Kemiskinan Parah di Balik Dahsyatnya Promosi Raja Ampat
BIRMINGHAM, SATUHARAPAN.COM - Di balik promosi dahsyat tujuan wisata Raja Ampat di Papua, terdapat kemiskinan parah dan rakyat yang merasa ditinggalkan. Ini dikatakan oleh Asmiati Malik, kandidat doktor di University of Birmingham, Inggris, berdasarkan kunjungan untuk penelitiannya ke Raja Ampat belum lama ini.
Menulis di The Conversation, sebuah media online yang mengkombinasikan laporan akademis dengan gaya jurnalistik, Asmiati membandingkan demikian gegap gempitanya promosi pariwisata tentang Raja Ampat secara global dengan tak banyaknya yang mengetahui bahwa rakyat di sana hidup dalam tingkat kemiskinan yang parah, terasing dan merasa ditinggalkan.
Dahsyatnya pariwisata Raja Ampat dapat terlihat sampai ke Time Square di New York. Sepanjang Oktober, sebuah billboard besar dengan gambar pemandangan di Raja Ampat digelar, dengan tagline, "escape to a magical place." Daya tarik gambar itu, menurut Asmiati, menyembunyikan kemiskinan masyarakat yang tinggal di pulau-pulau di Raja Ampat.
Billboard besar di Time Square yang menggambarkan keindahan Raja Ampat, akan ditampilkan sepanjang bulan Oktober (Foto: Kompas)
Bagi yang belum akrab dengan destinasi wisata ini, Raja Ampat adalah sebuah gugusan pulau-pulau di semenanjung Kepala Burung Papua Barat. Ia merupakan salah satu tempat menyelam terbaik di dunia. Ikan tropis warna-warni dapat terlihat dengan mata telanjang di lingkungan lautnya yang masih murni dengan keanekaragaman hayati yang masih alami.
Namun, bila bagi para wisatawan ia merupakan surga dunia, bagi 20 persen dari 45.000 penduduknya, kemiskinan dan ketertinggalan adalah kehidupan sehari-hari. Menurut Asmiati, akses mereka sangat terbatas terhadap kesehatan, pendidikan, dan pasar.
Asmiati mengutip data tahun 2015, yang mengatakan empat dari tiap lima rumah tangga di Raja Ampat menghabiskan rata-rata US $ 65 per bulan hanya untuk makanan dan barang konsumsi lainnya. Itu 10 persen lebih tinggi dibanding rata-rata nasional. Penyebabnya, biaya hidup di pulau-pulau itu begitu tinggi.
Jauh Dari Mana-mana
Dibutuhkan sekitar delapan jam untuk mencapai Raja Ampat dari Jakarta. Dari Sorong, sebuah perjalanan dengan feri diperlukan untuk sampai ke pulau Waigeo, salah satu dari empat pulau utama dari 1.800 pulau di Raja Ampat.
Waisai, ibukota Raja Ampat, terletak di Waigeo, pulau terbesar dalam gugusan pulau-pulau itu Di sana ada beberapa cottage, sebagian besar dimiliki oleh elit lokal. Sebagian besar kegiatan pemerintahan dan administrasi Raja Ampat juga berpusat di Waisai. Namun populasinya tersebar di banyak pulau-pulau.
Seorang pekerja kesehatan berusaha untuk mendapatkan sinyal bagi ponselnya (Foto: Asmiati Malik)
Pada bulan April 2016, Asmiati tinggal di pulau Mainyafun, empat jam dengan perahu dari Waisai untuk penelitian doktoralnya. Mainyafun dihuni 55 rumah tangga, dengan masing-masing keluarga memiliki antara sembilan dan 12 anggota keluarga.
Asmiati menulis, bahwa seperti di banyak kota di Raja Ampat, Mainyafun tidak memiliki fasilitas pengolahan air. Air bersih untuk minum diangkut dari Waisai, dua kali sebulan atau dua bulan sekali tergantung pada musim. Penduduk desa juga mengumpulkan air hujan untuk minum. Air dari gunung disalurkan ke pusat desa, tetapi memiliki kandungan mineral yang sangat tinggi.
Lebih jauh, menurut laporan Asmiati, tidak ada listrik dan tidak ada sinyal telepon. Kebanyakan orang menyebut pendidikan sebagai "barang bergengsi", dan hanya belajar untuk sampai tamat sekolah dasar. Itu lah sekolah tertinggi yang tersedia di desa itu.
Untuk melanjutkan sekolah di luar tingkat SD, siswa di Manyaifun harus pergi ke Waisai. Perjalanan memakan biaya US $ 100 atau Rp 1,3 juta dengan perahu fiberglass yang sering tanpa peralatan keselamatan.
Hidup Tekor
Berada di daerah yang melimpah dengan ikan, kebanyakan penduduk di pulau ini mencari nafkah sebagai nelayan. Tapi banyak dari mereka masih hidup dalam kemiskinan ekstrem. Sebagian besar keluarga memiliki utang kepada pemilik toko kecil penjual barang kebutuhan pokok di sana.
