Kembalikan Hak Anak Eks Gafatar
JAKARTA, SATUHARAPAN.COM – Mabes Polri melalui Kombes Pol. Masudi (Direktur Tipidum Bareskrim) telah memberikan stigma anak-anak eks Gafatar tidak masuk sekolah negeri dan memilih homeschooling adalah karena keyakinan orang tuanya.
Kenyataan di lapangan menyebutkan karena kasus adminduk warga eks Gafatar tidak ditangani negara dengan baik menyebabkan anak-anak tidak memiliki identitas dan tidak mendapat pelayanan negara mau pun program sosial pemerintah.
Berkaitan dengan hal itu, Eksekutif Koordinator Satgas Perlindungan Anak (PA), Ilma Sovriyanti mengatakan, ketiadaan pelayanan itu membuat anak-anak eks Gafatar mendapat perlakuan berbeda dengan anak-anak lain dalam memperoleh hak mendapatkan pendidikan, layanan kesehatan dan lain-lainnya, yang berakibat fatal pada tumbuh kembang anak dan kehidupan sosial jangka panjang.
Ilma menegaskan posisi anak dalam Undang-Undang Dasar 1945, terdapat dalam Pasal 28 B ayat (2), yaitu setiap anak berhak atas kelangsungan hidup, tumbuh dan berkembang, serta berhak atas perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi. Sebagai negara yang meratifikasi Konvensi Hak Anak, Indonesia menurut Ilma memilki kewajiban menerapkan empat prinsip umum yang menjadi dasar dan acuan negara saat melakukan kewajibannya memenuhi, menghormati, dan melindungi hak-hak anak.
“Prinsip-prinsip umum itu meliputi prinsip nondiskriminasi, prinsip kepentingan terbaik bagi anak, prinsip keberlangsungan hidup dan perkembangan, dan prinsip penghargaan terhadap pendapat anak,” kata Ilma Sovriyanti di Kantor Komnas Perempuan Jakarta Pusat, hari Jumat (16/9) sore.
Keberadaan anak-anak merupakan mayoritas di negeri ini. Sekitar 30 persen (83 juta) dari 255 juta penduduk Indonesia adalah anak-anak, namun sebenarnya mereka adalah 100 persen dari masa depan bangsa (Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas). Karenanya diperlukan tindakan aktif untuk melindungi hak-hak dan kepentingan mereka melalui penegakan hukum dan tindakan legislasi lainnya.
Ilma mengatakan, Hak asasi anak belum sepenuhnya terpenuhi secara maksimal, sehingga membawa konsekuensi bagi kehidupan diri dan keluarganya. Berbagai bukti empiris menunjukkan masih dijumpai anak-anak yang mendapat perlakuan yang belum sesuai dengan harapan.
Kendalanya antara lain, kurangnya koordinasi antar instansi pemerintah, belum terlaksananya sosialisasi dengan baik, dan kemiskinan yang masih dialami masyarakat nasib anak-anak dalam putaran konflik sosial hingga saat ini belum dapat diselesaikan dengan maksimal.
“Banyak peristiwa yang mengarah kepada tragedi kemanusiaan dimana hak untuk hidup layak sudah memudar dalam bantaran kisah sebagaian warga negara yang aktif membayar pajak di negeri ini,”katanya.
Komunitas dari gerakan sosial yang bernama Gafatar misalnya, menjadi sepenggal kisah runtuhnya nilai-nilai kemanusiaan, dimana warga yang terlabel, terstigma sebagai anggota dari komunitas ini tidak lagi menjadi manusia bebas di negeri sendiri. Banyak perlakuan diskriminasi yang dialami termasuk kepada anak-anak sebagai generasi penerus keluarga yang juga menjadi harapan bangsa.
Padahal, kata Ilma, Akibat dari perlakuan pemberian label dan stigma membuat anak-anak jauh dari fasilitas yang seharusnya negara tidak boleh membedakan (diskriminasi) sesuai dengan konstitusi sebagai landasan hukum tertinggi. Sebagai manusia, anak-anak juga mempunyai hak asasi yang harus dihormati oleh orang dewasa.
Untuk itu Koalisi Advokasi Hak Anak Indonesia (KAHAI) menyatakan sikapnya: “Mengembalikan fungsi dalam pemenuhan hak anak dan hak-hak yang dimiliki anak,” kata dia.
Pertama, kata Ilma hak untuk beribadah menurut agamanya, berpikir dan berekspresi sesuai dengan tingkat kecerdasan dan usianya, dalam bimbingan orang tua.
Kedua,hak memperoleh pendidikan dan pengajaran dalam rangka pengembangan kepribadian dan bakat. Secara khusus pengembangan kepribadian terkait dengan pendidikan agama, pendidikan moral atau pendidikan kewarganegaraan. pendidikan disadari sangat dibutuhkan oleh setiap anak sebagai bekal kehidupannya.
“Ketiga, kewajiban orang tua untuk mendidik dan memberikan perlindungan dengan menyiapkan nutrisi yang cukup untuk pertumbuhan anak. memberikan pendidikan yang layak menjadi suatu kewajiban baik itu terhadap anak-anaknya maupun terhadap masyarakat secara keseluruhan,” kata dia.
Keempat, tidak ada stigma pada anak. Hal yang dialami oleh kondisi anak-anak yang memiliki orang tua terstigma, mendapat tantangan berat dalam hubungan sosial kemasyarakatan salah satu yang dihadapi adalah fasilitas pendidikan. Karena orang tua terstigma maka anak pun menanggung berat beban sosial sehingga banyak penolakan dari program-program sosial pemerintah juga sekaligus mencabut hak dalam pemenuhan hak-hak dasarnya.
Selain itu KAHAI mendesak negara dalam hal ini pemerintah dan masyarakat untuk menghormati hak anak, memulihkan hak anak dari terstigma akibat orang tua yang terlabel, memenuhi hak dasar anak, mengembalikan hak anak sesuai penegakan konstitusi yang berlaku sesuai dengan mandat konvensi hak anak, memberikan akses untuk anak mendapatkan hak-nya, dan menggunakan perspektif anak dalam penanganan masalah anak.
“Dengan demikian tidak ada alasan negara, pemerintah dan masyarakat menyatakan pendapat dan mengingkari regulasi yang telah ditetapkan, bahwa anak masih menjadi tanggung jawab kedua orang tuanya dalam segala kondisi termasuk memberikan perlindungan, pendidikan dan mengajarkan keyakinan sesuai dengan keyakinan yang dianut oleh orang tuanya. Tidak ada alasan yang membenarkan perlindungan anak namun untuk memisahkan anak dengan kondisi orang tua nya,” kata dia.
“Memisahkan anak dari ajaran dan pendidikan orang tuanya sama dengan meniadakan hak anak itu sendiri. Secara tidak langsung anak-anak telah terdampak stikmaisasi yang merugikan. Karena itu kembalikan hak anak, karena anak berhak untuk hidup dan dicintai.”
KAHAI adalah koalisi yang terdiri atas LBH Jakarta, LBH KBR, YLBHI, Satgas Perlindungan Anak untuk Anak Minoritas, Forum Dialog Antar-Agama untuk Kesejahteraan Holistik Anak (FORDAKHA), Serikat Jurnalis untuk Keragaman (SeJuk), JKLPK Indonesia, Aliansi Nasional Bhinneka Tunggal Ika (ANBTI) dan HRWG.
Editor : Sotyati
Ajax Akan Gunakan Lagi Logo Tahun 1928
JAKARTA, SATUHARAPAN.COM - Klub sepak bola Liga Belanda, Ajax Amsterdam, kembali menggunakan logo la...