Kemitraan: Moratorium Hutan Harus Terukur
JAKARTA, SATUHARAPAN.COM – Organisasi Kemitraan, menilai moratorium pemberian izin baru dan penyempurnaan tata kelola hutan alam primer dan lahan gambut, yang akan diperpanjang pemerintahan Joko Widodo-Jusuf Kalla harus berbasis capaian dengan indikator perbaikan tata kelola hutan yang lebih terukur.
"Kebijakan moratorium ini perlu waktu yang lebih panjang dengan capaian yang terukur," kata Direktur Program Sustainable Development Governance Kemitraan Sita Supomo, dalam acara peluncuran hasil kajian dan analisa moratorium di hutan primer dan lahan gambut di Jakarta, Rabu (29/4).
Ia memberi contoh, indikator perbaikan tata kelola hutan yang lebih terukur bisa dengan penyelesaian tata batas kawasan hutan, sinkronisasi peraturan, review perizinan, penyelesaian konflik tenurial (lahan), penurunan kebakaran hutan dan lahan serta penegakan hukum.
Selain itu, ia mengusulkan kebijakan moratorium diperluas, dengan memasukkan hutan alam primer dan lahan gambut yang tersisa dan kawasan yang terancam seperti "karts", mangrove dan dan pulau-pulau kecil.
Menurut dia, selama ini hutan alam primer dan lahan gambut yang masuk dalam area moratorium sangat kecil, sebagian besar area moratorium justru berada pada pada kawasan yang sudah dilindungi.
Ia mencontohkan di Kalimantan Tengah, dari sekitar 3,7 juta hektare luas areal yang dimoratorium, sekitar 2,9 juta hektare atau 79 persennya merupakan hutan lindung dan kawasan konservasi.
Dalam kesempatan yang sama, Program Manager Sustainable Environmental Governance Kemitraan Hasbi Berliani menuturkan, dibutuhkan kerja sama seluruh pemangku kebijakan untuk menerapkan moratorium yang baru.
"Stakeholder penting untuk kebijakan moratorium, pemerintah pusat, daerah dan masyarakat sipil harus mendukung," kata dia.
Untuk moratorium yang baru, Kemitraan mengharapkan perbaikan indikator yang terukur, dan perluasan lahan yang dimoratorium dapat diaplikasikan serta didukung basis hukum yang lebih kuat.
Dari kajian yang diluncurkan Kemitraan yang bekerja sama dengan Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) itu, diketahui hutan gambut di Sumatera sebagian besar dipergunakan untuk perkebunan, yakni seluas 1,3 juta hektare dan tersisa 1,7 hektare sebagai hutan sekunder. Sedangkan lahan gambut dengan vegetasi semak belukar dan lahan kosong di Sumatera mencapai 1,3 juta hektare.
Berdasarkan hasil kajian itu, Kemitraan dan Walhi merekomendasikan agar kebijakan moratorium dilanjutkan dengan perbaikan yang telah disebutkan. (Ant)
Editor : Bayu Probo
Korban Pelecehan Desak Vatikan Globalkan Kebijakan Tanpa Tol...
ROMA, SATUHARAPAN.COM-Korban pelecehan seksual oleh pastor Katolik mendesak Vatikan pada hari Senin ...