Ketika Lapangan Futsal Menjadi Ruang Pamer Seni
YOGYAKARTA, SATUHARAPAN.COM - Sebagai rangkaian dari Festival Kesenian Yogyakarta 29|2017, Pameran Perupa Muda (Paperu) dibuka pada Senin (31/7) malam. Paperu pada FKY kali ini menampilkan beberapa hal baru diantaranya bursa seni yang menawarkan produk merchandise dan karya seni grafis dari komunitas seni di Yogyakarta diantaranya Tindes art, Mulya Karya, Club Etsa, Survive!garage.
Paperu kali ini merupakan penyelenggaraan yang keempat mengangkat tema "Brake! Break!" dibuka bersama oleh koordinator Paperu Arsita Pinandita, kurator Hendra "Blangkon" Priyandhani, dan penulis pameran Rain Rosidi.
"(Harapannya) Paperu bukan sekedar mewadahi ekspresi seniman muda Yogyakarta, namun dengan Paperu kita bisa membayangkan dunia seni rupa Yogyakarta 5-10 tahun mendatang. Perupa-perupa muda inilah yang nantinya mewarnai dunia seni rupa Yogyakarta." kata Arsita.
Untuk pertama kalinya Paperu memilih seniman Sulung Widya Prasetya sebagai commision work yang mengubah pintu masuk ruang pameran dengan bangunan kayu dalam karya berjudul "Brake Fluid Balon". Karya berbentuk bilik dengan mixed media sekaligus digunakan untuk memajang karya perupa lainnya.
Penggunaan lapangan futsal sebagai ruang pamer menjadi tawaran menarik dalam penyelenggaraan Paperu kali ini. Nuansa santai dan semangat anak muda langsung terasa ketika hamparan rumput plastik lapangan futsal dipenuhi karya seni rupa perupa muda dengan karya dua dimensi, tiga dimensi, maupun karya video yang cukup berani membaca realitas sosial di sekitarnya.
Karya instalasi "Banyak Bicara" karya Andreas Avelino dan Kusuma Langgeng misalnya yang mendisplay berbagai radio dan tape recorder tua seolah menyampaikan pesan bahwa kebiasaan yang ada di sekitar kita saat ini, bahkan mungkin diri kita sendiri adalah budaya banyak bicara, bukan banyak mendengar. Banyak bicara tanpa dibarengi banyak mendengar hanya akan menimbulkan ketegangan di antara kita. Ini seolah diamini dengan videografi karya FJ Kunting berjudul "Talk" yang menggambarkan perilaku bicara hingga berbusa-busa.
Taufik Noor dengan karya instalasi memanfaatkan sepuluh pensil warna berjudul "(Bukan lagi) Jogja" pun cukup menarik sebagai pengingat bahwa Yogyakarta akhir-akhir ini seolah hanya berlomba-lomba membangun fisiknya menjadi yang terbaik-tertinggi sendiri-sendiri. Perlombaan yang hanya akan menjadikan sebuah kota anonim bagi lingkungan sekitarnya, bahkan bagi dirinya sendiri. "(Bukan lagi) Jogja" ketika pembangunan sebuah kota tidak dibarengi dengan keterlibatan masyarakatnya dalam membangun diri dan kotanya.
Perupa Popo dengan tiga desain print on paper dalam seri "Kaos Hitam Politik" pun menyampaikan pesan yang cukup jelas: "Tidak Korupsi dimulai dari diri sendiri", penegakan hukum dan keadilan yang "Serius". Isu-isu global pun tidak luput dari sentuhan perupa muda dengan banner-round tag yang terpasang di sekeliling area pameran.
Kehadiran perupa Ismanto Wahyudi dengan karya drawing berjudul "Ngoyak bondho... kelangan tresno" bisa menjadi penyemangat bagi perupa muda lainnya. Setidaknya bisa berpameran bersama perupa senior akan menjadi cerita tersendiri bagi mereka, terlebih ketika mereka memamerkan karyanya di ajang FKY yang sudah waktunya kembali merumuskan dirinya diantara berbagai festival/pameran seni rupa besar di Yogyakarta.
Lima atau sepuluh tahun lagi kita tunggu kiprah perupa muda saat ini dalam sumbangsihnya mewarnai dunia seni rupa Yogyakarta. Sukur-sukur bisa sampai Asia bahkan mendunia. Dan itu bermula dari lapangan futsal. Menarik kan?
Prasasti Batu Tertua Bertuliskan Sepuluh Perintah Tuhan Terj...
NEW YORK, SATUHARAPAN.COM-Prasasti batu tertua yang diketahui yang bertuliskan Sepuluh Perintah Tuha...