Kiat Melayani Pelanggan: Rahasia Bisnis Berkualitas
SATUHARAPAN.COM – Pada usianya yang ke-95 tahun, Harvard Business School (HBS) tetap menempatkan diri sebagai sekolah bisnis paling berpengaruh dan sukses di dunia. Setidaknya, ada tiga hal yang membuatnya begitu.
Pertama, konsistensi sekolah tersebut dalam menjaga standar mutunya yang tinggi. Kedua, menciptakan komunitas kuat dari jaringan alumninya, yang umumnya menjadi tokoh-tokoh bisnis berpengaruh di dunia.
Ketiga, nama, merek dan segala sesuatu yang melekat pada HBS sudah menjadi jaminan mutu.
Sudah begitu, nilai sumbangan (endownment) yang diterima HBS tergolong paling besar dibandingkan sekolah bisnis lainnya, mencapai angka 1,3 miliar dolar AS.
Belum puas dengan dana yang ada, pada ulang tahunnya yang ke-94 tahun, HBS meluncurkan kampanye penghimpunan dana sebesar 500 juta dolar AS hingga akhir tahun 2005, untuk mendukung program beasiswa kampus, riset global, pengembangan fakultas dan teknologi.
Dana yang berhasil dihimpun juga akan digunakan untuk merenovasi gedung perpustakaan Baker Library yang bersejarah serta bangunan asrama mahasiswa. Kampanye itu dipimpin oleh C Dick Spangler, Jr mantan mahasiswa MBA angkatan tahun 1956.
Acara peluncuran pada 21 September 2003 itu, dihadiri ratusan alumni termasuk Presiden Harvard University, Lawrence H Summers, yang adalah mantan Menteri Keuangan AS pada pemerintahan Presiden Bill Clinton.
“Apa yang dilakukan HBS dalam 20 tahun mendatang bakal lebih berarti daripada apa yang telah dilakukan dalam 20 tahun terakhir,” kata Kim B Clark, Dekan Sekolah Bisnis Harvard pada kesempatan itu, seperti dikutip dalam buku “45 Kisah Bisnis Top Pilihan”.
Sekolah Para GM
Pada tahun 1907, A Lawrence Lowell, professor yang kemudian menjadi presiden HBS, kembali melontarkan gagasan pendidikan profesional pascasarjana untuk bisnis.
Sejak berdiri tahun 1636, Universitas Harvard sudah dikenal luas memiliki sekolah hukum Harvard Law School dan sekolah kedokteran Harvard Medical School yang terhormat.
Dengan adanya fakultas baru itu, gelar master Harvad dalam bisnis akan diberikan kepada mereka yang sebelumnya telah menyandang gelar bachelor of arts atau bachelor of science. Tujuannya untuk melatih dan mendidik para pemimpin dan mencetak para spesialis.
Namun, sekolah tersebut tak berkonsentrasi pada pemasaran atau keuangan melainkan manajemen umum. HBS diciptakan untuk menjadi sekolah bagi general manager (GM).
Pada 21 September 1908, dengan 15 staf pengajar dan 24 mahasiswa penuh waktu, dibuka Graduate School of Business Administration, yang merupakan cikal bakal dari HBS.
Pada tahun 1925 berkat hibah sebesar 5 juta dolar AS dari banker George F Baker, Dekan Wallace B Donham membangun kampus dengan arsitektur neogotik di lahan bekas rawa-rawa Boston, persis di belakang Charles River dari Cambrigde dan kampus utama Harvard.
Kini kampus HBS itu terdiri atas 29 bangunan di atas tanah 60 hektare berupa perpustakaan, ruang makan besar, fasilitas olahraga, asrama, dan tempat ibadah yang lebih besar dari kampus sekolah bisnis lain.
Donham juga yang mengambil inisiatif pengajaran studi kasus Harvard yang terkenal itu. Donham sebenarnya mengadopsi ide studi kasus itu dari pendidikan di fakultas hukum. Lalu pada tahun 1992 Donham mulai menerbitkan jurnal ilmiah Harvard Business Review, yang di kemudian hari menjadi “kitab suci” bagi teori manajemen modern.
Meski begitu, sampai tahun 1950, MBA belum menjadi gelar yang bergensi. Pada tahun 1949, misalnya, dari 3.900 MBA lulusan 100 universitas di AS, hampir 700 di antaranya merupakan lulusan Harvard.
