Kemenlu Perlu Serukan Negara Bersengketa Hormati Arbitrase
JAKARTA, SATUHARAPAN.COM - Kementerian Luar Negeri (Kemenlu) RI dinilai perlu menyerukan kepada negara-negara yang bersengketa untuk menghormati putusan Pengadilan Tetap Arbitrase PBB (Permanent Court of Arbitration/PCA) di Den Haag, terkait sengketa Laut China Selatan.
Pengadilan tribunal pada hari Selasa (12/7) memutuskan menentang Tiongkok dalam perselisihan sengit atas klaim teritorial di Laut China Selatan yang kemungkinan akan meningkatkan ketegangan regional.
“Pengadilan menyimpulkan bahwa Tiongkok tidak memiliki dasar hukum untuk mengklaim hak historis dari wilayah laut yang termasuk dalam sembilan garis putus-putus (nine-dash line),” kata Pengadilan Tetap Arbitrase dalam sebuah pernyataan.
Tiongkok menegaskan kedaulatan atas hampir seluruh wilayah perairan strategis penting itu menyusul klaim saingan dari negara tetangganya di Asia Tenggara. Filipina melayangkan gugatan terhadap Beijing pada 2013, mengatakan bahwa setelah berunding selama 17 tahun pihaknya kehabisan cara politik dan diplomatik.
Menanggapi keputusan PCA ini pengamat militer dan intelijen, Susaningtyas Kertopati menilai bahwa menjaga situasi tetap kondusif adalah suatu keniscayaan, oleh karena itu pemerintah Indonesia perlu mendorong agar negara-negara di kawasan untuk menjaga situasi kondusif, sehingga tidak terjadi ketegangan di Laut China Selatan.
Nuning sapaan Susaningtyas Kertopati berpendapat situasi saat ini memperlihatkan bahwa pemerintah Tiongkok begitu ambisius menguasai Laut China Selatan atau "unnegociated condition".
"Segala bentuk diplomasi selama ini hanya sebagai `bargaining time` untuk siapkan penguatan militer dan ekonominya. Indonesia jangan masuk dalam jeratnya, tetapi harus berani kritis dan tegas terhadap China (Tiongkok)," tegas Nuning ketika dikonfirmasi di Jakarta, hari Rabu (13/7) dinihari.
Mantan anggota Komisi I DPR ini mengimbau agar seluruh negara ASEAN yang sengketa wilayah dengan Tiongkok bersatu melalui `defense agreement`, sementara di bidang ekonomi jangan mempermudah ekspansi ekonomi Tiongkok di Indonesia.
"Karena saya melihat implikasi dari persoalan kemenangan Filipina itu dan sikap China akan seperti itu. Ini dilakukan agar China berdamai dan mengakui kedaulatan negara lain," ucapnya.
Pemerintah Indonesia, tambah Nuning, harus berhati-hati karena selama ini yang dikenal hanya patroli terkoordinasi atau `Coordinated Patrol`. Terminologi "joint patrol" di laut berarti salah satu angkatan laut akan berada di bawah komando angkatan laut negara lain.
"Apakah TNI AL siap dibawah komando Tentara AL Tiongkok (PLA-Navy)? Kalau iya, dimana letak kedaulatan dan harga diri bangsa," kata Nuning.
Ia menambahkan, penolakan Tiongkok terhadap keputusan mahkamah Arbitrase itu akan berimplikasi luas, oleh karena itu jangan sampai jerat ekonomi Tiongkok menjadikan kedaulatan negara tergadaikan.
Pemerintah Indonesia melalui Kemenlu RI mendorong semua pihak tetap berupaya memelihara suasana kondusif di kawasan Asia Tenggara, khususnya dengan menghindari aktivitas militer yang dapat mengancam stabilitas dan perdamaian.
Selain itu, Indonesia juga meminta semua pihak, khususnya yang terlibat dalam sengketa Laut China Selatan, yaitu Tiongkok, Filipina, Vietnam, Brunei Darussalam, menghormati hukum internasional, termasuk UNCLOS 1982.
Selanjutnya, Indonesia juga menyerukan semua pihak terus melanjutkan komitmen bersama menegakkan perdamaian, serta menunjukkan persahabatan dan kerja sama, sebagaimana telah diupayakan dan dibina dengan baik selama ini.
"Untuk itu semua pihak di Laut China Selatan diminta agar tetap berperilaku sesuai dengan prinsip yang telah disepakati bersama," kata pernyataan Kementerian Luar Negeri.
Indonesia akan terus mendorong terciptanya zona damai, bebas dan netral di kawasan Asia Tenggara dalam rangka memperkokoh komunitas politik dan keamanan ASEAN.
Selain itu, Indonesia mendorong semua negara pengklaim untuk melanjutkan perundingan secara damai atas sengketa tumpang tindih klaim kedaulatan di Laut Tiongkok Selatan sesuai dengan hukum internasional.
Pengadilan arbitrase juga menyatakan Tiongkok telah melanggar hak-hak kedaulatan Filipina. Disebutkan pula bahwa Tiongkok telah menyebabkan `kerusakan parah pada lingkungan terumbu karang` dengan membangun pulau-pulau buatan. Tiongkok mengklaim nyaris seluruh wilayah Laut China Selatan, termasuk karang dan pulau yang juga diklaim negara lain.
Pada 2013, Filipina mengajukan keberatan atas klaim dan aktivitas Tiongkok di Laut China Selatan kepada Mahkamah Arbitrase UNCLOS di Den Haag, Belanda. Filipina menuding Tiongkok mencampuri wilayahnya dengan menangkap ikan dan mereklamasi demi membangun pulau buatan.
Filipina berargumen bahwa klaim Tiongkok di wilayah perairan Laut Tiongkok Selatan yang ditandai dengan sembilan garis putus-putus atau nine-dash-line bertentangan dengan kedaulatan wilayah Filipina dan hukum laut internasional. (Ant)
â
Jerman Berduka, Lima Tewas dan 200 Terluka dalam Serangan di...
MAGDEBURG-JERMAN, SATUHARAPAN.COM-Warga Jerman pada hari Sabtu (21/12) berduka atas para korban sera...