Koalisi Transisi Perkotaan: Kota, Kunci Redam Dampak Perubahan Iklim
AFRIKA SELATAN, SATUHARAPAN.COM – Kota-kota bisa membuat komitmen untuk menanam lebih banyak pohon, melarang kendaraan emisi tinggi dan beralih ke energi terbarukan, karena kawasan perkotaan akan memainkan peran kunci dan menjadi pusat dalam upaya mengatasi krisis iklim, kata laporan terbaru Coalition for Urban Transition, CUT. Itulah pesan penting laporan CUT yang dirilis hari Kamis (19/9).
"Pertempuran untuk (menyelamatkan) planet kita akan dimenangkan atau dikalahkan di kota-kota," kata laporan Koalisi Transisi Perkotaan itu. Karena kawasan perkotaan bertanggung jawab atas sekitar 75 persen dari total emisi karbon dunia.
Untuk meredam dampak krisis perubahan iklim, kota-kota harus bisa mencapai target nol emisi sampai tahun 2050, demi membatasi pemanasan global hingga 1,5 derajat celsius.
Laporan CUT yang disusun oleh lebih dari 50 organisasi, termasuk World Resources Institute (WIR) dan jaringan C40 Cities, menunjukkan bahwa rencana pembangunan ekonomi dan sosial yang ramah iklim tidak hanya akan membantu mengurangi emisi, tetapi juga "meningkatkan kemakmuran (dan), membuat kota menjadi tempat yang lebih baik untuk hidup.”
"Ini menunjukkan bahwa sudah seharusnya menggunakan teknologi dan praktik yang teruji, untuk mengurangi emisi dari daerah perkotaan hingga 90 persen pada tahun 2050, dengan teknologi dan praktik yang sudah kita miliki," kata Sarah Colenbrander, penulis utama laporan CUT.
Pemotongan 90 persen itu akan menghasilkan lebih dari setengah pengurangan karbon yang diperlukan dunia, dan pada saat yang sama menciptakan "tempat-tempat di mana orang lebih sehat dan lebih produktif."
Laporan CUT menunjukkan, berbagai inisiatif yang saat ini sudah dilakukan oleh berbagai kota dengan membangun infrastruktur dan kebijakan perkotaan yang berkelanjutan. Misalnya dengan menghilangkan subsidi bahan bakar fosil dan mendukung alat transportasi alternatif.
Selain itu, kota-kota bisa mengembangkan strategi untuk mempromosikan pertumbuhan ekonomi dan sosial, serta industri yang rendah karbon, sambil mengembangkan rencana transisi bagi pekerja dan industri berbasis bahan bakar fosil. Kota-kota juga bisa mengembangkan cara pembangunan dan konstruksi alternatif lebih ramah lingkungan, daripada menggunakan baja dan beton.
Kebijakan Kota Ramah Iklim yang Sudah Berjalan
Laporan CUT memberikan banyak contoh kota dan daerah yang telah menerapkan prinsip pembangunan rendah karbon, sekaligus menerapkan sistem partisipatif dan kebijakan, untuk memberantas kemiskinan dan mengurangi ketidaksetaraan.
Medellin di Kolumbia misalnya, yang puluhan tahun dikenal sebagai pusat perdagangan narkoba dan dijuluki "kota paling mematikan di dunia," sekarang menawarkan standar hidup yang lebih tinggi berkat rencana pembangunan kota yang ramah lingkungan. Antara lain dengan meningkatkan moda transporasi yang sudah lama ditinggalkan, yaitu kereta gantung yang menghubungkan daerah-daerah miskin kota. Angkutan umum inovatif ini sekarang mengangkut 256 juta penumpang per tahun.
Kota Indore di India, berubah dari kota kabut asap dan sampah kotoran manusia di jalan-jalan pada tahun 2016, dan menjadi kota paling bersih di India tahun 2018. Perubahan dramatis itu berkat proyek-proyek pengelolaan limbah yang ambisius, yang didanai oleh sektor publik dan swasta secara bersama-sama, serta perubahan peraturan di tingkat nasional.
Di Jerman, transisi ke energi terbarukan selama dua dekade terakhir -dari 6 persen produksi listrik alternatif pada 2000 menjadi 38 persen pada 2018, menghasilkan ratusan ribu lowongan kerja baru, lewat berbagai proyek kemitraan antara pemerintah federal dan pemerintah kota serta inisiatif energi oleh warga.
Menantikan Impuls dari Pertemuan Aksi Iklim PBB
Salah satu masalah utama yang akan dibahas pada KTT Aksi Iklim PBB minggu depan di New York adalah, bagaimana dunia dapat mewujudkan "transformasi ekonomi yang sejalan dengan tujuan pembangunan berkelanjutan." Dalam laporannya, CUT mengatakan bahwa kota-kota akan memainkan peran kunci untuk berkontribusi pada perubahan ini.
"(KTT Iklim PBB), adalah waktu bagi pemerintahan nasional untuk menunjukkan kepemimpinan mereka dan merebut peluang kawasan perkotaan," menurut laporan itu. Dengan negara-negara meningkatkan upaya mereka untuk mengurangi emisi karbon menjelang Konferensi Perubahan Iklim COP26 akhir 2020," sangat penting bahwa kota berada di jantung prioritas ekonomi dan pembangunan rendah karbon."
CUT memperingatkan bahwa 15 bulan ke depan akan menjadi "masa-masa kritis dalam mengatasi krisis iklim." Para pemimpin dunia akan berkumpul tahun 2020, untuk mengintensifkan sasaran dan target iklim mereka dalam upaya mengurangi emisi gas rumah kaca sampai 45 persen selama dekade berikutnya. (dw.com)
Bebras PENABUR Challenge : Asah Kemampuan Computational Thin...
Jakarta, satuharapan.com, Dunia yang berkembang begitu cepat memiliki tantangan baru bagi generasi m...