Kisah Kekristenan di Korea Utara
SATUHARAPAN.COM – Pastor John Park dari Misi Hati Suci Korea Selatan adalah tamu reguler di Gereja Changchung di Pyongyang, Korea Utara. Kedatangannya disambut hangat di gereja Katolik yang diakui di Pyongyang sejak 2000.
Namun, itu bukan perjalanan yang mudah, di negara yang terkenal sangat tertutup. KJ Kwon dan Paula Hancock dari CNN melaporkan, orang-orang seperti Pastor John Park pernah disebut sebagai “mata-mata Vatikan”.
"Ketika kami pertama kali tiba di Gereja Changchung, umat di dalam gereja langsung keluar, berlari menghambur ke arah seorang biarawati yang datang bersama saya, dan tangis mereka meledak," kata Pastor Park, "Orang-orang itu mengaku sudah 50 tahun tidak pernah melihat biarawati. Saat itulah saya mengetahui mereka penganut agama sejati."
Sebagai seorang Kristen, dia berharap sikap terhadap misionaris akan berubah di Korea Utara.
Sejak lama Korea Utara dituduh menganiaya pemeluk agama. Amerika Serikat menyebutkan walaupun ada gereja, gereja itu dikontrol negara, dan hanya memberikan kebebasan beragama semu.
“Gereja Bisu”
Gereja Katolik di Pyongyang dikenal sebagai "gereja bisu", gereja yang diam, tidak memiliki hubungan dengan Vatikan, dan tidak ada satu pun imam di negara itu. Ada kontrol ketat atas apa yang diizinkan. Proses keagamaan seperti pengakuan, tak pernah dikenal.
Percakapan pribadi, satu lawan satu apalagi dengan orang Korea Selatan, bahkan jika orang itu adalah seorang imam, sangat tidak mungkin di Korea Utara. Keduanya bahkan bisa dituduh mata-mata.
Pada 1970-an, Pyongyang membanggakan diri dan bersikeras menyebut diri negara itu "bebas dari takhayul agama", seperti dikemukakan Ministry Unification dari Korea Selatan. Rezim tertutup itu secara resmi ateis.
Tetapi, tanpa alasan yang jelas, pihak berwenang di Korea Utara membangun sejumlah gereja dan kapel pada akhir 1980-an. Semua di bawah kontrol sangat ketat dari pemerintah. Gereja Katolik Changchung adalah salah satu dari gereja-gereja itu.
Pastor Park lalu memimpin misa setiap tahun, di tengah-tengah bermunculan kritik bahwa umat yang ada mungkin saja bukan benar-benar umat gereja. "Umat palsu", begitu dituduhkan.
Namun, selama 14 tahun perjalanan ke Korea Utara, menurut pengakuannya, dia berinteraksi dengan banyak umat dan Pastor Park percaya mereka benar-benar umat. Dia ingat satu orang, yang hanya dia kenal sebagai "Mr Cha", yang meninggal empat tahun lalu.“Mr Cha adalah warga percaya sejak sebelum Perang Korea dan sejak kecil bermimpi bisa menjadi imam. Dia tinggal seorang diri, menanti kesempatan baik untuk pergi ke Tiongkok atau Roma, untuk bisa menjadi seorang imam."
Pada 1945, umat Katolik di Korea Utara diperkirakan berjumlah 50.000 orang menurut Konferensi Waligereja Korea (South Korean Catholic Bishops Conference of Korea, CBCK). Sekitar 20.000 diyakini telah membelot ke Tiongkok sebelum pendudukan Jepang di Semenanjung Korea yang panjang dan berakhir pada akhir Perang Dunia II. Ada sekitar 300 imam asing dan lokal di Korea Utara selama ini, yang menurut CBCK sebagian besar “hilang”, dieksekusi atau meninggal di penjara.
Gereja yang Menua
Saat ini, kekristenan tampaknya menjadi tantangan ideologi paling berbahaya bagi rezim yang berkuasa.
Banyak pengikut di Gereja Changchung dibaptis sebelum Perang Korea (1950-1953), dan banyak di antara mereka yang sudah meninggal, kata Pastor Park. Ia yakin jumlah umat menurun sekitar 150-100 orang sejak tahun 2000.
"Banyak yang sakit-sakitan dan jika pengikut dari generasi tua mati, keadaan akan berbeda lagi. Mungkin tidak terlalu banyak pengikut di Korea Utara, tapi kami tetap harus membantu membuka pikiran dan mendukung mereka," kata Pastor Park. "Seperti pola pikir seorang gembala, kita harus memperlakukan mereka dengan hati yang hangat," tambahnya.
Asosiasi Katolik Korea, yang berada di bawah kontrol Korea Utara, mengklaim masih memiliki 3.000 umat “Katolik terdaftar”, sementara PBB menyebutkan jumlahnya hanya 800.
Namun demikian, anggota kelompok agama, serta kelompok-kelompok itu sering dikritik sebagai pengikut agama palsu. "Pemerintah Korea Utara cukup toleran terhadap kehadiran pengikut agama dalam jumlah kecil," kata Andrei Lankov, profesor dalam ilmu sosial di Kookmin University di Korea Selatan.
"Bahkan jika ada beberapa anggota yang benar-benar percaya, mereka berarti dipilih pemerintah. Pihak berwenang polisi, polisi rahasia, memeriksa latar belakangnya," katanya.
Konstitusi Korea Utara tidak memungkinkan orang mempraktikkan agama. Dalam konstitusi yang sama, juga mengatakan agama tidak akan dibiarkan "digunakan untuk menarik pasukan asing, atau untuk merugikan negara, atau juga tatanan sosial."
"Dari sudut pandang Korea Utara, itu adalah ancaman yang sangat nyata. Sekarang, kekristenan tampaknya menjadi tantangan ideologi paling berbahaya ideologi bagi rezim yang berkuasa," kata Lankov. (cnn.com)
Otoritas Suriah Tunjuk Seorang Komandan HTS sebagai Menteri ...
DAMASKUS, SATUHARAPAN.COM-Penguasa baru Suriah telah menunjuk Murhaf Abu Qasra, seorang tokoh terkem...