Ketika Ucapan Natal Pertama Datang dari Umat Muslim
JAKARTA, SATUHARAPAN.COM – Natal, adalah hari raya yang paling dinanti bagi umat Kristiani di seluruh penjuru dunia. Lahirnya Kristus, Sang Raja Damai tentu merupakan momentum umat Kristiani untuk instropeksi diri dan lahir kembali sebagai pribadi yang baru.
Memasuki bulan Desember biasanya perdebatan mengenai boleh atau tidaknya mengucapkan selamat Natal oleh umat Muslim mulai ramai diperbincangkan. Apalagi di era digital seperti sekarang ini di mana media sosial menjadi sarana untuk adu debat opini publik. Selain mengucapkan ‘Selamat Hari Natal’ yang terus menjadi perdebatan yang tak ada habisnya, belakangan ini Majelis Ulama Indonesia (MUI) juga mengeluarkan fatwa terkait haramnya menggunakan atribut Natal bagi umat Muslim. Bahkan fatwa ini membuat salah satu organisasi masyarakat (ormas) melakukan razia di beberapa pusat perbelanjaan di Indonesia yang membuat resah masyarakat.
Beberapa pihak seperti Wakil Presiden Jusuf Kalla, mantan Ketua Mahkamah Konstitusi Mahfud MD dan Menteri Agama Lukman Hakim Saifuddin angkat bicara soal fatwa MUI yang menjadi perdebatan di kalangan publik. Menurut mereka, fatwa tersebut sifatnya tidak mengikat dan tidak memiliki kekuatan hukum. Jadi, umat Muslim memiliki pilihan untuk menentukan sikap.
Ucapan ‘Selamat Hari Natal’ dari umat Muslim menjadi hal yang ‘mahal dan berharga’ untuk dijumpai. Tapi, apa yang terjadi ketika ucapan itu pertama kali datang dari umat Muslim?
Yudi Latif, seorang cendekiawan muda dan Ketua Pusat Studi Islam dan Kenegaraan Indonesia mengucapkan ‘Selamat Natal’ kepada Pendeta Martin Lukito Sinaga, Dewan Redaksi Satuharapan.com. Kepada satuharapan.com, Pdt. Martin mengatakan, Yudi adalah orang pertama yang mengucapkan ‘Selamat Natal’ kepadanya melalui pesan singkat.
“Bpk Pendeta Martin yang budiman. Saat langit mendung dikepung awan curiga, bumi rentan diterjang banjir kebencian, momen "Natal" semoga memulihkan kembali daya kuratif cinta. "Cintailah satu sama lain," sabda Yesus dalam Perjanjian Baru (Yohanes 13:34). Cinta adalah obat bagi hati yang sakit, lilin bagi kegelapan, harapan bagi kebuntuan. Selamat Hari Natal dan Tahun Baru! Semoga terlahir kembali dalam bening cinta. (Salam dan doa kami, Yudi Latif sekeluarga),” demikian seperti dikutip dari pesan singkatnya kepada Pdt. Martin, hari Jumat (23/12) di Jakarta.
Selain Yudi Latif, Ketua Pendidikan dan Kebudayaan Majelis Luhur Taman Siswa Yogyakarta, Ki Supriyoko juga mengucapkan salam Natal kepada Pendeta Weinata Sairin melalui pesan singkat.
“Kepada sahabat-sahabat baikku: izinkan saya menghaturkan Selamat Natal 2016 bagi yang merayakan. Semoga Natal kali ini bisa mempertebal kerukunan dan mempererat persaudaraan di antara kita semua. Salam hormat untuk keluarga,” kata dia.
Effendie Choirie, seorang tokoh dari Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) juga tak ketinggalan mengucapkan selamat kepada Pdt Weinata.
“Selamat natal...semoga damai di hati. Damai di keluarga. Damai di tanah air tercinta Indonesia. Salam hangat EC,” kata dia.
Sofyan Djalil, Menteri Agraria dan Tata Ruang juga mengirimkan pesan serupa. “Bapak Pendeta dan keluarga Selamat Hari Natal semoga kedamaian, dan rahmat Tuhan selalu menyertai kita semua, and all the best for 2017.”
Kemudian Dahnil Simanjuntak, Ketua Pemuda Muhammadiyah pun tak ketinggalan mengirimkan pesan singkat kepada Pdt Weinata: “Selamat merayakan Natal Pak. Semoga selalu sehat dan gembira.”
Meski boleh atau tidaknya mengucapkan ‘Selamat Natal’ bagi umat Muslim kepada umat Kristiani masih menjadi perdebatan, namun bagi beberapa umat Muslim hal itu tak menjadi penghalang untuk mempererat tali silaturahmi antarumat beragama.
Menteri Agama pun berpendapat bangsa Indonesia dikenal sebagai bangsa religius dalam segala bentuk keragamannya. Dia berharap semua pihak dapat mengedepankan sikap saling menghormati dan bertoleransi. Di tengah keberagaman, sikap saling menghargai dan menghormati perbedaan sangat diperlukan, terutama untuk merawat kerukunan dan kedamaian.
"Untuk itu, kita hormati saudara-saudara kita yang tak mengucapkan 'Selamat Natal' atas dasar pemahaman keyakinannya, sebagaimana kita juga hormati mereka yang mengucapkannya," kata Lukman di Jakarta, hari Sabtu (24/12).
"Kita berlapang dada menghormati umat Kristiani yang merayakan Natal, sembari berharap mereka juga dengan penuh kesadaran menghormati sesama saudaranya yang tak merayakan Natal,” kata Lukman.
Bila semua anak bangsa saling menghormati, saling memberi kehormatan kepada yang lain, maka semua akan mendapatkannya. Sebaliknya, bila yang terjadi adalah sikap saling menuntut untuk dihormati, akan muncul pertanyaan tentang siapa yang memberi dan siapa yang mendapatkan.
Editor : Diah Anggraeni Retnaningrum
Mencegah Kebotakan di Usia 30an
JAKARTA, SATUHARAPAN.COM - Rambut rontok, terutama di usia muda, bisa menjadi hal yang membuat frust...