KIP: PGI Harus Buka Laporan Keuangannya ke Publik
JAKARTA, SATUHARAPAN.COM – “Persekutuan Gereja-gereja di Indonesia harus membuka laporan keuangannya ke publik,” kata Henny S Widyaningsih, Komisioner Informasi Pusat, Selasa (26/4), setelah diskusi media “Penguatan Keterbukaan Informasi Badan Publik Non-negara”.
Diskusi tersebut dihadiri perwakilan FOINI (Freedom Of Information Network Indonesia)—dahulu Koalisi Keterbukaan Informasi Publik—koalisi yang terdiri dari berbagai lembaga non-pemerintah, termasuk di antaranya Indonesia Corruption Watch, yang mengawal ide hingga terbentuknya Undang-undang No 14/2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik. Selain FOINI, diundang juga perwakilan dari ICW yang berbagi tentang kesiapan mereka memenuhi UU No 14/2008 ini.
Selain media, juga hadir dari Majelis Ulama Indonesia, Yayasan PPPA Darul Qu'ran, Yayasan Portal Infaq, Mustolih, wakil pengurus Asosiasi Pengacara Syariah Indonesia, dan Forum Diskusi Suporter Indonesia (FDSI). Sebagian dari mereka pernah bersengketa di Komisi Informasi, baik sebagai pemohon informasi maupun sebagai termohon.
Diskusi ini adalah bagian dari sosialisasi pelaksanaan UU No 14/2008 untuk organisasi-organisasi publik non-pemerintah. Menurut Rumadi Ahmad, Komisioner Informasi Pusat bidang Advokasi, Sosialisasi, dan Edukasi setelah Undang-undang Keterbukaan Informasi Publik efektif berlaku pada 2010, Komisi Informasi lebih banyak mendorong pelaksanaan di lembaga-lembaga pemerintahan.
“Setelah lima tahun, kami kira sekarang saatnya lembaga-lembaga publik non-pemerintah juga didorong untuk melaksanakan UU ini,” kata pengajar Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatulah Jakarta ini.
Berdasarkan definisi UU, lembaga publik yang wajib melaksanakan termasuk juga organisasi massa keagamaan, “Nahdlatul Ulama, Muhammadiyah, Majelis Ulama Indonesia, contohnya,” Rumadi menegaskan. Namun, pelaksanaannya akan bertahap.
Pembicara Diskusi. (Duduk kiri ke kanan) Prof Ibnu Hamad (MUI), Agus Sunaryanto (ICW), Henny Widyaningsih (Komisioner KIP), dan Rumadi Ahmad (Komisioner KIP). (Foto: Reno Bima Yudha/KIP)
Tujuan dari UU ini adalah mewujudkan tuntutan demokrasi, peningkatan pengawasan publik untuk penyelenggaraan negara, dan mengembangkan masyarakat informasi.
Yayasan dan Lembaga Sosial
Dalam diskusi ini Komisioner ASE KIP Henny S Widyaningsih mengungkapkan, “PGI seharusnya juga diundang dalam diskusi ini.” Karena berdasarkan definisi UU, organisasi yang menyatukan 88 gereja se-Indonesia ini masuk kategori lembaga publik non-pemerintah.
Dalam Pasal 1 ayat 3 UU 14/2008 disebutkan Badan Publik adalah lembaga eksekutif, legislatif, yudikatif, dan badan lain yang fungsi dan tugas pokoknya berkaitan dengan penyelenggaraan negara, yang sebagian atau seluruh dananya bersumber dari anggaran pendapatan dan belanja negara dan/atau anggaran pendapatan dan belanja daerah, atau organisasi non-pemerintah sepanjang sebagian atau seluruh dananya bersumber dari anggaran pendapatan dan belanja negara dan/atau anggaran pendapatan dan belanja daerah, sumbangan masyarakat, dan/atau luar negeri.
Ini berarti seluruh lembaga keagamaan termasuk Konferensi Wali Gereja Indonesia, Parisada Hindu Dharma Indonesia, Perwakilan Umat Buddha Indonesia dan lembaga lain masuk kategori badan publik non-pemerintah yang wajib tunduk pada UU KIP.
Bahkan, “Perkumpulan seperti asosiasi, ketika dia meminta iuran kepada anggota dia juga bisa masuk sebagai badan publik non-pemerintah,” ujar pengajar jurusan Komunikasi Universitas Indonesia.
Menurut Henny, lembaga atau institusi dapat mendeteksi sendiri status organisasi masing-masing dengan melihat unsur-unsur dalam Pasal 1 angka 3 dan Penjelasan Pasal 16 UU KIP. Jika salah satu unsur dalam rumusan pasal tersebut terpenuhi, berarti instansi atau lembaga tersebut masuk kategori badan publik non-pemerintah. Selain itu, Pasal 3 Peraturan KIP Nomor 1 Tahun 2010 Tentang Standar Layanan Informasi Publik memerinci kriteria yang dapat dikategorikan sebagai badan publik.
Kewajiban Badan Publik
Secara dasar, kewajiban badan publik adalah menyediakan informasi publik benar, akurat, dan tidak menyesatkan. Lalu, menunjuk Pejabat Pengelola Informasi dan Dokumen. Fungsi PPID adalah melayani permohonan dari masyarakat yang hendak membutuhkan informasi.
Selain dua hal tersebut, badan publik juga harus membuat SOP layanan informasi. Menurut Rumadi, perlu ada waktu khusus untuk pendampingan pembuatan SOP layanan informasi untuk lembaga publik non-pemerintah. Kemudian kebutuhan lain adalah mengembangkan sistem informasi dan menyediakan meja layanan informasi.
Dalam diskusi tersebut, Rumadi mengakui bahwa masih sedikit Badan Publik Non-pemerintah yang melaksanakan UU KIP ini. Penyebabnya adalah minim sosialisasi keterbukaan informasi publik ke BP non-pemerintah. Terdapat ragam persepsi mengenai BP Non-Pemerintah dan informasi publik. Keterbukaan informasi publik dari BP non-pemerintah belum menjadi konsen. Tidak ada mekanisme kontrol kepada BP non-pemerintah. Dan, terkait sumber daya dan dana.
Masalah ini diselesaikan jika keterbukaan informasi menjadi kebutuhan, bukan sekadar kewajiban. Terutama organisasi publik yang menjadi sorotan banyak orang. Keterbukaan yang diharapkan terutama tentang pengelolaan keuangannya.
Apa saja informasi yang harus disediakan Badan Publik Non-Pemerintah? Menurut Pasal 16 UU KIP, Informasi Publik yang wajib disediakan oleh organisasi non-pemerintah dalam Undang-Undang ini adalah:
- asas dan tujuan;
- program dan kegiatan organisasi;
- nama, alamat, susunan kepengurusan, dan perubahannya;
- pengelolaan dan penggunaan dana yang bersumber dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara dan/atau Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah, sumbangan masyarakat, dan/atau sumber luar negeri;
- mekanisme pengambilan keputusan organisasi;
- keputusan-keputusan organisasi; dan/atau
- informasi lain yang ditetapkan oleh peraturan perundang-undangan.
Daftar Pemenang The Best FIFA 2024
JAKARTA, SATUHARAPAN.COM - Malam penganugerahan The Best FIFA Football Awards 2024 telah rampung dig...