Ketegangan Kembali Berkobar di Kosovo-Serbia
BELGRADE, SATUHARAPAN.COM-Ketegangan antara Serbia dan Kosovo kembali berkobar akhir pekan ini setelah polisi Kosovo menggerebek daerah-daerah yang didominasi Serbia di utara kawasan itu dan menyita gedung-gedung kota madya setempat.
Terjadi bentrokan sengit antara polisi Kosovo dan pasukan penjaga perdamaian yang dipimpin NATO di satu sisi dan warga Serbia lokal di sisi lain, menyebabkan beberapa orang terluka di kedua sisi, termasuk 25 anggota pasukan NATO.
Serbia meningkatkan kesiapan tempur pasukannya yang ditempatkan di dekat perbatasan dan memperingatkan tidak akan tinggal diam jika orang Serbia di Kosovo diserang lagi.
Situasi tersebut kembali memicu kekhawatiran akan terulangnya konflik 1998-99 di Kosovo yang merenggut lebih dari 10.000 nyawa dan menyebabkan lebih dari satu juta orang kehilangan tempat tinggal.
Mengapa Terjadi Konflik Antara Kosovo dan Serbia?
Kosovo adalah wilayah berpenduduk mayoritas etnis Albania yang dulunya merupakan Provinsi Serbia. Ia mendeklarasikan kemerdekaan pada tahun 2008.
Serbia telah menolak untuk mengakui status kenegaraan Kosovo dan masih menganggapnya sebagai bagian dari Serbia, meskipun tidak memiliki kendali resmi di sana.
Kemerdekaan Kosovo telah diakui oleh sekitar 100 negara, termasuk Amerika Serikat. Rusia, China, dan lima negara Uni Eropa memihak Serbia. Kebuntuan telah membuat ketegangan terus membara dan mencegah stabilisasi penuh wilayah Balkan setelah perang berdarah pada 1990-an.
Apa Yang Memicu Ketegangan Terbaru?
Setelah orang Serbia memboikot pemilihan lokal bulan lalu yang diadakan di Kosovo utara, di mana orang Serbia merupakan mayoritas, wali kota etnis Albania yang baru terpilih pindah ke kantor mereka dengan bantuan polisi anti huru hara Kosovo hari Jumat (26/5) lalu.
Orang Serbia berusaha mencegah mereka mengambil alih tempat itu, tetapi polisi menembakkan gas air mata untuk membubarkan mereka.
Pada hari Senin (29/5), orang Serbia melakukan protes di depan gedung kota madya, memicu ketegangan yang mengakibatkan bentrokan sengit antara orang Serbia dan penjaga perdamaian Kosovo serta polisi setempat.
Boikot pemilihan menyusul pengunduran diri kolektif pejabat Serbia dari daerah tersebut, termasuk staf administrasi, hakim, dan petugas polisi, pada November 2022.
Separah Apa Konflik Etnis di Kosovo?
Perselisihan atas Kosovo sudah berlangsung berabad-abad. Serbia menghargai wilayah itu sebagai jantung kenegaraan dan agamanya.
Banyak biara Kristen Ortodoks Serbia abad pertengahan berada di Kosovo. Nasionalis Serbia memandang pertempuran tahun 1389 melawan Turki Ottoman di sana sebagai simbol perjuangan nasionalnya.
Mayoritas etnis Albania Kosovo memandang Kosovo sebagai negara mereka dan menuduh Serbia melakukan pendudukan dan penindasan. Pemberontak etnis Albania melancarkan pemberontakan pada tahun 1998 untuk membebaskan negara dari kekuasaan Serbia.
Tanggapan brutal Beograd mendorong intervensi NATO pada tahun 1999, yang memaksa Serbia untuk menarik diri dan menyerahkan kendali kepada penjaga perdamaian internasional.
Sistuasi Setempat
Ada ketegangan terus-menerus antara pemerintah Kosovo dan Serbia yang sebagian besar tinggal di bagian utara negara itu dan menjaga hubungan dekat dengan Beograd.
Upaya pemerintah pusat untuk memaksakan kontrol lebih besar di utara yang didominasi Serbia biasanya mendapat perlawanan dari Serbia.
Mitrovica, kota utama di utara, telah secara efektif dibagi menjadi bagian etnik Albania dan bagian yang dikuasai Serbia, dan kedua belah pihak jarang bercampur. Ada juga kantong-kantong berpenduduk Serbia yang lebih kecil di selatan Kosovo, sementara puluhan ribu orang Serbia Kosovo tinggal di Serbia tengah, tempat mereka melarikan diri bersama dengan penarikan pasukan Serbia pada tahun 1999.
Upaya menyelesaikan Konflik
Ada upaya internasional terus-menerus untuk menemukan titik temu antara dua bekas musuh masa perang itu, tetapi sejauh ini belum ada kesepakatan akhir yang komprehensif.
Pejabat Uni Eropa telah memediasi negosiasi yang dirancang untuk menormalkan hubungan antara Serbia dan Kosovo. Banyak kesepakatan telah dicapai selama negosiasi, tetapi jarang diimplementasikan di lapangan. Beberapa daerah telah melihat hasilnya, seperti memperkenalkan kebebasan bergerak di dalam negeri.
Sebuah ide telah dilontarkan untuk perubahan perbatasan dan pertukaran lahan sebagai jalan ke depan, tetapi hal ini ditolak oleh banyak negara Uni Eropa karena khawatir hal itu dapat menyebabkan reaksi berantai di daerah campuran etnis lainnya di Balkan dan memicu lebih banyak masalah di wilayah tersebut yang mengalami perang berdarah di tahun 1990-an.
Para Pemain Utama
Baik Kosovo maupun Serbia dipimpin oleh para pemimpin nasionalis yang belum menunjukkan kesiapan untuk berkompromi.
Di Kosovo, Albin Kurti, mantan pemimpin protes mahasiswa dan tahanan politik di Serbia, memimpin pemerintah dan negosiator utama dalam pembicaraan yang dimediasi Uni Eropa. Dia juga dikenal sebagai pendukung kuat penyatuan Kosovo dengan Albania dan menentang kompromi apa pun dengan Serbia.
Serbia dipimpin oleh Presiden populis, Aleksandar Vucicmenteri, tokoh selama perang di Kosovo. Mantan ultranasionalis itu menegaskan bahwa solusi apa pun harus berupa kompromi agar bertahan lama dan mengatakan bahwa negara tidak akan tenang kecuali memperoleh sesuatu.
Apa Yang Mungkin Terjadi Selanjutnya?
Pejabat internasional berharap untuk mempercepat negosiasi dan mencapai solusi dalam beberapa bulan mendatang.
Kedua negara harus menormalkan hubungan jika mereka ingin maju menuju keanggotaan Uni Eropa. Tidak ada terobosan besar yang berarti ketidakstabilan yang berkepanjangan, penurunan ekonomi, dan potensi bentrokan yang terus-menerus.
Setiap intervensi militer Serbia di Kosovo berarti bentrokan dengan penjaga perdamaian NATO yang ditempatkan di sana. Beograd mengendalikan Serbia Kosovo, dan Kosovo tidak dapat menjadi anggota PBB dan negara fungsional tanpa menyelesaikan perselisihan dengan Serbia. (AP)
Editor : Sabar Subekti
Duta Besar: China Bersedia Menjadi Mitra, Sahabat AS
BEIJING, SATUHARAPAN.COM-China bersedia menjadi mitra dan sahabat Amerika Serikat, kata duta besar C...