Kita Kehilangan Kemampuan Mengatasi Konflik?
SATUHARAPAN.COM - Indonesia sekarang dalam sorotan dunia, dan sayangnya tentang hal yang buruk dan tidak menyenangkan. Sorotan itu membuat Indonesia dipermalukan, apalagi isunya hal yang sama selama bertahun-tahun.
Namun yang paling memprihatikan, dalam menyikapi hal tersebut, kecenderungannya memperkuat kemampuan sebagai “tukang mencari alasan” ketimbang kemampuan sebagai penyelesai masalah. Hal itu menjadikan bangsa kita kehilangan kemampuan dasar kehidupan bersosial, yaitu kemampuan menyelesaikan masalah dengan cara yang damai dan lestari.
Isu yang hangat adalah masalah “asap tahunan” yang dihasilkan dari pembukaan lahan dan tersebar sampai negara tetangga. Kedua soal laporan pemerintah Amerika Serikat yang menyebutkan Indonesia gagal menjamin kebebasan beragama.
Tentang asap, pemerintah cenderung mengelak, bahkan belum ada upaya yang konkret. Menteri Lingkungan Hidup, Balthasar Kambuaya lebih suka menuding sembilan perusahaan Malaysia yang terkait. Jika benar perusahaan itu milik warga Malaysia, pemerintah bisa bertindak tegas. Mereka beroperasi di Indonesia, di wilayah hukum Indonesia. Kalau memang terlibat, mengapa pemerintah Indonesia tidak menggunakan hukum Indonsia untuk menyelesaikannya?
Soal, kebebasan beragama, pemerintah cenderung mengecilkan laporan itu bahkan lebih suka menyebut negara lain juga menghadapi hal yang sama atau tidak ada negara yang bebas dari masalah tersebut. Berhenti di situ, dan masalah diskriminasi atas dasar keyakinan, kasus penutupan gereja, pengungsi Muslim Ahmadiayah, serta Muslim Syiah tidak pernah ada upaya nyata untuk menyelesaikan dengan tuntas.
Masalah lain yang telah menjadi kronis adalah harga bahan bakar minyak (BBM). Indonesia terus dirundung masalah transparansi biaya produksi, pembelian yang melibatkan pihak ketiga, penyelundupan BBM bersubsidi, serta kelangkaan BBM di berbagai daerah. Ketika harga dinaikkan bantuan untuk rakyat miskin selalu berhadapan dengan masalah penyimpangan. Cerita ini kemungkinan akan marak lagi.
Belum lagi masalah korupsi, narkotika, bahkan perdagangan narkotika dan bisnis kriminal yang dikendalikan dari dalam penjara. Serta masalah-masalah transportasi, dan intrafstruiktur dan pelayanan publik yang terus “konsisten” buruk. .
Motivasi Kekuasaan
Mengapa kita kehilangan kemampuan menyelesaikan masalah? Motivasi tentang hal ini nyaris hilang, dan dipandang tidak penting. Mereka yang ingin menduduki jabatan di pemerintahan tidak dalam motivasi menjadi pemimpin yang menawarkan solusi bagi masalah yang dihadapi rakyat. Mereka lebih didorong oleh ketamakan untuk berkuasa. Citra figur dengan kemampuan menyelesaikan masalah nyaris tidak muncul darlam kampanye.
Motivasi ini juga yang membuat tidak ada prioritas pengembangan kapasitas yang relevan untuk menyelesaikan konflik atau masalah, yaitu mengindentifikasi potensi masalah, memetakan masalah dengan baik, mencari solusi yang damai dan terbaik, serta melaksanakan proses penyelesaian masalah secara damai. Tidak ada upaya yang nyata dalam pemerintahan untuk membangun diri sebagai institusi yang handal dengan kapasitas tersebut.
Figur dengan motivasi berkuasa ini justru dimudahkan ketika rakyat terus dirundung masalah, sehingga mudah dikuasai. Bahkan indikasinya memperlihatkan banyak kasus dan masalah diciptakan untuk kepentingan kekuasaan, termasuk masalah kebebasan beragama. Rakyat mencium bau tajam ini, karena seringnya menyaksikan sikap aparat negara menjadikan rakyat dari kelompok berbeda diposisikan untuk berhadapan.
Sementara itu, solusi-solusin yang sering disebutkan oleh pemerintah sebagai yang paling benar adalah yang mendukung kepentingan kekuasaan, bukan kepentingan negara. Pemerintah lebih sering mengembangkan kemampuan mengelabuhi rakyat; menyebutkan kepentingan negara, padahal yang ada adalah kepentingan kelompok dan kekuasaan.
Munculnya banyak demonstrasi dan pengerahan massa untuk menekan pihak lain adalah cerminan kemacetan dialog. Maraknya aksi ini juga indikasi kita kehilangan kemampuan berdialog, dan berbagai keputusan dikendalikan oleh kekuatan massa yang sering "tidak rasional." Padahal, kemampuan dialog adalah modal dasar dalam menyelesaikan masalah dan konflik.
Rakyat Dikelabuhi
Munculnya figure-figur di pemerintahan yang miskin kemampuan dan kemauan mengatasi masalah, bahkan berkecenderungan mengunanakan masalah, perbedaan dan konflik sebagai jalan memperoleh kekuasaan, dikontribusi juga oleh rakyat. Dalam hal ini rakyat telah salah memilih. Wakil rakyat hasil salah pilih ini juga menghasilkan pejabat-pejabat yang performanya jauh dari kepentingan rakyat dan negara. Namun kita tidak bisa menyalahkan “kebodohan” rakyat, karena mereka terlalu lama “dikelabuhi.”
Oleh karena itu, situasi Indonesia sekarang haruslah menjadi pijakan untuk proses refleksi kebangsaan, terutama di pemerintahan, yang diharapkan menampilkan sosok pemimpin, bukan penguasa; sosok yang menyelesaikan masalah, bukan “jago” memanfaatkan masalah. Kesadaran untuk mengembangkan kapasitas mengatasi perbedaan, menyelesaikan masalah dan konflik secara damai dan lestari harus menjadi prioritas.
Siapapun yang memposisikan diri sebagai elite bangsa ini, haruslah tergerak pada panggilan ini.
Prasasti Batu Tertua Bertuliskan Sepuluh Perintah Tuhan Terj...
NEW YORK, SATUHARAPAN.COM-Prasasti batu tertua yang diketahui yang bertuliskan Sepuluh Perintah Tuha...