Tetapi, begitu perusahaan-perusahaan seperti Xerox, Johnson & Johnson, Capital Cities, dan Bloomingdale, mengalami booming pascaperang, lulusan MBA asal Harvard langsung melambung nilainya.
Menjadi Wirausahawan
Menurut Kim B Clark, setengah dari 60.000 lebih lulusan Harvard University yang tinggal di luar AS merupakan lulusan HBS. Kantor alumni HBS memonitor terus sekitar 66.000 lulusannya yang masih hidup.
Data yang dihimpun antara lain perjalanan karier, pendapatan, keluarga, sumbangan sosial, dan kewarganegaraan alumni. Hasilnya, lulusan HBS memperoleh penghasilan awal lebih dari 145.000 dolar AS per tahun. Angka itu jauh lebih besar daripada penghasilan alumni sekolah bisnis lainnya.
Lulusan HBS tidak sedikit yang menjadi CEO perusahaan raksasa dunia. Di antaranya Louis V Gestner, Jr yang menjadi chairman dan CEO IBM, kemudian Raymond Gilmartin CEO Merck, Arthur Martinez CEO Sears, dan Steve Kaufman CEO Arrow Electronics, perusahaan pemasok komponen elektronik senilai 7,7 miliar dolar AS yang berpusat di Melville, New York.
Kini, terjadi kecenderungan baru sekitar 40 sampai 50 persen lulusan HBS ternyata memutuskan untuk menjadi wirausahawan dengan memulai bisnis sendiri atau mengelola perusahaan-perusahaan pemula.
Setiap tahun tak kurang dari 50.000 lamaran masuk ke HBS. Dari jumlah itu sekitar 7.500 mahasiswa mengikuti tes untuk memperebutkan 880 kursi yang tersedia pada tahun 1997.
Fakultas hanya menerima 1.000 mahasiswa dan hampir 90 persen datang memenuhi panggilan. Sepuluh persen yang tak memenuhi undangan ternyata umumnya memilih bekerja, karena ada tawaran pekerjaan yang lebih baik.
HBS menyiapkan dana hingga 100 juta dolar AS untuk keperluan fellowship, di tengah meningkatnya kebutuhan terhadap bantuan finansial bagi mahasiswa.
Dana-dana tersebut akan membuat HBS tetap dikunjungi mahasiswa-mahasiswa berbakat dari berbagai penjuru dunia. Tak kurang dari 70 negara terwakili dalam Program MBA yang diselenggarakannya.
Dana yang kurang lebih sama juga akan dimanfaatkan untuk pengembangan fakultas, termasuk pembangunan Teaching and Learning Center. Tak mengherankan bila pengajar-pengajar top seperti Michael Porter, John Kotter, Rosabeth Most Kanter, dan Robert Kaplan tetap betah mengajar di HBS.
Semangat menjadi yang terdepan dari saingan terdekatnya, seperti Standford di California, Wharton School di Philadelphia, maupun Kellogg School dari Northwestern University di Chicago, Illinois, terasa benar di HBS.
Tak jarang para professor melewatkan malam hari di kantor atau asrama saat badai salju melanda. Tidak ada istilah membolos di kampus mereka.
Sebagai perbandingan, pada tahun 1997, dari 85.000 MBA lulusan 1.000 sekolah bisnis di AS, Harvard menyumbang 882 orang MBA. Sekalipun secara persentase hanya sekitar satu persen, ternyata itu adalah lulusan dari satu angkatan yang terbesar dari satu sekolah bisnis.
Produk-produk HBS pun makin berkembang, dari Harvard Business Review, penerbitan buku melalui HBS Publishing, cetak ulang studi-studi kasus, peranti lunak kursus multimedia interaktif, video, newsletter, bahan release on-line bagi para sarjana serta website di internet telah meningkatkan pendapatan HBS secara signifikan.
Upaya itu, sekaligus memudahkan akses secara instan ke HBS dari segala penjuru dunia. Tampaknya, HBS memang berkeinginan untuk tetap hidup sampai seribu tahun lagi.
Editor : Eben E. Siadari
Bebras PENABUR Challenge : Asah Kemampuan Computational Thin...
Jakarta, satuharapan.com, Dunia yang berkembang begitu cepat memiliki tantangan baru bagi generasi m...