Harga ikan yang mereka jual sangat rendah sehingga bahkan jika mereka menangkap sepuluh kilogram setiap hari, mereka masih kehilangan uang. Nelayan membutuhkan lima liter bahan bakar per hari untuk mengoperasikan perahu kecil mereka. Tapi bahan bakar langka dan sangat mahal, dan lima liter biaya Rp 162 ribu.
Nelayan menjual ke pengepul di Mainyafun yang memprosesnya menjadi ikan asin. Harga jual maksimal di Mainyafun adalah Rp 2.600 per kg, jadi sepuluh kg ikan mendapat sekitar Rp 26 ribu. Setelah biaya bahan bakar, mereka akan merugi Rp 136 ribu
Harga ikan di Waisai sepuluh kali lebih tinggi, dan 20 kali lebih tinggi di Sorong. Tapi nelayan di Mainyafun harus menjual ikan mereka langsung karena tidak ada listrik untuk cold storage.
Orang perlu kapal yang lebih besar, bahan bakar yang lebih murah dan akses ke pasar Waisai atau Sorong untuk mendapatkan harga yang lebih baik bagi ikan mereka. Tapi perahu yang layak dengan mesin yang dapat membawa volume yang lebih besar ikan perlu biaya Rp 130 juta yang tidak mungkin bagi mereka untuk membelinya.
Tak Ada Pemerintah
Ada sebuah puskesmas kecil di Manyaifun. Satu dokter dan empat perawat yang bekerja di sana melayani tujuh kecamatan yang tersebar di pulau-pulau tetangga.
Banyak pasien mereka adalah nelayan yang meninggalkan rumah mereka pukul lima pagi dan kembali pada pukul lima sore. Petugas kesehatan harus siaga sepanjang waktu.
Masalah yang paling umum adalah malaria, infeksi kulit dan penyakit pernapasan. Kematian saat melahirkan adalah umum bagi wanita. Hanya obat-obatan dasar dan generik yang tersedia di klinik, dan kadang-kadang persediaan langka.
Hidup di sebuah pulau terpencil tanpa sinyal telepon membahayakan baik petugas kesehatan dan orang-orang yang mereka layani. Pasien yang memerlukan perawatan darurat, seperti malaria kronis, sering akhirnya meninggal. Satu-satunya rumah sakit dengan peralatan yang layak berada di daratan Kota Sorong, 135 kilometer jauhnya.
Para pekerja kesehatan kadang-kadang harus pergi ke pulau-pulau untuk keadaan darurat kesehatan dengan memakai kapal kecil tetangga. Mereka harus mengabaikan fakta bahwa kadang-kadang ombak mencapai hingga tiga meter. Ini lebih buruk jika mereka harus pergi di malam hari karena tidak ada alat navigasi modern atau informasi tentang cuaca yang dapat diharapkan.
Petugas kesehatan hanya mampu menemui keluarga mereka sekali atau dua kali setahun. Sebagian besar mereka berasal dari Sorong dan Sulawesi Selatan, yang 1.532 kilometer jauhnya. Menurut Asmiati, gaji pokok pekerja kesehatan atau pegawai kontrak di sana lebih kurang Rp 2 juta sebulan, gaji yang hampir sama di seluruh Indonesia. Namun, jumlah itu sangat kecil bila dibandingkan dengan tuntutan tugas pekerja kesehatan di Manyaifun, yang acap kali pula terlambat dibayar.
Sementara itu, Indonesia mempromosikan Raja Ampat ke dunia dengan dahsyatnya. Pada saat yang sama masyarakat setempat dan petugas kesehatan merasa ditinggalkan. Mereka jarang melihat para pejabat pemerintah di daerah mereka. Menurut wawancara Asmiati dengan dokter setempat dan perawat, birokrat di Waisai, terutama dari badan kesehatan, tidak peduli tentang kehidupan, keselamatan atau kebutuhan emosional mereka.
Para pejabat pemerintah daerah, menurut Asmiati dalam wawancara, mengatakan bahwa mereka mencoba untuk meningkatkan kesejahteraan dengan mengajar orang bagaimana membangun homestay bagi wisatawan dan bagaimana untuk mempromosikan secara online. Tapi penduduk setempat dan petugas kesehatan mengatakan mereka belum pernah bertemu pejabat yang telah mengunjungi daerah mereka.
Menurut Asmiati, kemiskinan di Raja Ampat adalah refleksi dari peran penting negara dalam proses pembangunan. Hanya melalui perhatian yang layak dari elit di Raja Ampat, dan pengawasan dari pemerintah pusat, perubahan dapat tiba kepada orang-orang miskin di daerah. Sebelum itu terjadi, Indonesia mungkin perlu berpikir dua kali tentang iklan Raja Ampat sebagai surga di Bumi.
Editor : Eben E. Siadari
Risiko 4F dan Gejala Batu Kantung Empedu
JAKARTA, SATUHARAPAN.COM - Dokter spesialis bedah subspesialis bedah digestif konsultan RSCM dr. Arn...