Kemenangan Trump Tamparan Keras bagi Kaum Mapan AS
NEW YORK, SATUHARAPAN.COM - Donald John Trump terpilih sebagai presiden ke-45 Amerika Serikat pada hari Selasa (8/11) sebagai puncak dari kampanye tiada lelah yang meledak-ledak, populis dan terpolarisasi di negara yang menjadi ideal demokrasi di dunia.
Menurut data Google, dari 94 persen suara yang sudah masuk, Trump memenangi kursi kepresidenan dengan mengantongi suara 58.216.990 atau 48 persen, sedangkan Clinton hanya 57.759.286 suara atau 47 persen. Selebihnya suara masuk kepada calon Partai Libertarian sebesar 3 persen, Jill Stein 1 persen dan kandidat lainnya 0,7 persen.
Hasil ini mengejutkan dan berlawanan dengan jajak pendapat yang selama ini menunjukkan keunggulan tipis tetapi konsisten bagi Hillary Clinton.
New York Times (NYT) mengatakan kemenangan Trump, 70 tahun, (pengusaha real estate yang menjadi bintang acara televisi yang tidak memiliki pengalaman di lembaga pemerintahan), adalah simbol penolakan kuat rakyat AS terhadap kekuatan kalangan mapan yang selama ini telah bersatu melawan Trump, apakah itu kaum mapan di dunia bisnis maupun pemerintahan. Kemenangan Trump juga dianggap sebagai perlawanan terhadap konsensus yang selama ini telah mengatur segala sesuatu dari mulai perdagangan hingga imigrasi.
Kemenangan Trump juga dinilai bukan penolakan terhadap Clinton belaka, tetapi juga kepada Presiden Barack Obama, yang warisan pemerintahannya tiba-tiba terancam. Dan hasil ini adalah pertunjukan yang jelas dari kekuasaan koalisi besar yang selama ini diabaikan, yaitu mereka yang datang dari pekerja kerah biru-kulit putih dan kelas pekerja, yang merasa bahwa janji Amerika Serikat telah lepas dari genggaman mereka di tengah dekade globalisasi dan multikulturalisme.
Menurut New York Times, dalam diri Trump, mereka menemukan seorang juara yang tak terbandingkan.
"Laki-laki dan perempuan dari negara kita yang terlupakan tidak akan dilupakan lagi," kata Trump kepada pendukungnya sekitar pukul 3:00 di sebuah acara yang dihadiri pendukungnya di New York City, setelah Clinton mengakui kekalahan.
Dalam upaya beranjak dari kampanye panas di mana ia berulang kali memicu perpecahan, Trump berusaha untuk melakukan sesuatu yang telah dengan jelas ia hindari sebelum ini: menyerukan persatuan.
"Sekarang saatnya bagi Amerika untuk mengikat luka akibat perpecahan," kata dia.
"Sudah saatnya bagi kita untuk datang bersama sebagai satu bangsa yang bersatu. Sudah waktunya. "
Itu, ia menambahkan, "sangat penting bagi saya."
Dia juga menyampaikan kata-kata hangat kepada Hillary Clinton, yang sebelumnya pernah ia katakan akan dia penjarakan apabila ia menjabat presiden.
Trump mengatakan dia berutang besar kepada Clinton atas pekerjaan dan jasanya kepada negara.
Awalnya Dianggap Remeh
Didukung oleh penampilan kuat Trump, Partai Republik juga berhasil mempertahankan kontrol atas Senat. Hanya satu kursi yang sebelumnya dikuasai Partai Republik, di Illinois, jatuh ke tangan Demokrat. Sementara Senator Richard Burr dari North Carolina, seorang Republikan, dengan mudah memenangkan pemilihan ulang di negara yang selama ini dianggap yang paling kompetitif. Sejumlah pemain lama Republik lainnya yang sebelumnya menghadapi kompetisi sulit, ternyata berjalan lebih baik dari yang diharapkan.
Kemenangan Trump - membentang di negara-negara yang mengalami pertempuran suara yang sengit, seperti Florida, North Carolina, Ohio dan Pennsylvania - tampaknya akan membawa kegelisahan di dunia keuangan dan memicu kecemasan pada mitra internasional AS. Banyak yang terkejut ketika Trump dalam kampanyenya meragukan perlunya komitmen militer AS di luar negeri dan kesetiaan kepada perjanjian perdagangan internasional.
Sejak ia memasuki kampanye, ia sudah membuat kontroversi dengan klaim bahwa imigran Meksiko adalah pemerkosa dan penjahat. Pada saat yang sama, secara luas ia diremehkan sebagai kandidat, pertama oleh lawan-lawannya ketika memperebutkan nominasi Partai Republik dan kemudian oleh Clinton, saingannya dari Partai Demokrat.
Kontroversi demi kontroversi ia munculkan, termasuk ketika ia mengusulkan larangan terhadap Muslim memasuki AS. Dia mengancam lawan politiknya dan menjanjikan tuntutan terhadap organisasi berita yang meliput kegiatannya secara kritis. Para perempuan juga menuduhnya melakukan kekerasan seksual.
Tetapi justru kampanye yang diisi oleh pidato-pidato tanpa 'sensor'nya tampaknya justru menjadi daya tarik. Kampanye-kampanyenya digambarkan penuh amarah tetapi menghibur, penuh janji optimisme.
Diirinya membawa kesan akan mewujudkan keberhasilan dan keagungan yang oleh kebanyakan pengikutnya dirasakan hilang dari kehidupan mereka sendiri - dan dari negara mereka juga.
Dan pertanda akan hal itu tampak pada pesta kemenangan Trump di New York Hilton Midtown, di mana pengikutnya berkerumun di sebuah bar, dengan mengenakan topi yang bertuliskan "Make America Great Again." Mereka mengucap syukur karena suara mereka, pada akhirnya, telah didengar kembali.
Editor : Eben E. Siadari
Mencegah Kebotakan di Usia 30an
JAKARTA, SATUHARAPAN.COM - Rambut rontok, terutama di usia muda, bisa menjadi hal yang membuat frust...