Kini Saatnya Kita Ikut Mengadang Teror!
Mengenang Sdr. Bayu, relawan keamanan Gereja Katolik SMTB Surabaya, yang mengadang motor pembawa bom Minggu 13 Mei 2018.
SATUHARAPAN.COM – Gereja Katolik dan GKI, dan komunitas lainnya di Surabaya, telah menjadi sarasan teroris pada Minggu pagi 13 Mei 2018. Terorisme di sini bekerja di pintu ibadah, persis di depan ruang kudus agama. Teror dengan demikian telah tampak sebagai hasrat kematian yang dilempar di depan momen khusyuk dan kehidupan orang beriman.
Maka jelaslah bagi kita: sekaranglah waktunya orang beriman, kita semua yang percaya pada kehidupan, kasih dan kekudusan, menghadang dan menghentikan kekuatan kematian dan daya negatif yang hendak menggagahi kehidupan bersama yang berketuhanan—yang tengah dipelihara rakyat dan bangsa ini.
Kemartiran/syahid Kita Kini
Kepala Badan Pembinaan Ideologi Pancasila,Yudi Latif menegaskan: ”kebiadaban terorisme menghancurkan nilai keagamaan dan nilai Pancasila. Siapa yang tak bisa hidup mulia di dunia, tak ada tempat baginya di sisi Tuhan.Teroris yang keji, hidup tak mulia, mati tak syahid. Orang-orang yang mati syahid mewariskan kebahagiaan dan kebaikan pada kehidupan. Orang yang mati pengecut tega membunuh dan bunuh diri, yang menimbulkan kesengsaraan dan keburukan bagi kehidupan”. Dengan catatan sedemikian sesungguhnya kita dibantu melihat betapa totalnya ideologi terorisme tersebut, dan betapa perlunya kita tegas dan dengan sepenuh tenaga menghadapinya.
Terorisme sedemikian total karena ia mengambil posisi mutlak yaitu melalui pendakuan keilahiannya. Dengan cara itu terorisme memang berpikir dalam kategori-kategori mutlak. Bagi kita, ia memang tampak banal dan dangkal serta biadab, tetapi karena kategori yang ditetapkannya mutlak serta gelap, maka memang ia menjadi sedemikian total. Tetapi, kita tak boleh mengambil sikap identik dengan sikapnya—terorisme berharap kita meniru dan menjadi identik dengannya. Sikap tegas kita bukan sebentuk kemarahan gelap seperti yang ia tunggu datang dari kita.
Justru kita kini, di hadapan terorisme, mesti tetap memercayai bahwa kesyahidan/kemartiran yang Tuhan minta menjadi bagian dari hidup beragama. Tentu kita tidak bisa melatih diri menjadi martir, tidak pula kita mencari-cari peluang menjadi martir. Tetapi pada momennya, kita memang tak bisa diam saja, lalu seperti domba di pembantaian hanya bisa pasif tanpa konfrontasi atas ideologi dan tindakan keji terorisme tersebut.
Tradisi agama yang klasik yaitu kemartiran ataupun kesyahidan membuat kita sadar bahwa iman, perlu nyata dalam perbuatan, berdampak historis dan nyata, dan itu berarti menolak sambil mengadang setiap upaya terorisme yanag menjadikan kematian serta kebencian sebagai realitas hidup sehari-hari.
Dalam buku Katekisasi gereja Katolik (alinea 2309, Catechism of the Catholic Church, lihat di www.catholic.com) dicatat hal ini: ”Kerusakan yang diakibatkan para perusuh pastilah lama, dan mengerikan; dan mesti ada cara untuk menghentikan itu semua, walau perlu dipastikan bahwa pemakaian senjata tidak akan mengakibatkan kengerian yang lebih besar lagi. Atas semua ini memang cara terbaik menghadapi kekuatan jahat teror ialah jalan nirkekerasan”.
Maka jalan martir/kesyahidan kita kini berarti siap mengadang terorisme dengan 2 cara: menghadapinya secara nirkekerasan, dan—seperti catatan kepala BPIP Yudi Latif di atas—menunjukkan kekuatan yang tak mau ditekuk dari kehidupan mulia di mana kebaikan dan persaudaraan nyata adanya!
Cara Mengadang
Apakah itu jalan nirkekerasan yang efektif, untuk mengadang teror? Di sini keyakinan agama mesti menjadi barikade tegas dan berkelanjutan bahwa kekerasan itu tidak boleh terjadi. Barikade tadi dapat dengan kampanye yang terus-menerus, namun juga dengan tindakan kasat mata menolak setiap permufakatan yang mau menghasut seseorang menjadi teroris. Dengan kata lain sikap masyarakat Indonesia yang selalu bergotong royong kini perlu menjadi sikap berjaga-jaga mencegah kejahatan.
Di Afrika Selatan misalnya, ada sekelompok orang muda yang memakai kaos ”damai” yang bergerak seperti ”banser” hadir dan terlatih menengahi konflik di masyarakat. Dengan kapasitas sedemekian, maka mereka dapat mengintervensi secara efektif kalau-kalau hasutan dan kebencian sedang mulai dimarakkan.
Selain cara sedemikian, maka kekuatan kemuliaan dan kebaikan hidup, juga perlu kita hadirkan. Dalam studi-studi tentang terorisme, maka sempitnya partisipasi warga masyarakat dapat menjadi penyebab munculnya mental dengki dalam dirinya, dan ia pun dapat ditarik pada sikap agresif. Banyak warga kita yang terbatas partisipasnya, karena ruang sosialnya sedemikian dibatasi hanya untuk mencari nafkah harian saja. Tiba saatnya komunitas-komunitas sosial dan agama membuka ruang-ruang kehidupan, agar makin banyak warga yang meluas partisipasinya dalam kehidupan di mana ia bisa saling bertukar informasi dan mendapat peluang perbaikan hidupnya.
Sekaranglah waktunya kita mengadang teror, dengan jalan efektif nirkekerasan!
Editor : Yoel M Indrasmoro
Rubrik ini didukung oleh PT Petrafon (www.petrafon.com )
Pemberontak Suriah: Kami Tak Mencari Konflik, Israel Tak Pun...
DAMASKUS, SATUHARAPAN.COM-Pemimpin kelompok pemberontak Islamis Suriah, Hayat Tahrir al-Sham (HTS), ...