Koko Jali Galang Amal COVID-19 Secara Virtual
JAKARTA, SATUHARAPAN.COM – Komunitas Koko Jali Indonesia menggalang amal secara virtual pada hari Senin (18/5) untuk memberikan dukungan kepada sejumlah pendamping dan anak-anak binaan Yayasan Rawinala yang dinyatakan positif COVID-19.
“Pegi nge'besan ke rumah mpok Umi... / Bebawaan roti buaya... / Koko Jali komunitas kami... / Ragam cerita, ragam budaya...,” demikian bunyi pantun dari Koko Jali saat membuka acara virtual itu, Senin (18/5) melalui aplikasi Zoom.
Penyelenggara “Virtual tour charity For Foundation Rawinala”, Max Andrew Ohandi, mengatakan bahwa latar belakang diadakan kegiatan tersebut sebagai bentuk empati Komunitas Koko Jali dalam memberikan dukungan terhadap Yayasan Rawinala.
“Beberapa anak dan kakak pendamping Yayasan Rawinala dinyatakan positif COVID-19. Dari situ ide tersebut dikolaborasikan dengan cerita nilai kemanusiaan sejarah pandemi,” kata Founder Koko Jali dalam keterangan resminya kepada satuharapan.com, hari Selasa (19/5).
Menurut Max, dengan belajar sejarah pandemi diharapkan bangsa Indonesia dapat mengambil langkah-langkah kebijakan relevan dan tepat guna dalam menghadapi pandemi COVID-19. Sementara itu terkait cerita dari Yayasan Rawinala diharapkan memberikan harapan bagi bangsa Indonesia untuk menang melawan COVID-19.
"Melalui ‘virtual tour charity’ kita memberikan harapan kepada bangsa Indonesia untuk dapat menang melawan wabah COVID-19. Salah satu buktinya berdasarkan cerita sejarah pandemi pada masa lalu dan juga pengalaman dari para adik-adik dan kakak pendamping Rawinala yang berhasil sembuh dari COVID-19," kata Max, sapaan akrabnya.
Dalam kesempatan itu, peneliti sejarah, Syerfi Luwis, menceritakan adanya nilai kemanusiaan di dalam sejarah pandemi Indonesia. Menurutnya, salah satu dampak positif dari wabah Influenza pada tahun 1918 yaitu majunya pengobatan tradisional.
“Ada kesadaran seni yang dipakai sebagai alat mengingatkan masyarakat untuk hidup sehat. Meskipun ada hal-hal kebijakan dan kecerobohan di masa lalu yang tidak perlu diulang lagi oleh bangsa Indonesia pada masa kini dalam menangani wabah COVID-19,” kata Syerfi.
Syerfi menambahkan bahwa belajar sejarah bukan hal yang kuno, tetapi belajar sejarah merupakan kemajuan.
Sementara itu, Mazmur Aeschelus Gibrany Sihite dari Yayasan Rawinala, mengatakan bahwa tunaganda memiliki kombinasi kelainan (baik dua jenis kelainan atau lebih) yang menyebabkan adanya masalah pendidikan yang serius.
“Mereka tidak hanya dapat diatasi dengan satu program pendidikan khusus untuk satu kelainan saja, melainkan harus didekati dengan variasi program pendidikan sesuai kelainan yang dimiliki,” kata Mazmur, aktivis difabel.
Saat ini Yayasan Rawinala melayani pendidikan dan pengasuhan (asrama) bagi anak-anak tunanetra majemuk dengan hambatan utama pada mata (total/ low vision ) diikuti dengan hambatan lain.
“Bisa dibayangkan begitu mulia hati para pengurus dan relawan dalam mendamping anak-anak tunaganda. Apalagi ada berapa anak tunaganda terinfeksi virus COVID-19 dan berapa pendampingnya ikut tertular. Tetapi hal tersebut tidak membuat gemetar para pengurus dan relawan meskipun dalam memberikan pelayanan terbaik bagi anak-anak Rawinala,” kata Mazmur.
Mazmur mengatakan tantang terberat mereka yaitu wabah baru pertama kali terjadi selama sejarah Yayasan Rawinala. Wabah yang Tuhan izinkan kepada Rawinala itu bernama virus COVID-19 yang cukup menakutkan dan mudah tertular.
“Pada hari biasa, kami mendampingi anak-anak Rawinala dengan penuh ekstra. Sekarang ini menjadi lebih ekstra lagi saat wabah COVID-19. Hal itu sangat luar biasa bagi kami, kami seperti mendapatkan kekuatan super dari para sahabat, tetangga, keluarga yang tidak mengucilkan kami. Malah memberikan dukungan baik dalam bentuk dana, tenaga, dan doa,” kata Kak Mazmur sapaan akrabnya.
Sebelum Mazmur Aeschelus Gibrany Sihite bercerita dalam acara amal virtual itu, Koko Jali memberikan kejutan kue tart untuk yayasan Rawinala yang berulang tahun pada tanggal 10 Mei lalu. Perayaan tiup lilin dilakukan secara virtual itu sebagai bentuk syukur kepada Tuhan buat Rawinala yang selalu gigih berjuang sejak tahun 1973 sampai sekarang.
“Kue tart pun dibagikan kepada warga untuk menikmatinya,” kata Max.
Rawinala sendiri dari bahasa Jawa kuno yang berarti cahaya hati. Kehadiran Yayasan Rawinala untuk memberikan harapan anak-anak Kebutuhan khusus tunaganda.
“Puji Tuhan situasi terakhir dari anak dan pendamping yang positif COVID-19 sudah pada pulih dan melewati masa karantinanya dengan baik. Harapan dan himkat dari cerita Kak Mazmur itu, kita bisa menang melawan COVID-19 jika semua pihak gotong royong membantu,” kata Max. (PR)
Albania akan Blokir TikTok Setahun
JAKARTA, SATUHARAPAN.COM - Pemerintah Albania menyatakan akan memblokir media sosial TikTok selama s...