Kepuh, Tanaman Multimanfaat yang Belum Dikembangkan
SATUHARAPAN.COM – Di Indonesia, terutama di Pulau Jawa, tumbuhan kepuh sudah dikenal sejak lama, dan diketahui berkhasiat untuk obat. Semua bagian tanaman, mulai dari kulit batang, daun, buah, sampai biji, sering dimanfaatkan sebagai campuran jamu.
Kepuh ditemui tersebar merata di seluruh wilayah Indonesia. Tesis Arya Arismaya Metananda, “Konservasi Kepuh (Sterculia foetida L.) di Kabupaten Sumbawa Nusa Tenggara Barat” (Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor, 2016), menegaskan spesies ini dikenal multimanfaat.
Selain dikenal berkhasiat untuk obat-obatan, kepuh sejak lama dikenal dalam pemenuhan kebutuhan hidup masyarakat baik pangan, pakan ternak, bahan bakar nabati/biofuel, berbagai kerajinan tangan, serta kayu konstruksi. Kulit buahnya dalam bidang pangan digunakan sebagai bahan kue, menurut penelitian Purwati (2010) dan olahan biji kepuh digunakan sebagai penyedap rasa alami di kalangan etnis Samawa di Sumbawa.
Penggunaan kepuh sebagai penyedap rasa alami ini, digarisbawahi Arya Metananda perlu mendapat perhatian, sebagai alternatif di tengah merebaknya berbagai merek penyedap kemasan dengan kandungan kimia sintetik.
Kepuh juga potensial sebagai penghasil bahan bakar nabati (biofuel). Keberadaan kepuh sebagai biofuel turut menunjang aspek ekologis dalam pengurangan penggunaan bahan bakar fosil yang prosesnya cenderung tidak ramah lingkungan.
IGA Bawa dalam penelitian yang dilakukan pada tahun 2010, “Analisis Senyawa Antiradikal Bebas pada Minyak Daging Biji Kepuh (Sterculia feotida L.” (Jurnal Kimia 4(1): 35-42), juga Purwati (2010), menyatakan bahwa biji kepuh terdiri atas beberapa jenis asam lemak, dapat digunakan sebagai ramuan berbagai produk industri seperti kosmetik, sabun, sampo, pelembut kain, cat, dan plastik.
Daun kepuh, dalam bidang kesehatan digunakan sebagai obat rematik, luka, demam, TBC, radang selaput lendir mata, dan pusing kepala, menurut Arya Metananda, mengutip studi Didin (1986), Heyne (1987), Purwati (2010), dan Yuniastuti (2013). Kulit batangnya digunakan untuk sakit perut, abortivum (obat penggugur), obat lumpuh (IGA Bawa, 2010). Akarnya untuk mengobati kencing nanah (Sastroamidjojo 1997).
Secara ekologis, pohon kepuh berfungsi sebagai mikro habitat beberapa jenis burung, kalong, dan lebah madu. Pohon kepuh juga berfungsi sebagai pengatur siklus hidrologi karena dengan tajuknya yang lebar dan perakarannya yang kuat mampu menahan air tanah.
Ciri Botani
Kepuh, mengutip dari Wikipedia, memiliki nama ilmiah Sterculia foetida, dengan sinonim Clompanus foetida Kuntze, dan Sterculia mexicana var. guianensis Sagot.
Nama marganya diambil dari Sterculius atau Sterquilinus, nama dewa pupuk pada mitologi Romawi. Nama spesiesnya, foetida, memiliki arti berbau keras, busuk. Nama ilmiah itu merujuk pada bau tak enak yang dikeluarkan oleh pohon ini, terutama dari bunganya.
Kepuh adalah sejenis pohon kerabat jauh kapuk randu. Pohonnya tumbuh tinggi, hingga mencapai 40 meter, dengan diameter batang bagian bawah dapat mencapai 3 meter. Sama dengan kapuk randu, cabang-cabang tumbuh mendatar dan berkumpul pada ketinggian yang kurang lebih sama, bertingkat-tingkat.
Daun tumbuhan kepuh berupa daun majemuk menjari berbentuk jorong dengan ujung dan pangkal yang runcing. Panjang daunnya berkisar 10-17 cm.
Bunga terdapat di ujung batang/ranting, pada awalnya bunga berwarna kuning keabuan kemudian menjadi merah.
