Kemerdekaan Indonesia Versus Kemerdekaan Agama
SATUHARAPAN.COM – Indonesia memang sudah merdeka, sudah mandiri dan maju dalam banyak hal tetapi agama belum merdeka. Sebab itu, perlu rekonstruksi paradigma beragama dari formalisme, legalisme dan seremonialisme ke esensialisme, pada pemahaman dan penerapan nilai-nilai agama yang hakiki.
Pada 17 Agustus 2014 negara Indonesia memasuki usia kemerdekaan ke-69. Untuk ukuran negara, usia 69 tahun sudah dapat disebut dewasa. Negara Indonesia memang sudah dewasa, ditunjukkan oleh kedaulatan dan kemampuan untuk mengurus pemerintahan sendiri atau self-governance. Pembangunan fisik dan ekonomi dari waktu ke waktu mengalami kemajuan. Demikian juga pendidikan sangat meningkat dalam penyediaan fasilitasnya.
Demokrasi mengalami perubahan, dari liberal di tahun 1945 sampai 1955, ke Demokrasi Terpimpin di zaman Sukarno sampai 1966, lalu demokrasi “otoritarianis” di zaman Orde Baru di bawah Presiden Suharto, sampai demokrasi reformasi sejak 1998 sampai saat ini. Demokrasi reformasi memperlihatkan pengutamaan pada prosedur formal dan berorientasi pada kekuasaan atau perolehan kursi walau mutu banyak calon diragukan. Ini khususnya diperlihatkan oleh Pemilu Legislatif pada April 2014. Dalam Pemilu Presiden Juli 2014 lalu kemandirian rakyat dalam mengungkapkan aspirasinya makin tampak. Rakyat kebanyakan mulai menentukan pemimpin yang dikehendakinya, walau memang ada kekurangannya. Demokrasi Indonesia memang belum sampai pada demokrasi substansial dan dewasa.
Di sisi lain, kalangan menengah secara ekonomi dan sosial-politik juga makin memperlihatkan peranannya dalam menentukan kehidupan bangsa. Kalangan ini mulai memasuki posisi-posisi menentukan bagi kehidupan bangsa. Para pemimpin tidak lagi hanya berasal dari kalangan elite sosial-politik-ekonomi dan pendidikan. Fenomena ini tampak pada keberhasilan Jokowi, seorang yang berasal dari kalangan rakyat kebanyakan. Di samping gejala ini, mentalitas tradisional masih menjadi warna kehidupan, yang masih terkungkung oleh paradigma kultural-tradisional yaitu feodalisme-paternalistik, serta eksklusivisme dan ortodoksi agama. Orang lebih mengutamakan formalitas prosedural protokoler dan sopan santun yang dijadikan ukuran kebenaran, kesalehan sosial, politik dan agama. Akibatnya, misalnya, mental bully (suka merendahkan dan menganiaya yang lemah karena berada pada posisi kuat) dan diskriminatif masih mendominasi pola pikir masyarakat, dan ini berhubungan erat dengan dikotomi yang kuat-yang lemah, penguasa-rakyat, kaya-miskin dan mayoritas-minoritas.
Soal Kemerdekaan Agama
Di awal pembentukan negara Indonesia, para pendiri bangsa merumuskan ideologi atau dasar negara dan konstitusi yang menunjukkan penghargaan yang sangat utama pada agama. Mereka menyadari bahwa negara perlu menjamin kemajemukkan agama yang ada. Karena itu, mereka memasukkan sila pertama Pancasila (Ketuhanan) dan pasal 29 UUD ’45 (jaminan terhadap setiap warga untuk beragama dan melaksanakan ajaran agamanya). Selama kemerdekaan, agama-agama mengalami kemajuan dalam hal penampilan formal-seremonial, partisipasi umat dan kuantitas umat. Sejalan dengan itu, peran dan pengaruh agama di dalam masyarakat sudah sangat kuat. Setiap sudut daerah dan aspek hidup telah dimasuki dan dipengaruhi agama, seperti budaya, ekonomi, politik, pendidikan serta konstitusi atau undang-undang negara dan peraturan daerah.
Namun, apakah dengan begitu dapat dikatakan bahwa agama itu sendiri telah merdeka? Atau, agama malah masih dijajah oleh mentalitas kultural-tradisional umatnya? Atau, agama masih terjajah oleh kepentingan politik, ekonomi dan budaya yang mengutamakan segi formal-legal, simbolis dan seremonial?
