Ketua MPR: Diamkan Pelanggaran HAM, Presiden Bangkang Hukum
JAKARTA, SATUHARAPAN.COM – Ketua MPR RI, Sidarto Danusubroto mengatakan bahwa memang telah terjadi pembangkangan, ketidaktaatan terhadap hukum (obstruction of justice) yang dilakukan pemerintah (baca: presiden), lantaran selama lima tahun masa kepemimpinannya tidak menindaklanjuti apa yang menjadi Rekomendasi DPR terkait kasus-kasus pelanggaran HAM (hak asasi manusia).
Dia katakan juga dalam pertemuannya dengan Koalisi Melawan Lupa di Kantor Ketua MPR RI, Gedung MPR/DPR, Senayan, Jakarta Selatan, Senin (2/6), bahwa presiden telah melaksanakan pembangkangan hukum pasca putusan Ombudsman RI. Artinya, presiden telah melecehkan konstitusi.
Perlu diketahui, Rekomendasi DPR lahir pada September 2009. Karena sudah rekomendasi, maka harus dilaksanakan oleh Komnas HAM sebagai lembaga lidik negara, Kejaksaan Agung selaku lembaga sidik negara, sedangkan court-nya bernama pengadilan adhoc.
Semua itu pertama-tama harus ditindaklanjuti terlebih dahulu oleh pemerintah, yang dalam hal ini adalah pihak yang telah diberi mandat oleh MPR, yaitu presiden dan lembaga-lembaga lainnya.
“Rekomendasi DPR kepada pemerintah sampai hari ini masih tetap berlaku, merupakan keputusan politik yang tidak berubah. Maka pemerintah, seyogyanya menindaklanjuti. Pelanggaran HAM dalam bentuk penculikan, penghilangan paksa, sampai penembakan, itu sudah termasuk pelanggaran HAM berat,” urai Sidarto.
Perlu diketahui pula uuntuk peristiwa pelanggaran HAM, diperlukan adanya suatu Rekomendasi Pleno DPR, dan itu baru diketok pada September 2009. Itulah sebabnya, peradilan kasus HAM dianggap mundur.
“Kalau ada pertanyaan kenapa pelanggaran HAM pada masa lalu tidak diproses, itu karena Rekomendasi Pleno DPR baru lahir pada 2009,” kata Sidarto.
Dia mengklaim bahwa Rekomendasi DPR tersebut sudah terbukti, dengan adanya beberapa orang yang dipanggil oleh Komnas HAM, salah satunya seorang jenderal. Sayangnya, begitu yang bersangkutan dipanggil justru tidak datang dengan alasan yang bersangkutan hanya ingin bicara di depan konvensi rakyat, bukan di depan Komnas HAM.
“Ada reaksi seorang jenderal mengatakan bahwa ‘saya mau bicara di depan konvensi rakyat, tidak di muka Komnas HAM’. Padahal Komnas HAM itu lembaga lidik, yang juga merupakan lembaga penegak hukum, sebagaimana dalam UU No. 26 tahun 2004. Saya tidak tahu konvensi rakyat maksud dia yang seperti apa, mungkin dia mau bikin konferensi pers sendiri,” ucap Sidarto.
Meskipun baru 10 bulan menjadi ketua MPR (sebelumnya almarhum Taufik Kiemas), Sidarto mengaku telah berupaya mengundang berbagai lembaga negara untuk bicara mengenai HAM. Tapi, karena saat ini masih suasana pemilu, ada usulan bahwa pembahasan ini perlu ditunda dulu.
Padahal, kasus ini boleh dibilang paling lengkap, karena sudah ada Rekomendasi DPR, sudah diselidiki Komnas HAM, dan sudah sampai di Kejaksaan Agung, hanya tinggal di tangan presiden untuk diproses secara hukum, dengan segera dikeluarkannya Keppres (Keputusan Presiden) peradilan untuk penghilangan paksa.
Wakil Ketua MPR, Ahmad Farhan Hamid menuturkan, sebelumnya sudah pernah membahas persoalan tersebut pada masa kepemimpinan almarhum Taufik Kiemas. Akan tetapi memang belum pernah diagendakan untuk dibawa ke forum konsultasi antar lembaga negara.
“Saya ingin usulkan pembahasan ini pada forum konsultasi berikutnya, kita bawa untuk mendapat tanggapan dari seluruh pimpinan lembaga negara,” usul Hamid.
Lebih lanjut Hamid menguraikan, semua warga negara pasti menuntut keadilan yang seluas-luasnya, sebenar-benarnya, dan tentunya pasti ada satu atau dua orang yang paling bertanggung jawab atas suatu peristiwa pelanggaran HAM. Itulah yang terus menerus dituntut publik, mengungkap secara kronologis dan terbuka agar masa depan bangsa tidak terbebani dengan kesalahan-kesalahan di masa lalu.
Editor : Bayu Probo
Otoritas Suriah Tunjuk Seorang Komandan HTS sebagai Menteri ...
DAMASKUS, SATUHARAPAN.COM-Penguasa baru Suriah telah menunjuk Murhaf Abu Qasra, seorang tokoh terkem...