Kenaikan Harga BBM: Gunakan Kalkulasi Kepentingan Negara
SATUHARAPAN.COM - Rencana kenaikan harga bahan bakar minyak (BBM) bersubsidi telah lama dilontarkan pemerintah. Harga premium dan solar yang sekarang masing-masing sebesar Rp 4.500 per liter dinilai telah memberatkan anggaran pendapatan dan belanja negara (APBN), karena besarnya subsidi dan terus meningkat. Di sisi lain, penikmat subsidi bukanlah kelompok masyarakat paling bawah, justru sebaliknya mereka yang berada di kelompok menengah dan atas yang bukan sasaran subsidi.
Pembahasan dan kalkulasi tentang subsidi dan harga baru telah dilakukan. Berbagai pembahasan mengarah harga tunggal, yang untuk premium diperkirakan pada tingkat Rp 6.500 per liter. Hal yang agak berbeda dengan umumnya rencana menaikkan harga BBM ini, justru suara di kalangan masyarakat yang mendorong pemerintah untuk secepatnya mengambil keputusan. Pemerintah dinilai lamban dalam hal ini.
Dalam kalkulasi ekonomi, di mana Indonesia sudah masuk negara pegimpor minyak, pemberian subsidi melalui minyak merupakan keputusan yang pasti akan memberatkan APBN. Apalagi ada dua harga di mana kasus penyelundupan dan penjualan BBM bersubsidi ke industri atau ke luar negeri terus terjadi. Kriminal ini ditopang oleh penegakan hukum yang lemah.
Namun kalkulasi ekonomi ini pun hanya menjadi kepongahan para pakar saja. Faktanya, pengembangan energi terbarukan, terbasuk biofluel, di mana Indonesia digembar-gemborkan sebagai berlimpah sumber daya, tidak terwujud. Ketergantungan pada enegri fosil justru semakin besar.
Kalkulasi ekonomi telah banyak dibicarakan. Demikian juga dengan perkiraan konsekuensi yang timbul pada kenaikan barang-barang dan kebutuhan lain, serta inflasi. Namun demikian, pemerintah dan partai politik merasa perlu memasukkan juga kalkulasi politik. Hal ini berkaitan dengan bantuan bagi kelompok masyarakat miskin yang rentan dimanipulasi untuk kepentingan politik menjelang Pemilihan Umum 2014. Parpol mencari celah menaikkan popularitas dalam kasus BBM ini, bahkan ada yang dengan cara naif. Partai Demokrat dan pemerintah tampaknya menghitung kepentingan politik dalam keputusan ini untuk setidaknya mencegah merosotnya popularitas partai akibat kasus korupsi yang merundung partai ini.
Kalkulasi politik telah membuat kalkulasi ekonomi menjadi makin sulit diterapkan. Dengan lambannya pemerintah mengambil keputusan, situasi sosial justru semakin tidak bisa dikontrol dan memaksa pemerintah menggunakan kalkulasi sosial. Sekarang harga berbagai kebutuhan rutin masyarakat telah naik. Dan kenaikan itu jelas didorong oleh wacana kenaikan harga BBM.
Masyarakat sudah merasakan secara nyata dampak kenaikan BBM, bahkan sebelum keputusan itu diambil. Penimbunan BBM telah terjadi, dan kelangkaan BBM semakin dirasakan. Di berbagai daerah, seperti di Papua, Maluku, Kalimantan, dan Sulawesi, harga BBM sekarang bahkan ada yang sudah lebih tinggi dari harga baru yang akan ditetapkan. Di sejumlah daerah hal itu terjadi bertahun-tahun.
Dalam situasi seperti ini, kenaikan BBM sebenarnya telah kehilangan momentum terbaik. Kenaikan yang akan dilakukan akan membuat dampak yang jauh lebih luas, berkaitan dengan peningkatan kebutuhan di masyrakat. Bulan-bulan ini adalah waktu yang sibuk bagi keluarga untuk mendaftarkan sekolah anak-anak mereka dengan segala kebutuhannya. Kurang dari sebulan akan dimulai ibadah puasa bagi umat Muslim dan kemudian Idul Fitri. Hal ini akan diperberat oleh kenaikan tarif transportasi dan listrik, serta hampir semua produk. Ha ini akan memaksa pemerintah yang peragu ini membuat kalkulasi sosial dan dampak psikologisnya.
Semua kalkulasi itu tidak mempercepat penetapan keputusan, bahkan cenderung membuat pemerintah makin ciut nyalinya. Warga masyarakat sendiri didorong untuk membuat kalkulasi sendiri atas situasi dan kebutuhannya. Warga masyarakat sebagai produsen atau konsumen produk yang harganya akan dipengaruhi kenaikan BBM akan bertindajk atas kalkulasinya sendiri. Perilaku ini bisa tidak terkendali, dan membahayakan.
Masalahnya sekarang, apa yang sebenarnya membuat hal ini terjadi? Tampak jelas bahwa kalkulasi yang dilakukan oleh pemerintah dan partai politik serta parlemen telah mengabaikan satu komponen vital, yaitu kepentingan negara, dan kepentingan seluruh bangsa. Hal tersebut membuat keputusan masalah subsidi berlarut-larut dan tidak jelas hasilnya. Kepentingan engara dan bangsa terlalu sering diabaikan dalam kalkulasi para pemegang mandat di pemerintahan, bahkan digeser oleh kepentingan lokal dan kelompok. Itu sebabnya, masalah bangsa bukannya berkurang melainkan semakin rumit.
Hal ini harus menjadi refleksi dan peringatan yang tegas: gunakan terutama kalkulasi kepentingan negara dan bangsa untuk keputusan sepenting itu.
Ibu Kota India Tercekik Akibat Tingkat Polusi Udara 50 Kali ...
NEW DELHI, SATUHARAPAN.COM-Pihak berwenang di ibu kota India menutup sekolah, menghentikan pembangun...