Kemendikbudristek Berupaya Hapus Tiga dosa Besar Pendidikan
Mendibudristek, Nadiem Anwar Makarim, menyebutkan tiga dosa itu adalah intoleransi, perundungan, dan kekerasan seksual.
JAKARTA, SATUHARAPAN.COM-Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbudristek) berupaya menghapus “tiga dosa besar” di dunia pendidikan, yaitu intoleransi, perundungan, dan kekerasan seksual.
Mendikbudristek, Nadiem Anwar Makarim menyampaikan, komitmennya bahwa segala bentuk intoleransi tidak akan dibiarkan terjadi dalam sistem pendidikan di Indonesia.
"Prakondisi dari pembelajaran adalah perasaan aman psikologis bagi para murid dan guru-gurunya," tegas Mendikbudristek dalam acara Indonesia Town Hall yang bertema "Tak Kenal Maka Tak Sayang" pada peringatan Hari Toleransi Internasional, pada Selasa (16/11) lalu.
Lebih lanjut Nadiem mengatakan, hubungan psikologis antara guru, orang tua, dan teman di sekitar kampus, memegang peranan penting dalam keberlangsungan ekosistem pembelajaran yang kondusif. Oleh karena itu, ekosistem yang tidak kondusif seperti hal-hal intoleran yang terjadi di dalamnya, tidak boleh dibiarkan ada di lingkungan pendidikan.
"Masa depan dia (korban) terancam, dengan adanya trauma yang diakibatkan dosa besar tersebut," katanya dalam dialog dengan sejumlah tokoh dalam pemperingati Hari Toleransi Internasional.
Empat Rumah Ibadah
Sekretaris Umum (Katib Aam) PBNU, Yahya Cholil Staquf, mengatakan bahwa keberagaman merupakan hal yang wajar terjadi dalam kehidupan sehari-hari, siapapun berhak memiliki cara pandang yang berbeda tentang suatu kebajikan. Satu sama lain tidak boleh memaksakan kehendak atas kepercayaan yang dianut, dan setiap orang harus diperlakukan secara adil dan setara.
“Peniadaan prasangka, tidak boleh ada paksaan. Kita harus berbuat adil kepada sesama, ini merupakan basis ajaran fundamental dalam Islam,” katanya.
Sebagai bentuk penerapan toleransi antar umat beragama yang baik, Mendikbudristek bercerita tentang pengalamannya mengunjungi salah satu sekolah di Medan. Sekolah tersebut kata dia, memiliki empat fasilitas ibadah, yaitu: masjid, gereja, wihara, dan pura. “Pada saat menerima saya, dilafalkan empat doa berbeda pada waktu yang bersamaan, sangat menginspirasi saya,” tuturnya.
Menjadi Pancasilais
Rohaniwan Katolik, Franz Magnis Suseno, menambahkan bahwa pengenalan terhadap latar belakang orang lain diperlukan supaya masing-masing individu dapat saling menghormati keyakinan satu sama lain.
Franz mengingatkan, agar seluruh lapisan masyarakat mawas diri dengan keragaman yang terjadi di sekitarnya. Ia menekankan bahwa tidak selalu yang berbeda itu mengancam, mencurigakan, atau membahayakan. Meskipun tingkat kewaspadaan juga harus senantiasa kita utamakan.
Sementara, Sekretaris Jenderal Majelis Luhur Kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa, Endang Retno Lastani, menyampaikan bahwa dengan menjadi pancasilais berarti itu adalah wujud toleransi. Oleh karena itu, sebagai bagian dari masyarakat, keluarga harus mengajarkan dan menghargai perbedaan, melakukan interaksi dan berkenalan dengan orang yang berbeda-beda.
Guru Besar Universitas Hindu Negeri I Gusti Bagus Sugriwa Denpasar, I Nengah Duija, menyebutkan seluruh yang hadir di alam semesta adalah satu jiwa. Maka, toleransi sebenarnya membicarakan tentang diri sendiri. “Jika diri sendiri baik, maka kita harus baik dengan orang lain,” katanya.
Tokoh agama Budha, Bhikhuni Santini Maha Theri, menyampaikan harapannya agar semua agama dapat berpikir terbuka dan mampu menumbuhkan kayakinan dalam mencapai kesempurnaan di dalam samudera kehidupan masing-masing.
Sedangkan Ketua Umum Majelis Tinggi Agama Konghucu Indoneia, Budi Santoso Tanuwibowo, mengatakan, “Di empat pejuru lautan semua manusia bersaudara, jika kita beragama maka kita harus dekat dengan kemanusiaan, dan menjalin hubungan harmonis dengan Tuhan, maupun sesama, beserta alam,” katanya.
Kemerdekaan Beragama
Nadiem menyatakan bahwa kementerian selalu memperjuangkan hak-hak kemerdekaan beragama, baik itu bagi peserta didik dan tenaga pendidik. Salah satu tujuan transformasi Merdeka Belajar adalah Profil Pelajar Pancasila. “Dualisme nilai Profil Pelajar Pancasila, keimanan Ketuhanan Yang Maha Esa dan berakhlak mulia, serta berkebinekaan global, menjadi esensi kemanusiaan untuk dapat berkompetisi dan berinteraksi dalam dunia global,” katanya.
Cendekiawan Yudi Latif mengemukakan bahwa pendiri bangsa yang berada di pusat-pusat pendidikan merupakan mereka yang berbeda, mereka yang bertemu, mempertautkan agenda, menyimpulkan nilai-nilai bersama, dan atas kebersamaan itulah tonggak-tonggak sejarah muncul dan menjadi badan (corpus) kemerdekaan.
Ahmad Najib Burhani, peneliti di Badan Riset dan Inovasi Nasional menambahkan, “Kita semua memiliki tanggung jawab untuk membangun sikap hidup yang toleran. Bukan saja hidup yang tersegmentasi (segmented) dalam perbedaan (diversity), tapi keberagaman, kebhinekaan yang betul-betul terwujud bersama kita semua.”
Sedangkan Sekretaris Umum Persekutuan Gereja-gereja di Indonesia (PGI), Jacky Manuputty, menyampaikan apresiasi kepada para masyarakat yang telah bergotong royong dengan kapasitas yang mereka miliki di masa pandemi ini. Menurut dia, pandemi tidak selamanya menyisakan duka melainkan menjadi momentum pembelajaran bagi semua orang untuk lebih peduli terhadap sesama. “Intitusi, ulama, dan umat harus saling bersinergi untuk saling mengenal antar agama,” katanya.
Editor : Sabar Subekti
AS Laporkan Kasus Flu Burung Parah Pertama pada Manusia
NEW YORK, SATUHARAPAN.COM-Seorang pria di Louisiana, Amerika Serikat, menderita penyakit parah perta...