Komnas Perempuan: Papua Adalah Tes Keesaan Gereja
JAKARTA, SATUHARAPAN.COM – Pdt Sylvana Apituley mengingatkan bahwa setelah Sidang Raya XVI PGI (SR PGI) mendatang Gereja harus menempatkan Papua sebagai contoh penting keesaan Gereja.
Komisioner Komnas Perempuan ini mengungkapkan pada acara dialog bertajuk “Tantangan Oikoumene pada masa Mendatang” yang berlangsung Sabtu (25/10) malam di Hotel Grand Cempaka, Jalan Letjen Suprapto, Jakarta Pusat.
“Papua adalah tes penting bagi keesaan gereja, karena berbagai marjinalisasi dan keterasingan kehidupan sosial orang papua di tanah sendiri bukan hal yang mengenakkan bagi Kristen di Papua, dan ini merupakan tes keesaan paling sulit bagi gereja,” kata Sylvana.
Sylvana menantang ketua umum PGI terpilih nantinya membuktikan bahwa banyak masalah harus diselesaikan, tidak hanya pekabaran injil di dua provinsi (Papua Barat dan Papua) yang terletak di paling timur Indonesia tersebut.
“Apakah HAM, kesetaraan jender, dan kesejahteraan menjadi hal yang dipentingkan oleh gereja dalam masa mendatang,” Sylvana menambahkan.
Salah satu agenda pembahasan dalam SR XVI PGI yakni mengesahkan Dokumen Keesaan Gereja, Dokumen Keesaan Gereja adalah rumusan pengakuan bersama gereja-gereja di Indonesia yang disusun PGI. Adapun tujuan penyusunan dokumen ini sebagai pedoman dan alat dalam mewujudkan Gereja Kristen yang Esa di Indonesia. Dokumen Keesaan Gereja (disingkat dengan DKG) yang dikenal saat ini merupakan pembaruan dan penyempurnaan terus menerus dari naskah-naskah sebelumnya.
Dalam DKG berisi Pokok-pokok Tugas Panggilan Bersama (PTPB), Pemahaman Bersama Iman Kristen (PBIK), Piagam Saling Mengakui dan Saling Menerima (PSMSM), Tata Dasar PGI (TD-PGI), Menuju Kemandirian Teologi, Daya dan Dana (MKTDD)
Dialog ini merupakan bagian dari Rapat Kerja Nasional (Rakernas) III GAMKI yang diselenggarakan pada Sabtu (25/10).
Para pemateri lain yang menjadi pembicara antara lain dua kandidat Ketua Umum Persekutuan Gereja-gereja Indonesia (PGI) yang akan “berkompetisi” pada Sidang Raya (SR) XVI PGI di Gunung Sitoli November 2014 mendatang, yakni Pdt. Richard Daulay dari Gereja Methodist Indonesia, dan Pdt. Albertus Patty dari Gereja Kristen Indonesia (GKI) Maulana Yusuf, Bandung. Bertindak selaku moderator adalah Febri Tetelepta dari GAMKI, Febri mengemukakan apa yang dipaparkan Sylvana berbeda dengan Richard dan Albertus Patty karena Sylvana memberi penjelasan lengkap tentang situasi spesifik di Papua, terutama menyangkut berbagai masalah sosial yang ada.
Masalah Kegerejaan Papua: Kristen Papua vs Non Papua
Titik tolak permasalahan umat Kristen di Papua bukan tentang beribadah kepada Tuhan akan tetapi menurut pengamatannya dan lembaga tempatnya melakukan penelitian, dia memberi beberapa contoh konkret masyarakat Kristen pendatang di berbagai wilayah di Papua malah membawa perubahan sosial ke arah negatif.
“Misalnya orang Kristen dari luar Papua mengajarkan lagu-lagu dari Kidung Jemaat ke warga Papua, bukannya mengajarkan dengan informasi yang memadai, tetapi malah dipakai sebagai nyanyian baru, dan menyingkirkan lagu-lagu gereja yang sudah berbahasa Papua,” Sylvana menambahkan.
Sylvana menjelaskan bahwa peristiwa kecil seperti itu, menurut penelitiannya menjadi isyarat kristen non papua menjadi sumber masalah dalam kehidupan gerejawi dan sosial budaya.
“Minimnya sensitivitas majelis dan pendeta terhadap kondisi sosial di sekitar mereka menjadikan masyarakat asli papua semakin terasing, hingga sempat saya dengar kami tidak mau lagi ke gereja di kota, lebih baik kami ke gereja di kampung-kampung karena mereka berpikir gereja di kota kehilangan ciri khas ke-papua-an,” Sylvana menambahkan.
Sylvana memberi contoh lain berbagai gereja di beberapa kota papua kehilangan ciri khas kebudayaan lokal, doa-doa dari pada pendeta bukannya mementingkan doa tentang kesejahteraan masyarakat papua, tetapi malah mendoakan para pejabat daerah atau negara yang tidak ada hubungannya dengan situasi dan kondisi sekitar.
“Kalau ke gereja masyarakat kristen papua minder karena para umat kristen non papua pergi ke gereja berpakaian seperti selebritis dan rasanya seperti melihat apa yang ada di televisi dan hanya di Indonesia barat, dan tidak dijumpai di Papua,” Sylvana mengakhiri penjelasannya.
Beberapa waktu lalu, satuharapan.com sempat berbicara dengan Kepala Biro Papua PGI, Novel Matindas dia mengatakan salah satu akar permasalahan di Papua yakni Otonomi khusus menjadi salah satu hal yang dicermati Persekutuan Gereja-Gereja di Indonesia (PGI).
Hal ini dikemukakan Novel Matindas, Kepala Biro Papua Persekutuan Gereja-Gereja di Indonesia (PGI) mengatakan kepada satuharapan.com pada Rabu (22/10) di Gedung PGI, di Jalan Diponegoro, Jakarta Pusat.
Novel, sejauh pengamatannya sebagai Biro Papua mempertanyakan pemerintah pusat yang bersikap ambigu, karena walau telah menerbitkan masalah dalam otonomi khusus tersebut saat ini adalah pemerintah pusat yang memberi kewenangan khusus kepada pemerintah daerah akan tetapi banyak sekali peran orang Papua yang justru tidak diperhatikan.
Editor : Bayu Probo
Empat Kue Tradisional Natal dari Berbagai Negara
JAKARTA, SATUHARAPAN.COM - Perayaan Natal pastinya selalu dipenuhi dengan makanan-makanan berat untu...