Kinerja Polri: Pelayan dan Pengayom Yang Terlemah
SATUHARAPAN.COM – Tokoh anti diskriminasi dan apartheid, tokoh rekonsiliasi, dan pemenang hadiah nobel dari Afrika Selatan, Nelson Mandela pernah mengatakan, “Sebuah bangsa seharusnya tidak dinilai oleh bagaimana memperlakukan warga (dari golongan) tertinggi, tapi (terhadap mereka dari golongan) terendah.
Lalu hari Senin ini, di Hari Bhayangkara (1 Juli) pernyataan negarawan Afsel yang ketokohan dan keteladanannya di akui di dunia ini patut menjadi refleksi bagi Negara, dan khususnya seluruh jajaran Kepolisian Negara Republik Indonesia (Polri).
Dan refleksi itu mau tidak mau membawa kita pada pertanyaan berikut tentang bagaimana sikap negara, khususnya polisi sebagai alat negara dalam menegakkan ketertiban, hukum dan keadilan, dalam memperlakukan warga Negara kelas “atas” dan warga Negara “kelas bawah”.
Jadi, apakah negara, dan Polri telah bertindak sebagai “pelayan, pelindung, pengayom” bagi warga yang paling lemah, paling rendah, dan paling tidak berdaya, sehingga mereka mendapatkan perlakukan yang sama secara hukum dan memperoleh keadilan?
Atau sebaliknya, pengalaman warga negara dan warga masyarakat mencerminkan kecenderungan adanya angota Polri yang lebih melayani, melindungi dan mengayomi mereka dari golongan atas, yang berduit dan yang kuat?
Jawaban atas pertanyaan-pertanyaan ini merupakan cerminan performa Polri sebagai aparat negara yang bertanggung jawab sebagai penegak hukum dan keadilan. Hal ini harus menjadi refleksi bagi Polri atas berbagai kritik yang selama ini muncul dari masyarakat, khususnya di Hari Bayangkara ini.
Pengalaman Rakyat
Jawaban atas pertanyaan itu ada pada warga masyarakat, bukan pada pidato Presiden pada hari Bayangkara, bukan pada pidato Kapolri, juga bukan pada program-program yang mereka rencanakan. Juga tidak pada slogan-slogan seperti “kami siap melayani anda”, “polisi adalah pengayom rakyat”, atau “melindungi dan mengayomi masyarakat.”
Pengalaman warga masyarakat dalam berinteraksi dengan anggota polisi itulah yang riil dan nyata tentang performa Polri. Antusiasme warga masyarakat dalam melaporkan masalah-masalah hukum adalah cermin relasi yang baik antara masyarakat dan Polri. Sebaliknya sikap enggan warga masyarakat harus dilihat sebagai peringatan serius bagi Polri.
Ketertiban masyarakat adalah cerminan kinerja Polri bersama warga masyarakat sebagai masyarakat yang beradab. Oleh karena itu, tempat di mana ada anggota Polri semestinya menjadi tempat di mana ada ketertiban, hukum ditegakkan, dan keadilan dirasakan. Dan hal itu semestinya dirasakan oleh warga paling lemah.
Kasus pelanggaran hukum yang melibatkan anggota polisi adalah aib besar, dan kasus di mana ada polisi yang melindungi kriminal adalah bahaya serius bagi bangsa. Kasus kriminal besar yang tak terungkap, adalah pertanda kehancuran. Sebab, dalam situasi tersebut, polisi tidak menempatkan menjadi bagian masyarakat beradab, tetapi justru menjadi “musuh” masyarakat.
Sikap polisi, baik institusi (Polri) maupun setiap individu anggota Polri, tidak bisa tidak harus bersama warga masyarakat dengan landasan hukum dan keadilan. Tanpa itu polisi akan jauh dari warga. Polisi akan selalu gagal dalam menjalankan tugas pengekan hukum dan keadilan tanpa melibatkan masyarakat, dan sehati dengan warga masyarakat.
Oleh karena itu, pada hari Bhayangkara ini, semestinya Polri memulai langkah baru yang tegas sebagai bagian dari warga masyartakat, berada di depan dalam penegakan hukum dan keadilan. Maka, tidak bisa diabaikan munculnya kritikan tertajam bagi Polri sekarang ini kalau ada yang menyebut kasus polisi menjadi pengayom dan pelayan yang kuat dan berduit.
Bebras PENABUR Challenge : Asah Kemampuan Computational Thin...
Jakarta, satuharapan.com, Dunia yang berkembang begitu cepat memiliki tantangan baru bagi generasi m...