Buah kepuh besar agak lonjong berukuran 7-9 cm dengan lebar sekitar 5 cm. Kulit buah tebal dan keras dengan warna merah kehitaman. Buah kepuh berupa kantong dengan jumlah 10-17 biji.
Pohon yang tumbuh cepat ini selain banyak ditemukan di pemakaman di Jawa dan Bali, juga kerap didapati di hutan-hutan pantai.
Habitat kepuh adalah dataran rendah hingga ketinggian sekitar 500 meter dari permukaan air laut (m dpl) terutama di daerah kering. Persebaran pohon ini sangat luas, mulai dari Afrika bagian timur, Asia Selatan, Asia Tenggara, Kepulauan Nusantara (Indonesia), hingga Australia. Di Indonesia, tanaman ini tersebar di beberapa daerah meliputi Sumatera, Jawa, Bali, Lombok, Sumbawa, Flores, Timor, Kalimantan, Sulawesi, Maluku, dan Papua.
Mengutip dari Wikipedia, kepuh memiliki banyak nama lokal. Nama-nama lain, di antaranya halumpang (Batak); kÄpoh, kolèangka (Sunda); kepuh, kepoh, jangkang, pranajiwa (Jawa); jhangkang, kekompang (Madura); kepuh, kepah, kekepahan (Bali); kepoh, kelompang, kapaka, wuka, wukak (bahasa-bahasa di NTT); bungoro, kalumpang (Makassar); alumpang, alupang, kalupa (Bugis); kailupa furu, kailupa buru (Maluku Utara). Ada juga yang menyebut kabu-kabu, kalupat, lepong, kelumpang jari.
Mengutip media Info Tek Perkebunan Volume 2 Nomer 4 April 2010, dalam bahasa Inggris kepuh disebut java olives. Referensi lain menyebutkan dalam bahasa Inggris kepuh disebut hazel sterculia, indian almond, peon, skunk tree, dan sterculia nut.
Sementara dalam bahasa Hindi (India) kepuh disebut jangli badam, di Thailand dinamakan samrong, dan orang Filipina menyebutnya kalumpang.
Kegunaan Kepuh sebagai Biofuel
Kayu kepuh, mengutip dari Wikipedia, berwarna putih keruh, ringan, dan kasar, serta tidak kuat, tidak awet, tidak tahan terhadap serangan serangga. Kayu ini, meskipun mudah didapatkan dalam ukuran besar, kurang baik untuk bangunan karena mudah rusak. Biasanya kayu kepuh digunakan untuk membuat biduk, peti pengemas, dan batang korek api. Namun begitu, pohon kepuh yang tua dapat menghasilkan kayu teras bergaris-garis kuning yang cukup baik untuk membuat perahu dan peti mati. Kayunya mungin cocok untuk mebel.
Daun-daun kepuh konon digunakan untuk mengobati demam, mencuci rambut, dan sebagai tapal untuk meringankan sakit pada kaki dan tangan yang terkilir atau patah tulang.
Kulit buah yang tebal yang dibakar hingga menjadi abu, digunakan untuk memantapkan warna yang dihasilkan oleh kesumba. Air rendaman abu ini juga digunakan sebagai obat penyakit kencing nanah.
Karl Heyne dalam “Tumbuhan Berguna Indonesia, jil. 3:1353-1355” (Terj. Yayasan Sarana Wana Jaya, Jakarta, 1987) mencatat inti biji kepuh mengandung 40 persen minyak kuning muda yang tak mengering. Biji-biji ini disangrai untuk dimakan atau dibuat sambal.
Biji kepuh dulu juga acap dikempa untuk diambil minyaknya, yang berguna sebagai minyak lampu, atau minyak goreng. Di Kangean, minyak kepuh dimanfaatkan sebagai malam untuk membatik.
Biji kepuh secara umum mengandung beberapa jenis asam lemak. Minyak adalah salah satu komponen dari biji kepuh tersebut dengan proporsi 53-58 persen dari berat total biji.
Minyak diperoleh dengan cara ekstraksi. Dari daging biji, dapat dibuat minyak yang mengandung sebagian besar asam sterkulat, serta sebagian kecil terdiri atas asam oleat, asam linoleat, asam palmitat, dan asam miristat. Produk minyak dapat dijadikan pelumas, kosmetik, cat, dan plastik.
