Komisi III DPR Bentuk Tim Khusus “Salim Kancil”
JAKARTA, SATUHARAPAN.COM – Komisi III Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR RI) membentuk tim khusus atas kasus pembunuhan aktivis yang juga petani penolak tambang pasir, Salim Kancil, di Kabupaten Lumajang, Provinsi Jawa Timur.
Ketua Komisi III DPR, Aziz Syamsuddin, mengatakan tim khusus tersebut nantinya akan langsung turun ke Lumajang, daerah tempat Salim Kancil dianiaya hingga meninggal dunia.
"Komisi III dalam rapat pleno (telah) bentuk tim untuk turun ke Lumajang, untuk melihat dan mendengar masukan langsung dari Jawa Timur," kata Aziz di Kompleks Parlemen Senayan, Jakarta, hari Rabu (30/9).
Menurut dia, tim khusus tersebut dijadwalkan akan berangkat ke Kabupaten Lumajang pada minggu ini. Tim khusus tersebut, diisi oleh perwakilan dari 10 fraksi di Komisi III DPR RI.
Nantinya, kata Aziz, hasil data yang didapat dari Lumajang akan diplenokan lagi oleh Komisi III guna membantu pihak kepolisian mengusut tuntas kasus tersebut. "Kita sedang urus surat keberangkatan," ucap politikus Partai Golongan Karya (Golkar) itu.
Aziz juga menyampaikan, pihaknya akan mencari data-data tambang berkaitan dengan pembunuhan Salim Kancil yang disebut-sebut menolak penambangan pasir di wilayahnya.
"Ini soal tambang, kalau ditemukan tambang itu ilegal, ya harus diusut. Bahkan kejadian ini adalah ekses dari tambang itu. Makanya kita akan dengar masukan dari masyarakat dan koordinasi dengan aparat hukum di sana," tutur Aziz.
Kasus Salim Kancil
Kekerasan terhadap pejuang pembela keselamatan lingkungan kembali terjadi. Pada hari Sabtu (26/9), dua warga Desa Selok Awar-Awar yang dikenal sebagai aktivis penolak tambang pasir yang tergabung dalam Forum Komunikasi Masyarakat Peduli Desa Selok Awar-Awar, Kecamatan Pasirian, Kabupaten Lumajang, diambil paksa dari rumah. Kemudian, dianiaya oleh kurang lebih 40 orang hingga mengakibatkan satu orang meninggal dan satu orang terluka parah.
Tosan didatangi segerombolan orang pada sekitar pukul 07.30 WIB. Kurang lebih 40 orang dengan menggunakan kendaraan bermotor mendatangi rumah Tosan dengan membawa pentungan kayu, pacul, celurit, dan batu. Tanpa banyak bicara mereka lalu menghajar Tosan di rumahnya, Tosan berusaha menyelamatkan diri dengan menggunakan sepeda namun segera bisa dikejar oleh gerombolan itu.
Kemudian, Tosan ditabrak dengan motor di lapangan, tak jauh dari rumahnya. Tak berhenti di situ, gerombolan ini kembali mengeroyok Tosan dengan berbagai senjata yang mereka bawa sebelumnya. Tosan bahkan ditelentangkan di tengah lapangan dan dilindas motor berkali-kali. Gerombolan itu menghentikan aksinya dan pergi meninggalkan Tosan setelah satu orang warga bernama Ridwan datang dan melerai.
Setelah selesai menghajar Tosan, gerombolan itu mengalihkan tujuan menuju rumah Salim. Saat itu Salim sedang menggendong cucunya yang baru berusia 5 tahun. Mengetahui ada yang datang berbondong-bondong dan menunjukkan gelagat tidak baik Salim membawa cucunya masuk. Gerombolan tersebut langsung menangkap Salim dan mengikat dia dengan tali yang sudah disiapkan.
Mereka kemudian menyeret Salim dan membawanya menuju Balai Desa Selok Awar-Awar yang berjarak dua kilometer dari rumahnya.
Sepanjang perjalanan menuju Balai Desa, kata Fatkhul, gerombolan itu terus menghajar Salim dengan senjata-senjata yang mereka bawa disaksikan warga yang ketakutan dengan aksi itu.
