Kendheng Nari Merawat Alam
YOGYAKARTA, SATUHARAPAN.COM - Tarian Gambyong oleh tujuh penari di atas panggung sederhana di tengah hutan dekat Omah Sonokeling, Sukolilo Kabupaten Pati ikut memeriahkan acara Kendheng Nari, hari Minggu (17/4) siang.
Kendheng Nari merupakan sebuah upaya Jaringan Masyarakat Peduli Pegunungan Kendeng (JM-PPK) dalam melestarikan alam-lingkungan yang telah diperjuangkan sejak lama oleh warga yang tinggal dan menggantungkan hidupnya di sekitar pegunungan Kendheng.
Pelestarian lingkungan terus dilakukan, terutama para ibu yang merasa bertanggung jawab atas apa yang akan diwariskan kepada anak cucu mereka kelak.
Tari Gambyong, ketika Dewi Sri menari
Tari gambyong, sebuah tarian Jawa klasik yang sudah lama tumbuh di masyarakat Jawa Tengah. Tari gambyong mengambil gerakan dasar tarian Tayub/tlèdhèk, biasanya dilakukan oleh beberapa penari. Tari Tayub sendiri berkembang di Surakarta dan sekitarnya.
Saat upacara panen dan hendak menanam padi, masyarakat Surakarta tempo dulu mempertunjukkan tarian ini sebagai undangan pada Dewi Sri atau Dewi Padi agar ia memberkahi sawah mereka dengan hasil panen yang maksimal.
Tayub sendiri merupakan jarwo dhosok (singkatan) dua suku kata, ditata kareben guyub (diatur agar tercipta kerukunan/guyub). Pada awalnya tayub merupakan ritual sesembahan demi kesuburan pertanian. Tari tayub merupakan tarian pergaulan yang disajikan untuk menjalin hubungan sosial masyarakat.
Tari Tayub mempunyai tiga fungsi yaitu sebagai sarana upacara (ritual), hiburan dan tontonan. Tayub biasa digelar untuk hajatan masyarakat sebagai sarana upacara seperti bersih desa dan perkawinan. Dalam bersih desa tari Tayub memiliki peran penting dalam memohon kepada Tuhan untuk kesuburan tanah, hasil panen yang berlimpah, ketenangan, keselamatan, dan kesejahteraan masyarakat.
Yang membedakan dengan tari Tayub terletak pada garis dan gerak yang jauh lebih besar. Kekompakan penari menjadi daya estetis tari Gambyong. Penari Gambyong menggerakkan tangan, kaki, dan kepala selaras dengan tabuhan kendang. Kendang menjadi panduan bagi pemukul gamelan/pemusik dan penari dalam melakukan gerak atau bunyi tertentu.
Pemakaian kostum penari Gambyong biasanya menggunakan warna-warna hijau, kuning, serta warna cerah yang menyimbolkan kesuburan dan kemakmuran.
Ketika Kendheng Nari
Pegunungan Kendeng Utara yang membentang dari Kabupaten Grobogan, Pati, Rembang, Blora, Tuban, Bojonegoro, hingga Lamongan, kaya dengan kandungan gamping (karst) serta komposit-deposit bahan tambang lainnya. Di sisi lain, kawasan pegunungan karst kapur dianggap daerah yang kering dan gersang meskipun di bawah permukaannya menyimpan potensi air yang berlimpah.
Tidak mengherankan, dengan berbagai alasan dan kepentingan kondisi ini menjadi rebutan banyak pihak untuk menambangnya, di sisi lain masyarakat setempat terutama petani sangat bergantung dari keberadaan pegunungan baik dalam penyediaan air, lahan pertaniannya, maupun aktivitas lainnya.
Semenjak memenangi gugatannya tentang penolakan tambang dan pembangunan pabrik semen di wilayah karst Sukolilo pada tahun 2009, masyarakat petani Sukolilo Pati bersama petani dari wilayah lain terus berupaya menjaga kelestarian Kendheng.
Untuk menjaga semangat melestarikan Kendheng Utara, pada hari Minggu (17/4) siang di hutan sekitar Omah Sonokeling Sukolilo Pati, JM-PPK menggelar acara Kendheng Nari.
Acara yang melibatkan warga dari Kabupaten Rembang, Blora, Kudus, Grobogan, Kendal, serta Pati itu juga dihadiri perwakilan LBH Apik Semarang dan LBH Semarang.
Dalam keterangan tertulis yang diterima satuharapan.com, Harno koordinator acara Kendheng Nari menjelaskan bahwa penyelamatan sumber daya alam menjadi tanggung jawab bersama yang harus segera dilakukan, sebab kerusakan alam di Bumi Pertiwi bukan hanya akan dirasakan oleh yang hidup hari ini, tapi juga akan diwariskan kepada anak cucu di masa mendatang.
Harno menjelaskan, silih berganti usaha untuk tetap menjaga kelestarian alam Kendheng dilakukan dari ancaman berbagai pihak tanpa mengingat keberlangsungan kehidupan warga sekitar. Menurut dia, tawaran kesejahteraan melalui peningkatan ekonomi wilayah serta CSR selalu menjadi alasan, meskipun realitasnya tidak bisa menyelesaikan masalah karena kesejahteraan yang didapat tidak sebanding dengan kerusakan lingkungan hidup yang dibuat.
"Setelah rangkaian upaya dilakukan warga, kini saatnya warga nari. Nari dalam bahasa Jawa yang artinya tawaran untuk memilih. Kendheng Nari adalah menawarkan untuk memilih. Tawaran yang diberikan adalah bencana (akibat rusaknya lingkungan) atau keselamatan (atas lestarinya alam). Silahkan, dipilih dengan konsekuensi yang ditawarkan masing-masing," kata Harno.
Setelah pembukaan, Deni Yulianti, seorang petani dari Grobogan melakukan teatrikal nggondheli watu untuk mempertahankan batu (Pegunungan karst Kendheng) dari pengerusakan, dilanjutkan dengan perform tari Gambyong.
Kemudian pementasan tari kolaborasi barongan dan genderuwo. Tarian tersebut menggambarkan kepungan ancaman yang ada, anak-anak berusaha mempertahankan kelestarian Kendheng dari berbagai upaya pengerusakan agar tetap ijo royo-royo.
Di akhir acara dilakukan brokohan yang dipimpin oleh Gunretno, penerus ajaran Sikep di Sukolilo-Pati. Brokohan merupakan acara selamatan sebagai ungkapan rasa syukur dan berharap perlindungan dari Tuhan.
Setelah acara, warga bersama-sama ngemuli kayu yang bermakna menyelimuti dan melindungi kayu (pohon) yang merupakan rumah air.
"Pada awalnya tari Gambyong ditampilkan pada upacara ritual pertanian dengan maksud memohon kesuburan tanaman, perolehan panen yang melimpah, serta perlindungan Tuhan semesta alam, dalam gerakan Dewi Sri yang sedang menari-nari.
Dan saat ini, Menarilah Dewi Sri, menarilah menawarkan alam yang lestari."
1.100 Tentara Korea Utara Jadi Korban dalam Perang Rusia-Ukr...
SEOUL, SATUHARAPAN.COM-Lebih dari 1.000 prajurit Korea Utara tewas atau terluka dalam perang Rusia d...