Komisi Informasi Jamin Akses Masyarakat ke Badan Publik
BANDUNG, SATUHARAPAN.COM - Komisioner Komisi Informasi Pusat (KIP), Hendra J Kede, mengatakan Komisi Informasi menjamin masyarakat untuk mendapatkan informasi dan dokumen apa pun yang ada di badan publik.
“Komisi Informasi itu bertugas menjamin. Nah karena menjamin maka prosesnya yang pertama tentu adalah masyarakat itu berinteraksi, berkorespondensi dengan badan publik itu,” kata Hendra kepada satuharapan.com di Bandung, hari Kamis (3/5).
Hendra mengatakan substansi dasar dari Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 14 Tahun 2008 Tentang Keterbukaan Informasi Publik yaitu untuk meningkatkan kualitas demokrasi baik demokrasi politik, demokrasi ekonomi, maupun segala aspek terkait dengan demokrasi. Dengan meningkatnya kualitas demokrasi itu diharapkan maka kualitas hidup masyarakat meningkat juga karena negara dikelola sesuai dengan prinsip-prinsip demokrasi.
“Demokrasi itu ada partisipasi masyarakat dan lain sebagainya,” katanya.
Menurut Hendra, khusus tentang akses kepada informasi itu masyarakat bisa menggunakan informasi dan dokumen apa pun yang ada di badan publik untuk mengembangkan dirinya.
Pasal 1 ayat 3 UU Nomor 14 Tahun 2008 berbunyi Badan Publik adalah lembaga eksekutif, legislatif, yudikatif, dan badan lain yang fungsi dan tugas pokoknya berkaitan dengan penyelenggaraan negara, yang sebagian atau seluruh dananya bersumber dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara dan/atau Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah, atau organisasi nonpemerintah sepanjang sebagian atau seluruh dananya bersumber dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara dan/atau Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah, sumbangan masyarakat, dan/atau luar negeri.
“Kalau dia sebagai pengusaha, bagaimana dia bisa mendapatkan informasi sebanyak-banyaknya, seakurat-akuratnya dari badan publik untuk mengembangkan bisnisnya,” dia mencontohkan.
Sementara itu seorang aktivis LSM, seorang peneliti, dosen, seorang aktivis politik bisa menggunakan dan mengakses informasi yang ada di badan publik untuk kepentingan dan mengembangkan lingkungannya. Prosesnya yang pertama adalah masyarakat itu berinteraksi, berkorespondensi dengan badan publik itu.
“Dia datang dan meminta informasi, atau dia mengirim surat melalui email meminta informasi dengan jelas informasi apa yang dimintanya. Kemudian setelah itu ditanggapi atau tidak ditanggapi,” katanya.
Menurut Hendra, jika tidak diberikan informasi oleh badan publik atau jika diberikan informasi tapi tidak sesuai dengan yang diminta, maka pihak pemohon informasi itu dapat mengajukan keberatan kepada atasan pejabat publik PPID (pejabat pengelola informasi dan dokumentasi).
“Pertama dia meminta informasi ke PPID tapi tidak dikasih. Atau dikasih tapi tidak sesuai permintaan. Atau tidak dikasih seluruhnya. Kemudian dia mengajukan keberatan ke atasan PPID ini. Itu ada SK-nya di semua badan publik. Kemudian atasannya harusnya memberikan informasi itu, menegur bawahan yang tidak memberikan informasi tadi. Nah atasannya harusnya memberikan informasi yang dimintakan itu,” katanya.
Ketua Bidang Regulasi dan Kebijakan Publik Komisi Informasi (KI) Pusat mengatakan ketika badan publik itu, baik PPID maupun atasan PPID tidak memberikan informasi, maka bentuk jaminan dari KIP adalah publik itu bisa melaporkan ke Komisi Informasi dan bersengketa di KIP.
“Maka kita akan menerima, memproses dan memutus sengketa itu. Artinya kita akan berfungsi sebagai majelis hakim. Disebut dengan majelis komisioner yang kekuasaannya persis seperti kekuasaan kehakiman. Jadi nanti kita panggil badan publiknya, kita panggil pelapornya, kita sidangkan dan Komisi informasi itu membentuk namanya majelis komisioner, seperti pengadilan membentuk majelis persidangan, majelis hakim untuk kasus itu dan dia akan memanggil, memeriksa dan memutus perkara,” katanya.
Ketika putusannya itu sudah ada dan putusan itu inkrah, maka badan publik itu wajib mentaati putusan itu termasuk kalau putusannya memerintahkan memberikan informasi yang diminta. Kalau tidak diberikan juga setelah inkrah maka pejabat yang menghambat itu bisa dipidana satu tahun oleh proses pro justitia bukan oleh KIP.
“Jadi ketika ada putusan yang sudah inkrah, kemudian proses inkrah itu tidak dilaksanakan, maka putusan inkrah itu menjadi bukti untuk membuat laporan polisi. Polisi nanti akan menindaklanjuti sebagai proses pro justitia,” kata Sekjen Dewan Pleno Comnunity for Press and Democracy Empowerment (PressCode) itu.
“Itu sudah terjadi, ada satu orang sekretaris Camat itu yang diproses pidana oleh karena itu. Tapi itu kan kembali kepada pemohon kalau pemohon informasi itu tidak memproses pro justitia ke penegak hukum, ya tidak jadi, tidak ada proses pidananya,” dia mencontohkan.
Baca juga: Komisi Informasi Ajak Media Kawal Transparansi Badan Publik
Baca juga: Masyarakat Harus Miliki Media Literasi untuk Menangkal Hoax
Obituari: Mantan Rektor UKDW, Pdt. Em. Judowibowo Poerwowida...
YOGYAKARTA, SATUHARAPAN.COM-Mantan Rektor Universtias Kristen Duta Wacana, Yogyakarta, Dr. Judowibow...