Kemenag Gelar Dialog Agama Bahas Kehidupan Beragama di Indonesia
JAKARTA, SATUHARAPAN.COM – Kementerian Agama menggelar dialog agama di Jakarta. Kegiatan yang diikuti oleh tokoh agama, budayawan, akademisi, praktisi media, dan kaum muda milenial ini membahas tentang dinamika kehidupan beragama di Indonesia.
“Dialog agama dan budaya lintas iman ini dalam rangka melakukan refleksi sekaligus proyeksi dalam merespons dinamika kehidupan beragama masa kini, utamanya di era disrupi dan revolusi industri 4.0,” kata Kepala Biro Humas, Data, dan Informasi Mastuki, di Jakarta, Jumat (28/12), seperti dilansir situs resmi kemenag.go.id.
Dialog agama berlangsung dua hari, 28 – 29 Desember 2018 di Discover Hotel, Ancol, Jakarta. Kegiatan itu dibuka dan sekaligus diikuti Menag Lukman Hakim Saifuddin pada pukul 14.00 WIB.
Menurut Mastuki, sepanjang 2014 hingga 2018, kehidupan keagamaan di Indonesia sangat dinamis. Gesekan antarumat, kontroversi isu keagamaan, hingga perilaku intoleransi, ekstremisme, konservatisme agama, dan terorisme masih terjadi, meski secara umum Indonesia tetap damai dan terkendali.
Terkait itu, menjelang tahun politik di 2019, perlu ada proyeksi antisipasi terhadap isu-isu keagamaan yang mungkin muncul di masyarakat. “Kemenag perlu memfasilitasi terciptanya komunikasi yang baik antartokoh agama dan berbagai komponen masyarakat, agar tercipta saling kesepahaman dalam menghadapi dan mengelola isu-isu keagamaan,” ujar Mastuki.
Mengangkat tema besar “Kehidupan Beragama di Indonesia: Refleksi dan Proyeksi”, sejumlah tema dibahas. Pertama, “Kecenderungan Konservatisme Beragama di Tahun Politik” yang dibahas Jumat (28/12), dengan fokus pada kecenderungan meningkatnya konservatisme beragama di Indonesia. Guru besar UIN Syarif Hidayatullah Jakarta Komaruddin Hidayat menjadi pemantik diskusi.
Diskusi berfokus mencari jawaban atas beberapa pertanyaan, seperti: apa indikasi konservatisme? Mengapa konservatisme menguat? Apakah konservatisme adalah bagian dari meningkatnya gairah beragama? Apa implikasinya terhadap kualitas keberagamaan? Serta sejauh mana program dan visi moderasi beragama/wasathiyah berhasil menetralisir kecenderungan konservatisme?
Di dalam sesi itu juga dibahas proyeksi tentang upaya menyikapi kecenderungan konservatisme beragama ini, terutama menjelang pemilu eksekutif dan legislatif dan bagaimana strategi pengarusutamaan moderasi beragama.
Kedua, “Relasi Agama dan Negara di Zaman Milenial”, dengan Haidar Baqir sebagai pemantik diskusi. Sesi ini berlangsung Jumat malam ini, dari pukul 19.00 – 21.30 WIB, membahas fenomena beragama di era digital dan memasuki revolusi industri 4.0.
Pertanyaan yang bisa diajukan, antara lain: mengapa otoritas keagamaan seakan berpindah dari tokoh agama ke dunia digital (tokoh agama populis)? Mengapa content keagamaan di dunia digital dan media sosial lebih banyak diisi oleh materi keagamaan yang konservatif dan sering hitam putih dalam menafsirkan agama? Ke mana dan di mana khazanah keagamaan klasik yang kaya dan menggambarkan keragaman penafsiran? Mengapa tokoh agama dan akademisi khususnya seolah absen dan gagap dalam menghadapi perubahan pola keberagamaan masyarakat milenial?
“Bagaimana strategi agar di tahun 2019 para tokoh agama, budayawan, dan akademisi yang memiliki otoritas kagamaan dan keilmuan dapat lebih lantang (speak up) merespons isu-isu keagamaan, serta apa yang sebaiknya dilakukan oleh Kementerian Agama melalui satker-satkernya di daerah, termasuk perguruan tinggi, dibahas bersama dalam sessi ini,” Mastuki menjelaskan.
Ketiga, “Beragama di Era Disrupsi”. Sesi Sabtu (29/12) pagi (pukul 08.00 – 10.00 WIB) akan diawali oleh paparan mantan Ketua MK Mahfud MD. Sesi ini mendiskusikan dinamika hubungan agama dan negara di Indonesia.
Sejumlah pertanyaan akan dibahas, antara lain bagaimana sesungguhnya konsep ideal merealisasikan negara kebangsaan yang berketuhanan? Apakah selama ini pemerintah sudah tepat menempatkan agama dalam tata kelola negara? Sudah adilkah sikap pemerintah, khususnya Kemenag, terhadap pemeluk agama minoritas dan aliran kepercayaan di Indonesia? Mengapa masih ada kelompok agama (seperti HTI) yang menganggap bahwa negara tidak mengakomodasi kepentingan dan aspirasinya?
“Bagian akhir diskusi ini akan memproyeksikan tentang strategi terbaik untuk menarasikan bahwa Indonesia bukan negara agama, tapi juga bukan negara sekuler,” tutur Mastuki.
“Juga tentang apa yang sebaiknya dilakukan oleh pemerintah (Kemenag) dalam rangka penguatan relasi agama dan negara? Serta bagaimana sebaiknya menindaklanjuti RUU Perlindungan Umat Beragama (PUB); apakah mendesak dikeluarkan?” ia menambahkan.
Sejumlah tokoh agama dan budayawan terkonfirmasi hadir dalam kegiatan ini, antara lain: Mahfud MD, Abdul Muthi, Asep Zamzam Noor, Fatin Hamama, Garin Nugroho, Haidar Baqir, Hartati Murdaya, Henriette G Lebang, Jadul Maula, Komaruddin Hidayat, Seno Gumira, Suhadi Sanjaya, Sujiwo Tedjo, Ulil Abshar Abdalla, Usman Hamid, Uung Sendana, Wahyu Muryadi, Yudi Latif, Bhikku Jayamedo, Inayah Wahid, Coki Pardede, Zaztrow, dan D Zawawi Imron. (kemenag.go.id)
Pemberontak Suriah: Kami Tak Mencari Konflik, Israel Tak Pun...
DAMASKUS, SATUHARAPAN.COM-Pemimpin kelompok pemberontak Islamis Suriah, Hayat Tahrir al-Sham (HTS), ...