Koalisi Masyarakat Sipil Desak Pemerintah Lepaskan Batu Bara
JAKARTA, SATUHARAPAN.COM - Greenpeace, Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi), Jaringan Advokasi Tambang (Jatam), yang tergabung dalam Koalisi Break Free, mendesak Pemerintah Indonesia untuk meninggalkan batubara dan segera beralih ke energi terbarukan.
Koalisi itu, dalam rilis yang disampaikan pada Senin (9/5), seperti dikutip dari situs greenpeace.org, menilai, pembangunan sejumlah PLTU dan perluasan tambang batubara di bawah 35.000 MW tidak memperhatikan dampak sosial dan lingkungan yang serius.
Saat ini, 42 PLTU yang sudah beroperasi di Indonesia telah menghasilkan polusi udara yang mengeluarkan polutan-polutan berbahaya seperti PM 2.5, merkuri serta arsenik. Belum lagi ditambah dengan kerusakan bentang alam akibat perluasan tambang batubara di konsesi-konsesi tambang di Kalimantan dan daerah lain di seluruh Indonesia. Proyek 35000 MW, akan meluaskan pembongkaran dan penghancuran kawasan hutan dan lindung, tidak akan sesuai dengan rencana moratorium lahan untuk tambang yang disebut Presiden Jokowi beberapa waktu lalu.
Partikulat-partikulat berbahaya seperti PM 2.5 dan PM 10 yang berasal dari pembakaran batubara dapat menyebar hingga radius 500-1.000 km dari lokasi PLTU berada. Meskipun pada sebuah wilayah atau kota tidak terdapat PLTU batubara, bahaya dari partikulat berbahaya ini akan tetap mengancam warga yang hidup di kota tersebut.
Khalisah Khalid, Juru Bicara Eksekutif Nasional Walhi, mengatakan, "Ekspansi industri batubara untuk kepentingan ekspor dan industri telah membuat ketergantungan terhadap energi kotor semakin akut. Padahal sumber energi bersih terbarukan melimpah dan jauh lebih bisa diakses oleh rakyat. Dengan semakin meningkat dan masifnya bencana ekologis, kita tidak memiliki waktu yang lebih lama, khususnya bagi pemerintah untuk segera memutuskan beralih dari energi kotor batubara ke energi bersih dan terbarukan, demi generasi hari ini dan akan datang."
Sementara dari Jatam, Hendrik Siregar, berkata, “Perubahan mendasar harus segera dilakukan, kebijakan energi nasional (KEN) dan target ratio elektrifikasi yang berpondasi pada energi fosil, harus diganti sebagai bukti komitmen pemerintah terhadap perubahan iklim yang makin ekstrem, proyek fast track - proyek 10 GW tahap 1 dan 2, dan masih berlanjut - 35 GW hanya menguntungkan pihak yang menghancurkan lingkungan, untuk menggali batubara dan mengebor migas, di kemudian hari pemerintah dan rakyat yang menanggung masalah. Energi terbarukan harus menjadi prioritas dan bisnis utama dalam mengejar target rasio elektrifikasi dan pertumbuhan ekonomi.”
Kepala Greenpeace Indonesia, Longgena Ginting, menyampaikan, “Dengan ancaman mematikan perubahan iklim, kita tidak punya kemewahan waktu untuk berlama-lama menggunakan energi fosil yang kotor ke energi bersih terbarukan. Pemerintah harus membuat target yang lebih ambisius dan membangun proses transisi yang adi luntuk segera beralih menuju energi bersih terbarukan.”
Indonesia seharusnya tidak meniru model pembangunan Tiongkok dan India, dua negara yang saat ini harus menghadapi tingkat polusi udara yang sangat parah dan berbahaya bagi kesehatan rakyatnya karena kebergantungan dua negara tersebut yang sangat tinggi pada batubara.
Editor : Sotyati
Film Mufasa: The Lion King Tayang di Bioskop
JAKARTA, SATUHARAPAN.COM - Menyambut masa liburan akhir tahun, The Walt Disney Studios merilis film ...