Loading...
SAINS
Penulis: Diah Anggraeni Retnaningrum 15:34 WIB | Rabu, 20 November 2013

KIARA: Nelayan Korban Cuaca Ekstrem, Pembangunan, dan Kerakusan Energi Fosil

Pusat Data dan Informasi Kiara (Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan) mencatat setidaknya ada 586 nelayan tradisional hilang dan meninggal dunia di laut karena cuaca ekstrem sejak tahun 2010-Juli 2013. (foto: kiara.or.id)

BANGKOK, SATUHARAPAN.COM – Setidaknya ada 586 nelayan tradisional hilang dan meninggal dunia di laut karena cuaca ekstrem sejak tahun 2010-Juli 2013. Pada waktu yang sama, pengelolaan sumber daya ikan yang berdasar pada masyarakat, mengalami ancaman kelanjutannya akibat pembangunan berbasis daratan dan rakus energi fosil. Data ini disampaikan oleh Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (Kiara) dalam siaran persnya, Rabu (20/11). 

Kiara juga menyatakan pemerintah sering mengabaikan strategi adaptasi berbasis kearifan lokal, seperti sasi dan kesepakatan adat untuk batas laut (termasuk wilayah penangkapan) dan penguatan peran adat.

Situasi ini tidak membuat negara-negara Asia Tenggara seperti Indonesia, Thailand dan Filipina mengubah kebijakan. Menariknya, proyek pembangunan PLTU di Thailand dan Filipina berbahan bakar batu bara yang dibangun di wilayah pesisir harus mendatangkan batu bara dari Indonesia.

Hal itu diungkap pada pertemuan regional "Southeast Asia Climate Justice" (Menuju Keadilan Ekonomi dan Masyarakat Rendah Karbon di Asia Tenggara) yang diadakan oleh Thai Climate Justice Working Group (TCJ), Philippines Movement for Climate Justice (PMCJ), dan Indonesia Civil Society Forum on Climate Change (CSF)  di Bangkok, Thailand, dan diikuti oleh 50 peserta dari Indonesia, Thailand, Filipina, India, Laos, Kamboja, Vietnam, dan Burma pada Senin (18/11).

Di Indonesia, Proyek pembangunan PLTU di Batang yang menghabiskan dana Rp 30 triliun itu ditentang oleh masyarakat sekitar karena dikhawatirkan akan mengancam keberadaan sumber daya ikan atau hasil laut di Kawasan Konservasi laut Ujung Negoro dan mematikan lahan subur pertanian di tiga desa, yaitu Ponowareng, Ujungnegoro, Karanggeneng, Kabupaten Batang, Jawa Tengah.

PLTU Batang berteknologi supercritical pulverized coal plant itu merupakan satu dari proyek KPS (Kerjasama Pemerintah dan Swasta) dalam Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia (MP3EI). Dalam proyek PLTU Batang, pemerintah bekerja sama dengan pihak swasta, yakni PT Bhimasena Power Indonesia yang merupakan konsorsium beranggotakan Adaro dengan dua perusahaan asal Jepang, yakni J Power dan Itochu.

Oleh karena itu, Kiara mendesak pemerintah Indonesia dan ASEAN untuk mengutamakan perlindungan nelayan, mengembangkan alternatif energi ramah lingkungan, seperti energi arus laut, serta memperkuat peran masyarakat adat di wilayah pesisir untuk beradaptasi dengan dampak perubahan iklim. (kiara.or.id)

Editor : Bayu Probo


BPK Penabur
Gaia Cosmo Hotel
Kampus Maranatha
Back to Home