Kementerian Agama Upayakan Pendekatan ke Pesantren yang Ajarkan Radikalisme
JAKARTA, SATUHARAPAN.COM - Sekretaris Jenderal Kementerian Agama Nur Syam kepada VOA, Jumat (12/9) mengatakan lembaganya akan melakukan kerjasama dengan kementerian lainnya dan juga ulama, masyarakat, untuk melakukan pendekatan kultural terhadap sekitar 20-an pesantren yang diindikasikan mengajarkan radikalisme.
Pesantren tersebut, tidak memiliki izin dari Kementerian Agama.
Menurutnya, dua puluhan pesantren tersebut tersebar di sejumlah daerah seperti Nusa Tenggara Barat, Jawa Tengah dan Jawa Timur. Mereka, lanjutnya, mengajarkan Islam yang fundamental atau radikal yang berbasis pada pengertian jihad yang berbeda dari yang sebenarnya.
Ia juga mengatakan, selain mengajarkan paham radikal, pesantren seperti ini juga memiliki ciri khusus diantaranya pemakaian cadar bagi santri wanita.
Nur Syam mengaku, tidak mudah untuk mengubah pesantren yang mengajarkan radikalisme karena mereka tak hanya menjadikan pesantren sebagai tempat pendidikan spiritual tetapi pengembangan ideologi yang mereka pahami.
“Pendekatan secara kultural supaya mereka memahami bahwa kita hidup di Indonesia memiliki ideologi berbeda dengan negara-negara Timur Tengah dan sebagainya. Memberikan penyadaran kepada mereka,” kata Nur Syam.
Meski telah mengetahui adanya 20-an pesantren yang terindikasi mengajarkan paham radikal tetapi Kementerian Agama, menurut Nur Syam, tidak bisa memberikan sanksi terhadap pesantren tersebut.
Hal ini lanjutnya, dikarenakan tidak adanya aturan hukum terkait hal ini. “ Saat ini Kementerian Agama juga terus melakukan upaya dialog dengan 70 ribu pesantren yang berada di bawah Kementerian Agama, yang mengajarkan Islam secara benar dan baik,” kata Nur Syam
Nur Syam mengatakan walaupun jumlah santri di pesantren-pesantren radikal itu tidak banyak tetapi mereka kuat.
“Mereka memang kuat, punya ideologi yang sangat kuat tentang gerakan transnasionalisme dan seterusnya. Jadi mereka memang kuat secara ideologi,” kata Nur Syam.
Direktur Deradikalisasi Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT), Irfan Idris mendesak presiden dan anggota parlemen baru setelah dilantik harus segera melakukan revisi terhadap undang-undang Terorisme.
Revisi ini penting untuk mencegah dan membendung faham radikal di Indonesia seperti yang dibawa oleh kelompok Negara Islam Irak dan Syiria (NIIS). Saat ini lanjutnya Undang-undang Terorisme belum mencakup menyeluruh mengenai aktivitas teroris dan juga belum mampu menjerat perbuatan-perbuatan awal yang mengarah pada perbuatan terorisme.
Dia mencontohkan, menyebarkan kebencian (hate speech) maupun mengikuti pelatihan militer seperti yang dilakukan kelompok teroris di Aceh, maupun mereka yang mengikuti latihan militer di luar negeri, serta berjanji atau bersumpah (bai’at) mendukung organisasi terorisme internasional, belum diatur secara maksimal di undang-undang terorisme ini.
“Penindakan dunia mengakui, banyak negara-negara yang belajar di Indonesia tentang penindakan itu karena tidak ada teroris yang tidak ditindak, semua dibawa ke meja hijau. Tetapi pencegahan secara menyeluruh kita belum bisa karena lemahnya undang-undang kita. Undang-undang teroris No.15 Tahun 2003 belum tegas menyatakan bahwa menanamkan kebencian, menyebarkan permusuhan itu adalah kriminal sementara negara-negara lain menganggap itu kriminal,” kata Irfan Idris. (VOA Indonesia.com)
Editor : Bayu Probo
Bebras PENABUR Challenge : Asah Kemampuan Computational Thin...
Jakarta, satuharapan.com, Dunia yang berkembang begitu cepat memiliki tantangan baru bagi generasi m...