Kepemimpinan Kolaboratif pada Masa Krisis
SATUHARAPAN.COM – Keluhan Wapres Jusuf Kala mengenai manajemen krisis Pemda Palu yang lemah dan banyak digantikan oleh TNI mengindikasikan kelemahan mendasar kepemimpinan Aparatur Sipil Negara (ASN), terutama saat terjadi bencana. Pelatihan kepemimpinan yang dilakukan pemerintah selama ini dipertanyakan kembali karena seolah tidak mampu menjawab situasi krisis sehingga ke depan kepemimpinan kolaboratif pada masa krisis diperlukan.
Kejadian gempa dan tsunami di Sigi, Palu dan Donggala (SIPADO) memang luar biasa karena meluluhlantakan manusia sebagai korbannya dan alam semesta di sekitarnya. Korban berjatuhan, sarana infrastruktur lumpuh beberapa hari, dan kerusakan rumah warga dan fasilitas-fasilitas pemerintah yang ada. Situasi tersebut menyebabkan ASN sempat lumpuh dan gagap untuk merespons bencana.
Undang-undang Nomor 24 tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana sebetulnya telah mengatur hal-hal mendasar mengenai penanggulangan bencana alam. Berdasarkan aturan itu, ada tiga komponen yang saling mengisi dalam upaya pengurangan risiko bencana alam: professional atau tenaga ahli, pemerintah, dan masyarakat. Ketiga stakeholder ini perlu bersinergi untuk membangun kepemimpinan kolaboratif bersama.
Lumpuhnya koordinasi dinyatakan sebagai indikasi kurangnya dan lemahnya kepemimpinan. Pada saat krisis diperlukan kepemimpinan dan kemampuan mengelolanya. Meskipun bencana melanda, pemerintahan daerah semestinya tetap berjalan karena akan menjadi pusat rujukan dan koordinasi respons bencana. Kepemimpinan yang baik adalah kepemimpinan yang bisa berfungsi saat kondisi normal, apalagi dalam situasi tidak normal.
Merajut Asa Kepemimpinan Kolaboratif
Harapan dan asa masyarakat harus dibangkitkan kembali, siapa yang akan mengkoordinasi kebangkitan tersebut? Tak lain para pemimpin. Kepemimpinan yang melibatkan unsur profesional, masyarakat, dan pemerintah daerah maupun pusat. Kepemimpinan kolaboratif merupakan istilah yang perlu dikembangkan untuk menggambarkan berbagai teknik kepemimpinan yang mempromosikan rasa persatuan dan kerja sama tim di antara para stakeholder.
Ide di balik kepemimpinan kolaboratif ini memungkinkan semua pihak menggabungkan kekuatan mereka dengan anggota tim lainnya, sehingga secara kolektif mereka mampu mengimbangi kelemahan yang ada di antara anggota tim. Pada sisi yang lain, pendekatan ini dimaksudkan untuk meningkatkan efisiensi di semua lini operasi, meningkatkan semangat kerja, meningkatkan hubungan baik di antara semua pihak, dan bahkan membangun persepsi positif masyarakat terhadap terhadap penanganan bencana yang sedang dijalankan.
Kepemimpinan kolaboratif mampu memberikan pengaruh positif terhadap suatu situasi krisis berupa motivasi dan memberikan inspirasi arah kebijakan yang positif bagi keberlangsungan para korban bencana. Senge (1990) menyatakan bahwa pembelajaran kolaboratif adalah di mana setiap orang mengembangkan dirinya secara terus-menerus untuk menghasilkan hal yang benar-benar mereka inginkan, ditandai dengan adanya kebaharuan pola berpikir yang dibentuk, di mana aspirasi kolektif diberi ruang kebebasan sehingga setiap orang dapat belajar.
Oleh karena itu, kepemimpinan kolaboratif yang melibatkan segenap daya pemerintah, tenaga ahli, dan masyarakat haruslah mampu merajut asa dalam proses tanggap darurat dan pencarian korban yang terus berlangsung. Kepemimpinan kolaboratif juga perlu diarahkan dalam menyelesaikan dampak perubahan struktur sosial yang terjadi.
Kita tahu, dampak tsunami dan likuefaksi di Palu telah menghilangkan struktur dan jejaring sosial yang menyebabkan koordinasi di antara lurah, ketua rukun tetangga, tokoh adat, tokoh agama atau tokoh masyarakat seketika hilang. Karena itu, kepemimpinan kolaboratif yang melibatkan stakeholder yang masih ada sekarang perlu direorganisasi dengan berbasis barak atau tenda pengungsian.
Pendirian barak-barak pengungsian—yang disesuaikan dengan rukun tetangga (RT) dan melibatkan para pemimpin di tingkat RT, RW, kelurahan, kecamatan—merupakan upaya untuk melibatkan mereka dalam peran kepemimpinan kolaboratif yang merekatkan struktur dan kohesi sosial. Dengan demikian upaya penangananan bencana di Sigi, Palu dan Donggala merupakan upaya kolaborasi bersama yang digerakkan oleh pemimpin-pemimpin dari semua pihak yang saling berkontribusi untuk tujuan penanganan bencana yang lebih efektif dan maksimal.
Editor : Yoel M Indrasmoro
AS Laporkan Kasus Flu Burung Parah Pertama pada Manusia
NEW YORK, SATUHARAPAN.COM-Seorang pria di Louisiana, Amerika Serikat, menderita penyakit parah perta...