapi persoalan hidup. Tentu kita pernah mendengar Nelson Mandela, Nicholas James Vujicic, Marthin Luther King Jr, dan banyak lagi.
Kelenturan itu dapat juga dipersamakan dengan pohon kelapa yang dapat menjadi bengkok ketika ditiup angin kencang, namun tetap tidak patah seperti pohon lain. Dalam Bahasa Inggris dikenal dengan istilah resilience dan kadang diterjemahkan sebagai resiliensi. Maknanya: menjadikan manusia kuat menghadapi, mencegah, meminimalkan, dan bahkan bisa menghilangkan dampak dari kondisi yang tidak menyenangkan. Sehingga, alih-alih hancur oleh persoalan, malah menjadi semakin kuat menghadapi badai yang semakin besar.
Setiap orang membutuhkan resiliensi demi menempuh hidup yang bermakna. Dengan resiliensi, persiapan menghadapi tantangan hidup semakin diperkuat. Talenta, keterampilan, dan segenap kemampuan akan berkembang sehingga hidup menjadi penuh arti.
Editor : Yoel M Indrasmoro
Lebanon Usir Pulang 70 Perwira dan Tentara ke Suriah
BEIRUT, SATUHARAPAN.COM-Lebanon mengusir sekitar 70 perwira dan tentara Suriah pada hari Sabtu (27/1...