Semua orang Indonesia beragama atau diharuskan beragama. Tetapi keberagamaan itu tidak serta-merta diikuti oleh penerapan nilai-nilai etik-moral agama. Kualitas keberagamaan masyarakat umumnya masih pada soal warna atau corak, bukan isi atau nilainya. Hal ini dibuktikan oleh banyaknya keburukan dalam kehidupan masyarakat Indonesia, seperti tingginya tingkat kriminalitas dan korupsi, banyaknya kerusuhan sosial dan agama, diskriminasi, intimidasi dan kekerasan yang berlatar belakang agama, serta pelanggaran HAM karena agama, baik yang dilakukan oleh masyarakat maupun pemerintah.
Keburukan-keburukan ini menunjukkan bahwa sesungguhnya agama masih belum merdeka pada dan untuk dirinya sendiri. Ia masih terjajah oleh pola pikir atau paradigma formalisme-ritual atau ritualisme-formal, pada identitas dan simbol-simbol, pada seremonialitas prosedural, pada legalisme, sah-tidak sah, benar-salah, halal-haram dan mayoritas-minoritas. Orang mengungkapkan keberagamaannya bukan demi kepentingan agama tetapi kepentingan diri sendiri yang terkontaminasi oleh berbagai kepentingan “duniawi” seperti egoisme, keserakahan, kesombongan dan kekuasaan.
Banyak orang sudah merasa puas dan bangga jika berhasil membangun gedung ibadah yang besar, megah dan mewah dan jika jemaah yang hadir dalam ibadah ribuan atau puluhan ribu. Orang sudah bangga jika sudah dapat berpenampilan menggunakan pernak-pernik simbol agama, pakaian agama serta tutur kata yang lembut dan sopan dan dengan menggunakan banyak kata dan ungkapan agama. Hal-hal itu dinilai sebagai tanda perbuatan baik atau kesalehan. Penekanan pada identitas, simbolisme, formalisme dan legalisme beragama adalah potensi bahaya, yaitu adanya eksklusivisme, diskriminasi dan kekerasan. Bahaya agama ini dapat terjadi di banyak tempat dengan kondisi sosial-politik dan ekonomi yang belum mapan dan ketidakdewasaan umat dalam pemahaman agama.
Indonesia di usia kemerdekaan ke-69 masih memiliki ketidakstabilan sehingga bahaya agama itu sering terwujud. Kekerasan dan pelanggaran HAM dalam kasus-kasus seperti Ahmadiyah, Syiah dan kelompok Kristen sebagai kelompok “minoritas” atau lemah secara sosial-politik adalah buktinya. Ini yang membuat banyak kalangan baik dalam dan luar negeri memberi penilaian negatif terhadap masyarakat dan terutama pemerintah Indonesia; bahwa dalam hal kebebasan beragama, Indonesia terutama di masa pemerintahan presiden SBY masih buruk.
Indonesia memang sudah merdeka, sudah mandiri dan maju dalam banyak hal tetapi agama belum merdeka. Agama dan umatnya masih terjajah oleh pola pikir dan kultur jahiliah dan peradaban yang belum beradab atau belum menuruti akal sehat. Bukan saja kebebasan beragama masih terjajah tetapi agama sendiri masih terbelenggu oleh ketidakmampuan umat dalam memahami dan mewujudkan makna dan nilai-nilai agama yang asasi, yaitu cinta kasih, kejujuran, keadilan, perdamaian, penghargaan pada hak-hak asasi manusia dan kemanusiaan.
Perlulah di sini sebuah rekonstruksi paradigma beragama dari formalisme, legalisme dan seremonialisme ke esensialisme, pada pemahaman dan penerapan nilai-nilai agama yang hakiki. Sejalan dengan ini, istilah Jokowi “revolusi mental” perlu diterapkan dalam kehidupan beragama agar merdeka Indonesia sekaligus memerdekakan agama.
Stanley R. Rambitan/Teolog-Pemerhati Agama dan Masyarakat
Jerman Berduka, Lima Tewas dan 200 Terluka dalam Serangan di...
MAGDEBURG-JERMAN, SATUHARAPAN.COM-Warga Jerman pada hari Sabtu (21/12) berduka atas para korban sera...