Komisi III Kaji UU Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme
JAKARTA, SATUHARAPAN.COM - Anggota Komisi III Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR-RI) Masinton Pasaribu, mengatakan Komisi III sedang mengkaji revisi Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme.
"Revisi UU Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme itu sedang kita kaji. Masalah kewenangan BIN untuk menangkap dan segala macam, dalam suasana demokrasi sekarang ini, saya rasa tidak penting. Itu ide Kepala BIN Sutiyoso, yang berpikir masih zaman tahun 1980-an, jadi masih terbayang-bayang, terngiang-ngiang ide intelijen pada masa rezim Orde Baru," kata Masinton, di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta Pusat, hari Senin (18/1).
Menurut politisi Partai PDIP itu, ide yang meminta kewenangan penahanan dan penangkapan dalam penanggulangan teroris itu bukan hanya dari BIN, namun juga BNPT dan aparatur keamanan seperti kepolisian.
"Pada saat itu idenya adalah berpikir BIN itu punya kewenangan untuk melakukan penangkapan atau penahanan dalam penanggulangan teroris. Ini bukan hanya BIN, ada juga BNPT dan aparatur keamanan. Dalam hal penegakan hukum, yang punya kewenangan penangkapan penahanan itu hanya polisi, nah kita serahkan itu kepada polisi," kata dia.
Dengan demikian, kata Masinton, soal revisi tentang Revisi UU Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme itu, Komisi III akan padukan dengan UU intelijen.
"Revisi UU tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme nanti kita padukan dengan UU intelijen dan UU lain tentang keamanan kita," kata dia.
"Kalau intelijen diberi kewenangan untuk menahan, itu nggak pas juga. Kewenangan untuk penahanan biarkan ranah penegakan hukum. Hukum itu polisi," kata dia.
"Kalau melihat radikalisasi ini, kita lihat melawan ideologi transaksional, yang meyakini cara-cara kekerasan itu menjadi salah satu bagian cara untuk ideologi. Nah, pertarungan besarnya adalah bagaimana negara memenangkan propaganda dari kelompok-kelompok yang meyakini perjuangan ideologinya dengan cara-cara kekerasan dan anti kemanusiaan," kata dia.
Selain itu, kata Masinton, pemerintah harus tegas soal mantan narapidana yang berangkat ke Suriah dengan tujuan berperang, terus balik lagi ke Indonesia.
"Pemerintah harus tegas kalau dia (teroris) terindikasi. Paspornya, kewarganegaraannya, dicabut kalau diduga terlibat dalam aksi-aksi kekerasan atas nama ideologi dan aksi-aksi yang memang secara internasional dilarang. Aksi-aksi teror itu sudah transaksional, lintas negara, maka imigrasi dan lain-lain, juga intelijen, harus lebih cepat, dan imigrasi kalau ada warga negara kita yang berangkat keluar negeri untuk tujuan perang, cabut saja kewarganegaraannya. Untuk masuk ke Indonesia paspornya cabut. Harus tegas, jangan nanggung-nanggung," katanya.
Namun demikian, kata Masinton, UU Nomor 15 Tahun 2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme belum masuk Program Legislasi Nasional (Prolegnas) 2016.
"Sementara ini belum ada, belum ada dari Komisi III untuk merevisi UU, baik terorisme, baik intelijen. Itu di Komisi I dan di Baleg. Tapi, sementara saat ini belum. UU yang ada kami pandang masih cukup. Kalau masih ada yang direvisi nanti, beberapa, tapi bukan mengenai soal kewenangan penahanan. Tetap itu dari kepolisian," katanya.
Editor : Sotyati
Seluruh Pengurus PGI Periode 2024-2029 Dilantik dalam Ibadah...
TORAJA, SATUHARAPAN.COM-Majelis Pekerja Harian (MPH), Badan Pengawas (BP), Majelis Pertimbangan (MP)...