Kesamaan Persepsi Guru dan Orangtua dapat Cegah Kekerasan
JAKARTA, SATUHARAPAN.COM - Co-founder Sehat Jiwa Nur Ihsanti Amalia mengatakan, kesamaan persepsi antara pihak guru dan orang tua penting untuk dicapai terlebih dahulu sehingga seluruh pihak dapat bekerja sama dengan baik di dalam upaya pencegahan kekerasan di lingkungan pendidikan.
Dengan kesamaan persepsi yang disepakati sejak awal, ia mengatakan bahwa fenomena guru yang dilaporkan ke penegak hukum oleh orang tua siswa atas dugaan kekerasan sebenarnya bisa dihindari.
“Koordinasi, kolaborasi, atau kerja samanya, lalu juga komunikasi dengan orang tua itu juga menjadi hal yang krusial. Dan itu sebenarnya bisa menghindari terjadinya hal-hal yang berkaitan dengan lapor-melapor kasus kekerasan, orang tua merasa anaknya diberikan kekerasan, lalu nanti orang tuanya tidak terima, melaporkan dan segala macam,” kata Santi dalam webinar yang diikuti di Jakarta, Selasa (12/11).
Berdasarkan pengalamannya saat melakukan kunjungan ke Maluku untuk bertemu dengan para guru, Santi mengatakan bahwa kekerasan sudah membudaya atau menjadi hal yang biasa terjadi di beberapa daerah.
Padahal, tegas dia, kekerasan dalam bentuk dan intensitas apapun, termasuk untuk tujuan mendisiplinkan siswa, tetap tidak diperbolehkan. Dengan tujuan apapun, kekerasan bukanlah hal yang bisa dibenarkan.
Oleh sebab itu, menurut Santi, diperlukan penyamaan persepsi mengenai definisi bentuk-bentuk kekerasan yang dapat dipahami oleh semua pihak. Sehingga, pihak guru atau sekolah maupun orang tua bisa sepakat bahwa kekerasan memang tidak boleh dilakukan oleh siapapun.
Santi menggarisbawahi pentingnya setiap individu untuk memiliki keterampilan sosial dan emosional yang baik sehingga tercipta lingkungan sekolah yang aman dan damai. Pengembangan keterampilan sosial dan emosional ini juga membutuhkan dukungan dan peranan tidak hanya dari pihak sekolah dan orangtua melainkan komunitas secara lebih luas.
“Jadi, semuanya harus kolaborasi, harus gotong royong, dan ini bisa menjadi salah satu cara untuk kita bisa menghindari kekerasan terjadi di lingkup pendidikan,” ujar Santi yang juga merupakan lulusan Fakultas Psikologi Universitas Indonesia itu.
Untuk menumbuhkan kesadaran pada siswa, ia mendorong para guru untuk dapat menanamkan nilai-nilai antikekerasan dan saling menghargai yang diselipkan di setiap kegiatan pembelajaran sehari-hari.
“Contohnya, sebelum mulai kegiatan kelas. ‘Kita berdoa, kemudian silakan berikan apresiasi kepada teman sebangkumu’. Jadi kita ciptakan keterampilan saling menghargainya ini. Kita ciptakan rasa kasih sayangnya, rasa keberadaan orang-orang sekitar di interaksi-interaksi yang sehari-hari bisa kita lakukan,” kata dia.
Ia memahami bahwa proses untuk menumbuhkan kesadaran antikekerasan tidaklah mudah untuk dilakukan di beberapa daerah terutama di daerah dengan kultur kekerasan yang sudah mengakar. Santi pun berharap, Dinas Pendidikan setempat dapat menguatkan kembali perannya untuk ikut menciptakan lingkungan pendidikan yang aman dan nyaman.
“Kalau di Maluku, sebenarnya ada pendidikan ‘orang basudara’. Konsep ini sebenarnya bisa menjadi salah satu landasan untuk membangkitkan lagi persaudaraan, kesatuan, serta rasa aman dan nyaman untuk teman-teman di wilayah timur,” kata Santi.
Penyakit Pneumonia Terus Menjadi Ancaman bagi Anak-anak
JAKARTA, SATUHARAPAN.COM-Wakil Menteri Kesehatan, Dante Saksono Harbuwono, mengatakan, pneumonia ser...