Kemiskinan Ekstrim dan Aksi Iman Nyata
JAKARTA, SATUHARAPAN.COM- Wahana Visi Indonesia (19/6) menyelenggarakan zoominar bertemakan Extreme Poverty: Faith in Action. Kemiskinan ekstrim terjadi diberbagai belahan dunia dan menjadi keprihatinan semua kalangan.
Tak terkecuali kelompok anak muda usia 13-17 Tahun menurut hasil survei Barna tentang “Open Generation” menyebutkan bahwa usia ini sangat peduli terhadap isu ini dan ingin supaya para pemimpin termasuk pemerintah, gereja dan sekolah serta keluarga terlibat mengatasinya.
Acara yang melibatkan para pemimpin gereja dan pemerhati generasi ini dimoderatori oleh Dr. Anil Dawan M.Th selaku Faith and Development Manager dan dibuka dengan doa dan sambutan oleh Bapak Ebenhaezer Sembiring selaku Interim Operation Director Wahana Visi Indonesia.
Dalam sambutannya, dikatakan bahwa “Kemiskinan ekstrim adalah kondisi dimana manusia dalam ketidakberdayaan memenuhi kebutuhan sandang, pangan, papan, akses mendapatkan layanan kesehatan, kesempatan meraih pendidikan. Rusaknya relasi menambah parah sikap apatis terhadap sesama untuk peduli kepada kaum miskin dan tertindas”.
Dalam kondisi tersebut seharusnya iman dan praktek menyatu menjadi praksis aksi nyata untuk bertindak menolong orang miskin dan tertindas. Tiga narasumber yang dihadirkan merupakan expert yang memiliki pengalaman dan kompetensi dalam penanganan kemiskinan ekstrim dari dorongan iman melalui aksi yang nyata.
Pembicara pertama yang menyampaikan materinya yaitu Sabtarina Febriyanti yang akrab dipanggil Mbak Rina memaparkan realitas kemiskinan ekstrim yang terjadi di Papua.
Sesuai dengan penugasanya sebagai General Manager Zonal WVI Papua, dalam mengawali pemaparanya dengan mengutip dari pandangan Bryan Myers yang menyatakan bahwa kemiskinan adalah kerusakan relasi antara manusia dengan Allah, dengan dirinya sendiri, dengan sesama dan alam semesta.
Dalam mengatasi kemiskinan, WVI Papua berfokus pada anak, keluarga yang paling rentan. Melalui penjangkauan dan kerjasama dengan GKI Tanah Papua dalam project model Pengasuhan dengan Cinta, dan Literasi untuk anak, keluarga dan pengembangan kapasitas guru-guru.
Kisah-kisah keberhasilan di rumah baca, yang berjalan rutin di Biak yang sudah berdiri 16 rumah baca yang direplikasi oleh gereja dan disupport oleh klasis. Sedangkan kerjasama WVI dengan Keuskupan Agats bekerjasama dalam bidang advokasi, pembangunan rumah baca.
Sementara itu Romo Eka yang mewakili KWI mengulas peran keuskupan yang berkarya di Papua, terutama di daerah kemiskinan ekstrim di Papua, misalnya di Agats dan Asmat dengan program-program pemberdayaan masyarakat.
Romo Eka menututurkan bahwa KWI bukan superbody, namun lebih berperan memimpin dan menjadi fasilitator 37 keuskupan di seluruh Indonesia. Dalam penanganan kemiskinan ekstrim, KWI menggunakan prinsip yang dipakai adalah ajaran sosial gereja yaitu solidaritas kehidupan, Gereja harus peduli dan tidak cuci tangan, pilihan gereja untuk berpihak kepada korban, orang kecil, orang lemah, orang miskin.
Gereja juga melakukan misi yang sejalan dengan misi Yesus yaitu “Memberi makan kepada orang dan hanya sekedar makan adalah mudah, namun bagaiamana membuat orang menjadi berdaya sampai bisa makan, minum dan menjadi manusia berdaya. Pemberdayaan orang miskin membutuhkan kesabaran dan kesadaran. Pendekatan yang dilakukan harus terus diperbaharui” tutur Romo Eka.
Pembicara berikutnya adalah Pdt. Paulus Ajong sebagai Ketua Sekolah Tinggi Agama Kristen Abdi Wacana Pontianak dan juga Ketua PGIW Kalimantan Barat. Dalam pemaparannya, Pdt Paulus Ajong menyampaikan bahwa tidak ada seorangpun yang berharap hidup miskin, apalagi kemiskinan ekstrim. Kemiskinan ekstrim: ketidak-berdayaan dalam (sandang, pangan,papan; akses pendidikan, kesehatan dll). Bahkan kemiskinan selalu ada; dulu, kini, mendatang.
Menurutnya, kemiskinan selalu ada di sekitar kita, diantara kita. Bisa jadi “kita” adalah bagian dari yang pernah, sedang, dan akan “miskin” itu. Namun Injil harus didialogkan dengan kemiskinan dalam upaya untuk Berangkat dari konteks Kalimantan Barat yang seperti itu, maka dalam program yang dilakukan oleh Pdt Paulus Ajong adalah Program beasiswa kepada mahasiswa/i kurang mampu yang dari pedalaman supaya dapat mengenyam Pendidikan di Perguruan tinggi jurusan agama Kristen dan Theologia Abdi Wacana.
Selanjutnya mereka diutus kembali ketempat asal di pedalaman untuk berkarya dan memberdayakan masyarakat dimana mereka berasal.
“Diharapkan melalui proses ini rantai kemiskinan dapat diputuskan dan terjadi proses memberdayakan” tegas Pdt Paulus Ajong mengakhiri pemaparannya.
Korban Pelecehan Desak Vatikan Globalkan Kebijakan Tanpa Tol...
ROMA, SATUHARAPAN.COM-Korban pelecehan seksual oleh pastor Katolik mendesak Vatikan pada hari Senin ...