Komite Nobel Tuntut Liu Dibebaskan
OSLO, SATUHARAPAN.COM – Komite Nobel Norwegia mengkritik pemerintahan Tiongkok yang memberikan keputusan bebas bersyarat kepada penerima hadiah Nobel Perdamaian pertama dari Tiongkok. Liu Xiaobo, guna menerima perawatan medis. Komite Nobel menuntut kebebasan tak bersyarat untuk penulis dan pejuang hak-hak asasi manusia itu.
Pemerintahan Provinsi Liaoning Tiongkok, seperti diberitakan NHK, mengeluarkan pengumuman pada hari Senin (26/6/2017), menyebutkan Liu Xiaobo, yang berumur 61 tahun, dibebaskan bersyarat setelah didiagnosa menderita kanker hati.
Dikatakan juga tim yang terdiri atas delapan spesialis kanker ternama telah ditunjuk untuk menyusun rencana medis dan perawatan Liu.
Liu divonis dengan hukuman 11 tahun penjara pada tahun 2009 karena mengkritik kebijakan satu partai dari Partai Komunis dan berupaya untuk menggulingkan pemerintah. Pada tahun setelahnya, ia dianugerahi hadiah Nobel Perdamaian. Akan tetapi, pemerintah Tiongkok, tidak memberikan ia izin untuk keluar dari penjara guna menghadiri acara penganugerahannya.
Dalam sebuah pernyataan pada hari Senin, seperti dikutip NHK, Komite Nobel yang berbasis di Oslo mengkritik pemerintah Tiongkok dengan menyatakan Liu seharusnya tidak dipenjara.
Dikatakan bahwa pihak berwenang memikul tanggung jawab yang berat apabila Liu tidak menerima perawatan medis yang layak karena hukuman penjaranya.
Liu Xiaobo yang berusia 61 tahun, mengutip dari BBC, merupakan salah seorang pemimpin penting dalam aksi unjuk rasa untuk menuntut demokrasi di Lapangan Tiananmen, Beijing, tahun 1989. Selain dikenal sebagai penulis dan pegiat politik, ia adalah guru besar di universitas, dan narapidana karena sering “mengganggu” Partai Komunis yang berkuasa.
Istrinya, Liu Xi, juga dijatuhi hukuman tahanan rumah sejak suaminya meraih Nobel Perdamaian tahun 2010, namun hingga saat ini tidak pernah didakwa secara resmi. Pihak berwenang Tiongkok juga tidak pernah menjelaskan mengapa istri Liu dikenai tahanan rumah.
Catatan BBC menyebutkan Liu pertama kali dikenal pada masa unjuk rasa terkenal di Lapangan Tiananmen, Beijing, pada tahun 1989.
Waktu itu ia pulang dari Amerika Serikat untuk bergabung dengan para pengunjuk rasa dan ketika mendengar tentara dikerahkan untuk membersihkan pengunjuk rasa, Liu berhasil membujuk beberapa mahasiswa agar pulang.
Setelah unjuk rasa diberangus, dan jatuh sejumlah korban jiwa, ia ditahan selama hampir dua tahun.
"Pembunuhan massal tahun 1989 memberi kesan yang mendalam kepada saya," katanya dalam sebuah wawancara dengan BBC hanya beberapa bulan sebelum ditangkap tahun 2008.
Editor : Sotyati
Bebras PENABUR Challenge : Asah Kemampuan Computational Thin...
Jakarta, satuharapan.com, Dunia yang berkembang begitu cepat memiliki tantangan baru bagi generasi m...