Kisah Anak Korban Perang Yaman
SATUHARAPAN.COM – Anak-anak adalah korban paling menderita dalam peperangan. Termasuk perang di Yaman—antara kaum Houthi dan pemerintah terguling dengan dukungan negara-negara Arab. Berikut kisah Jawaher, anak perempuan umur tujuh tahun seperti dikisahkan kembali oleh UNICEF—Badan PBB untuk mendukung anak-anak.
“Saya sedang bermain dan melihat pesawat meninggalkan api di belakang. Lalu, saya mendengar bom. Saya sangat takut, pergi berlari ke ibu, dan kami semua pergi keluar dari rumah.” Walaupun tidak ada pertanyaan yang ditujukan kepadanya, Jawaher ingin menjelaskan apa yang dia telah lalui di Yaman sebelum mengungsi ke Djibouti dengan keluarganya.
Jawaher adalah salah satu dari 120 anak-anak pengungsi di kamp Markarzi di wilayah Obock di Djibouti. Jawaher bertemu ââDuta Besar UNICEF dari Inggris Eddie Izzard selama kunjungan baru-baru ini untuk menemui anak-anak pengungsi dari Yaman, negara kelahirannya.
Eddie Izzard (tengah) dan Moncef Moalla dari Unicef Djibouti (kiri) dengan pengungsi dari Yaman (kiri ke kanan) Jawaher (7), Zaid (5), Ziad (10) dan Zaiid ( 3) di kamp pengungsi Markazi , Djibouti. |
Izzard dulu dikenal sebagai pelawak tunggal di Inggris. Ia mengisi suara tokoh Reepicheep dalam The Chronicles of Narnia: Prince Caspian. Ia juga berperan dalam film Valkyrie. Ia lahir di Aden—bertetangga dengan Yaman. Ia berkunjung ke Yaman pertengahan Juli lalu.
Jawaher melarikan diri dari rumah mereka di Yaman dengan ibunya Salima, Ahmed ayahnya, dan tiga saudara laki-lakinya. Kakak perempuannya, Fatouma, 11, tetap tinggal.
“Fatouma menjaga nenek kami yang buta, untuk membantu dia dengan tugas-tugas rumah dan kami tidak sempat menjemputnya,” kata ibunya dengan suara bergetar penuh emosi. Salima kemudian terdiam menahan air matanya. Dia meletakkan tangannya ke dadanya, dan berkata dengan nada penuh harap, “Ahmed sedang berusaha mencari cara ia bisa kembali ke Yaman untuk mengambil Fatouma dan neneknya jika nenek mau meninggalkan rumahnya.”
Keluarga itu meninggalkan semua yang mereka miliki di belakang. Tapi di dalam perjalanan, ia memperoleh anggota baru, Mohamed. Salima hamil ketika mereka meninggalkan Yaman dan melahirkan selama perjalanan melarikan diri ke Djibouti. “Rahimnya mulai berkontraksi sehingga kami harus menjatuhkan jangkar ke pulau terdekat di perjalanan,” kata suaminya. “Tapi kami berangkat segera pada hari berikutnya.”
Setelah aman dan tiba di wilayah Djibouti, Salima mendapatkan semua dukungan medis yang dia perlukan. “Saya merasa sembuh sekarang,” katanya. Tapi melarikan diri dari Yaman itu tidak mudah. Perjalanan memakan waktu tiga hari, kenangan yang masih diingat jelas oleh Zaid, adik Jawaher. “Ada gelombang,” katanya. “Saya tidak bisa berenang, saya sangat takut ... saya tidak bisa tidur di malam hari.”
Bayi Mohamed baru lahir terlelap damai terlindung dalam buaian yang secara kreatif dibuat dari sepotong kain yang digantungkan pada tiang besi. Sesekali, salah satu saudara-saudaranya menggoyang-goyang buaian itu. Ketika Jawaher mengetahui Mohamed terbangun, ia menggendongnya penuh kelembutan. Dan, Jawaher duduk di lantai memeluk si bayi seperti dia melihat ibunya melakukan.
Jawaher berbicara tentang perang. “Setiap hari ada pesawat dan bom,” katanya. “Itu adalah perang”. Dia merindukan kehidupan lamanya. “Saya tidak punya tempat untuk tidur.” Katanya tentang hidupnya di Djibouti. Matras plastik tidak cukup untuk menyamarkan kasarnya ubin di kamp pengungsi.
Sebelum perang, Jawaher hidup di desa dekat Hodeida, di Yaman. Ia terdaftar di kelas 1 di Madrasah. Jawaher ingin kembali ke sekolah untuk belajar dan menjadi seorang guru. Atau, mungkin dokter— dia masih belum memutuskannya. Tapi ada satu hal Jawaher benar-benar yakini: “Saya ingin kembali ke negara saya,” katanya. “Saya ingin tinggal di sana dan mati di sana.” (unicef)
Ikuti berita kami di Facebook
Korban Pelecehan Desak Vatikan Globalkan Kebijakan Tanpa Tol...
ROMA, SATUHARAPAN.COM-Korban pelecehan seksual oleh pastor Katolik mendesak Vatikan pada hari Senin ...