Puslitbang Perkebunan - Pusat Keunggulan Inovasi Teknologi Perkebunan Berkelas Dunia, dari data yang diakses Wikipedia pada 2019, meneliti pemanfaatan biji kepuh sebagai biodiesel.
Inovasi yang dilakukan melalui proses alkoholisis. Penggunaan kepuh sebagai biofuel ini masih dalam skala laboratorium, belum digunakan secara komersial karena belum efektif secara ekonomi. Namun, untuk penggunaan secara umum di Indonesia dan Jawa Barat, minyak kepuh sudah digunakan sebagai produk industri seperti kosmetik, sabun, obat cuci rambut, pelembut kain, cat, dan plastik.
Dari penelitian tersebut juga diketahui, kualitas kepuh Jawa Barat lebih baik dibandingkan di daerah lain. Dari hasil analisis laboratorium diperoleh kandungan minyak kepuh di NTT lebih tinggi sebesar 44,36 persen dibandingkan dari daerah Jawa Barat 42,6 persen, tetapi kualitas minyak di Jawa Barat lebih baik daripada di NTT, diperlihatkan oleh bilangan asam yang lebih rendah.
Bilangan asam merupakan salah satu indikator mutu minyak, semakin rendah bilangan asam kualitas minyak semakin baik. Bilangan asam kepuh majalengka (2,80 mg KOH/g minyak) lebih rendah dibanding dengan bilangan asam minyak kepuh dari NTT (313 mg KOH/g minyak). Dengan kualitas minyak biji kepuh yang baik di jawa barat yang cukup baik, potensi minyak kepuh berkualitas di Jawa Barat memiliki prospek yang baik.
Raden Sudrajat, Yogie S, Djeni Hendra, Dadang Setiawan juga melakukan studi “Pembuatan Biodiesel Biji Kepuh dengan Proses Transesterifikasi” (Jurnal Penelitian Hasil Hutan, 2010). Para peneliti menggunakan standarisasi SNI dalam hal standarisasi untuk produk olahan biji kepuh.
Sudrajat, dalam penelitian tahun 2012, menekankan viskositas yang berpengaruh terhadap semburan pada mesin diesel. Viskositas, menurutnya, juga berpengaruh terhadap penguapan bahan baku, efisiensi pembakaran, dan faktor ekonomi lainnya.
Banyak peneliti mengambil kepuh sebagai bahan penelitian. IARA Asih, IGW Gunawan, NMD Ariani, misalnya, pada tahun 2010 meluncurkan hasil studi “Isolasi dan Identifikasi Senyawa Golongan Triterpenoid dari Ekstrak n- Eksana Daun Kepuh (Sterculia foetida L.) serta Uji Aktivitas Antiradikal Bebas” di Jurnal Kimia. Kemudian, IGA Bawa, pada tahun yang sama, juga di jurnal yang sama, meluncurkan hasil penelitian “Analisis Senyawa Antiradikal Bebas pada Minyak Daging Biji Kepuh (Sterculia feotida L.)”.
I Wayan Gede Gunawan dan I Made Karda (Laboratorium KimiaOrganik, Jurusan Kimia FMIPA Universitas Udayana dan UPT PPKB Universitas Udayana), misalnya, pada 2015 melakukan penelitian “Identifikasi Senyawa Minyak Atsiri dan Uji Aktivitas Antioksidan Ekstrak Etanol Kulit Batang Kepuh (Sterculia foetida, L).”
Permasalahan saat ini, seperti ditekankan Arya Metananda dalam tesisnya, kepuh belum dimanfaatkan secara optimal. Masyarakat luas justru lebih banyak mengenal kepuh sebagai tumbuhan mistik, terutama karena kepuh banyak ditanam di pekuburan. Informasi mengenai kegunaan kepuh belum banyak diketahui dan digali masyarakat. Pada sisi lain spesies ini di beberapa daerah mulai jarang ditemukan.
Editor : Sotyati
Otoritas Suriah Tunjuk Seorang Komandan HTS sebagai Menteri ...
DAMASKUS, SATUHARAPAN.COM-Penguasa baru Suriah telah menunjuk Murhaf Abu Qasra, seorang tokoh terkem...