Kelompok Perempuan Pertanyakan Hilangnya Demokrasi
JAKARTA, SATUHARAPAN.COM - Koordinator Program Solidaritas Perempuan, Puspa Dewi mempertanyakan sikap wakil rakyat di kursi parlemen yang telah menghilangkan hak politik masyarakat untuk berkontribusi dalam proses demokrasi di Indonesia.
"Bagi kita, proses pemilu kemarin, baik legislatif ataupun presiden, merupakan satu tahapan demokrasi. Sekarang, kami mempertanyakan dari wakil rakyat di parlemen mengenai penghilangan aspirasi rakyat yang telah mereka lakukan," kata Dewi ketika ditemui saat menggelar aksi damai di depan Gedung MPR/DPR/DPD, Senayan, Jakarta Pusat, Senin (13/10).
"Kini mereka membatasi ruang rakyat untuk berkontribusi, dengan mengesahkan Undang-Undang Pemilihan Kepala Daerah (UU Pilkada), ini tidak menguatkan tapi justru mendegradasi proses demokrasi di Indonesia," dia menambahkan.
Menurut Dewi, seharusnya persaingan seperti yang terjadi pada Pemilu 2014 lalu telah berakhir dan wakil rakyat terpilih harus mulai memikirkan arah Indonesia lima tahun mendatang."Jangan memikirkan kepentingan kelompok lagi," kata dia.
Jangan Salahkan Perempuan
Sementara itu perwakilan dari Mahardika Perempuan -organisasi perempuan lain yang ikut turun dalam aksi di depan Gedung MPR/DPR/DPD, Senin (13/10)- Mutiara Ika Pratiwi mengharapkan agar pemerintah tidak menyalahkan perempuan yang menjadi korban kekerasan seksual sebagai sumber persoalan.
"Misalnya dengan isu pakaian rok mini di tahun 2011, tanggapan Fauzi Bowo (Gubernur DKI Jakarta saat itu) ketika ada kasus perempuan yang diperkosa di angkot, kemudian tanggapan M. Nuh (Menteri Pendidikan) kala siswa di Depok di perkosa, mereka justru mengatakan itu salah korban atau itu suka sama suka," kata dia.
Berangkat dari hal tersebut, menurut Mutiara anggota parlemen atau pemerintah lebih banyak membuat kebijakan yang diskriminatif dan meletakkan sumber masalah pada perempuan. "Bukan berpikir bagaimana merubah pemikiran yang menganggap perempuan sebagai objek seksual," ujar dia.
Dia pun memaparkan alasan organisasinya bergabung dengan solidaritas perempuan. Menurut Mutiara langkah tersebut diambil karena ingin mendesak pembebasan perempuan.
"Misalnya, bagaimana kebijakan yang dihasilkan tidak menyalahkan korban, itu butuh kekuatan," kata dia.
"Kita menganggap solidaritas perempuan adalah organisasi yang masif berbicara isi dan hak perempuan. Kedua, kita punya kepentingan membangun kekuatan bersama, karena ini yang dihadapi satu kekuatan konservatif yang besar dan anti demokrasi," Mutiara menambahkan.
Pernyataan Sikap
Dalam aksi damai yang digelar di depan Gedung MPR/DPR/DPD, Senin (13/10), Solidiritas Perempuan turun bersama dua organisasi perempuan lainnya, yakni Mahardika Perempuan dan Kapal Perempuan. Puluhan perempuan yang terdiri dari berbagai usia dan profesi ini menyampaikan aspirasi mereka dan meneriakan tolak UU Pilkada yang telah disahkan Jumat (26/9) lalu.
Dalam pernyataan sikapnya, mereka secara serentak menyuarakan:
1. Menolak Pilkada tidak langsung yang telah menghilangkan hak politik perempuan.
2. Mendesak Mahkamah Konstitusi untuk mengabulkan permohonan pembatalan UU Pilkada yang telah merebut hak konstitusional perempuan.
3. Menyerukan kepada DPR agar berhenti melakukan praktik-praktik politik transaksional dan mulai memikirkan kepentingan rakyat.
4. Mengajak seluruh elemen rakyat, khususnya perempuan, untuk bersatu dan menyuarakan perlawanan atas penghilangan hak politik rakyat.
Editor : Yan Chrisna Dwi Atmaja
Bebras PENABUR Challenge : Asah Kemampuan Computational Thin...
Jakarta, satuharapan.com, Dunia yang berkembang begitu cepat memiliki tantangan baru bagi generasi m...