“Di Balai Desa, tanpa mengindahkan masih ada banyak anak-anak yang sedang mengikuti pelajaran di PAUD (Pendidikan Anak Usia Dini), gerombolan itu menyeret Salim masuk dan terus menghajarnya. Di Balai desa, gerombolan itu sudah menyiapkan alat setrum yang kemudian dipakai untuk menyetrum Salim berkali-kali,” kata dia.
Tak berhenti sampai di situ, kata Fatkhul, mereka juga membawa gergaji dan dipakai untuk menggorok leher Salim. Namun, ajaibnya hampir semua siksaan dengan benda tajam yang ditujukan ke tubuh Salim seolah tidak mempan. Melihat kenyataan Salim tidak bisa dilukai dengan benda tajam dan keadaan balai desa yang masih ramai, gerombolan tersebut kemudian membawa Salim yang masih dalam keadaan terikat melewati jalan kampung menuju arah makam yang lebih sepi.
“Di tempat ini mereka kemudian mencoba lagi menyerang Salim dengan berbagai senjata yang mereka bawa. Baru setelah gerombolan ini memakai batu untuk memukul, Salim ambruk ke tanah. Mendapati itu, mereka kemudian memukulkan batu berkali-kali ke kepala Salim. Di tempat inilah kemudian Salim meninggal dengan posisi tertelungkup dengan kayu dan batu berserakan di sekitarnya,” kata dia.
Menurut dia, kekerasan yang terjadi di desa Selok Awar-Awar, Kecamatan Pasirian, Kabupaten Lumajang itu semakin menegaskan bahwa perlindungan terhadap warga yang berjuang mempertahankan lingkungan dan ruang hidupnya belum terjamin di negeri ini.
“Sebelum peristiwa penyerangan yang menyebabkan tewasnya Salim, Forum Komunikasi Masyarakat Peduli Desa Selok Awar-Awar, Kecamatan Pasirian, Kabupaten Lumajang, sudah mengadukan ancaman yang dialamatkan kepada mereka. Pada 11 September 2015, Forum sudah melaporkan secara resmi ancaman kepada Tosan ke Polsek Pasirian, namun laporan itu tidak mendapatkan tanggapan yang cukup. Karena nama-nama mereka yang memberikan ancaman sama sekali tidak diproses oleh pihak kepolisian. Orang-orang yang dilaporkan tersebut juga yang kemudian benar-benar melakukan penyerangan terhadap Tosan dan Salim. Jika pihak kepolisian memiliki kesungguhan untuk melindungi keselamatan warga, sejatinya peristiwa tragis ini tidak perlu harus terjadi,” kata dia.
Perihal penolakan warga terhadap aktivitas pertambangan, sesungguhnya juga sudah berlangsung lama. Bukan hanya di Selok Awar-Awar, penolakan aktivitas pertambangan di pesisir selatan Lumajang telah menimbulkan keresahan dan penolakan di berbagai tempat.
Sebelumnya di Desa Wotgalih, Kecamatan Yosowilangun, aktivitas pertambangan yang dilakukan oleh PT ANTAM juga telah menimbulkan konflik. Konflik serupa juga muncul di Desa Pandanarum dan Pandanwangi, Kecamatan Tempeh, Kabupaten Lumajang.
Untuk itu, kata Fatkhul, panjangnya daftar konflik akibat aktivitas pertambangan pasir besi di kawasan pesisir selatan Lumajang ini rupanya tidak menjadi pelajaran bagi Pemerintah Kabupaten Lumajang beserta aparat keamanannya.
“Meskipun telah banyak diketahui bahwa tambang-tambang tersebut banyak yang beroperasi secara ilegal dan merusak lahan pertanian pesisir pantai sehingga rentan berkonflik dengan kepentingan petani penggarap lahan pesisir, sama sekali tidak ada tindakan tegas yang dilakukan oleh pemerintah dan aparat penegak hukum. Padahal, jika situasi ini terus dibiarkan, konflik yang terjadi akibat aktivitas pertambangan akan terus memburuk di Kabupaten Lumajang,” kata dia.
Editor : Bayu Probo
Korban Pelecehan Desak Vatikan Globalkan Kebijakan Tanpa Tol...
ROMA, SATUHARAPAN.COM-Korban pelecehan seksual oleh pastor Katolik mendesak Vatikan pada hari Senin ...