Loading...
INDONESIA
Penulis: Yan Chrisna Dwi Atmaja 09:15 WIB | Rabu, 29 Januari 2014

Kenaikan Tarif Listrik Ganggu Pertumbuhan Ekonomi

Perluasan transmisi untuk meningkatkan rasio elektrifikasi dan memenuhi kebutuhan listrik di wilayah Bali sangat diperlukan. (Foto: adb.org)

JAKARTA, SATUHARAPAN.COM - Pakar energi M. Kurtubi mengatakan kenaikan tarif listrik untuk empat golongan konsumen nonsubsidi setiap bulan sekali mulai 1 Mei 2014 akan mengakibatkan pertumbuhan ekonomi terganggu.

"Kenaikan TDL itu mengakibatkan pertumbuhan ekonomi terganggu, inflasi tinggi, jumlah orang miskin lebih banyak, angka pengangguran lebih besar karena listrik yang mahal sehingga investasinya tambah susah," kata Dr. Ir. M. Kurtubi di Jakarta, Selasa (28/1).

Kenaikan TDL telah disepakati oleh Pemerintah dan DPR untuk empat golongan, antara lain rumah tangga besar (R3) dengan daya 6.600 VA ke atas, bisnis menengah (B2) dengan daya 6.600 VA sampai 200 kVA, bisnis besar (B3) dengan daya di atas 200 kVA. Golongan B2 dan B3, antara lain mal, hotel, perkantoran, dan apartemen.

Selain itu, kenaikan tarif listrik juga diberlakukan untuk kantor pemerintah sedang (P1) dengan daya 6.600 hingga 200.000 VA.

Menurut Kurtubi, kenaikan TDL tersebut berakibat kepada pengeluaran yang lebih tinggi, tidak hanya bagi industri, tetapi juga berimbas pada rumah tangga karena ongkos industri yang naik, harga barang dan jasa naik.

"Ini kan alasan dinaikkan karena subsidi listrik membengkak. Kalau ditelaah kenapa subsidi listrik membengkak? Karena biaya pokok listrik sekarang mahal sekali," jelas Kurtubi.

Ia menjelaskan bahwa biaya pokok listrik mahal karena penggunaan BBM sebagai bahan bakar.

"Karena sekarang pakai BBM yang tidak terkira. Kenapa Pemerintah pakai BBM, padahal kita punya batu bara begitu besar? Kalau pakai BBM, biaya listrik Rp 3.000 per kwh sedangkan kalau pakai batu bara biaya listrik Rp 400 per kwh, kalau pakai gas Rp 500 per kwh," tutur Kurtubi.

Menurutnya, solusi menekan TDL pemerintah harus membangun pembangkit listrik yang menggunakan batu bara dan gas.

"Mestinya listrik harus murah. Kita negara penghasil batu bara dan gas. PLN malah diwajibkan beli listrik dari (perusahaan listrik) swasta IPP (Independent Power Production) dengan harga Rp 15 sen per kwh," kata Kurtubi.

Akibat penggunaan BBM, lanjut Kurtubi, PLN merugi Rp 53 triliun selama tiga tahun.

"Kerugian inefisiensi PLN itu karena memakai BBM. Mungkin ada pihak lain yang diuntungkan. Kenapa power generation dan solar diperbanyak? Bahkan, PLN harus sewa di mana-mana. Biaya listrik PLN Rp 3.000 per kwh, lalu dijual kepada masyarakat Rp 800 perak. Ya, jelas rugi. Lalu, solusinya naikkan harga, padahal ada batu bara dan gas yang bisa murah," jelas Kurtubi. (Ant)


BPK Penabur
Gaia Cosmo Hotel
Kampus Maranatha
Back to Home